Bab 25

Jesslyn tengah berada di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan yang cukup parah. Ia tidak tahu bagaimana kecelakaan tersebut bisa terjadi karena pada saat itu ia sedang tidur. Jesslyn juga tidak bisa mengingat kejadian setelah ia bertemu dengan sosok yang menjadi sebab traumanya selama ini. Sebab, ia pingsan setelah sempat berteriak histeris. Saat bangun, Jesslyn sudah berada di rumah sakit dengan jarum infus yang menancap di salah satu tangannya.

Jesslyn tidak tahu bagaimana keadaan Orin dan Reyhan saat ini. Ia belum sempat melihat kedua temannya itu saat masih sadarkan diri. Ia pun bangun dalam kondisi sendirian di ruangan ini, tidak ada yang menemaninya.

Ringisan kecil lolos dari mulutnya saat Jesslyn berusaha untuk mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Ia merasakan sakit yang luar biasa di lengan kirinya yang terus-terusan berdenyut. Entah benda apa yang menghantam lengannya pada saat kecelakaan terjadi.

Setelah bersusah payah duduk, Jesslyn menemukan ponselnya yang terletak di atas nakas di sisi ranjang. Segera diambilnya benda tersebut untuk menghubungi orang-orang terdekatnya. Namun, ia teringat jika orang-orang terdekatnya pasti juga sedang dirawat di rumah sakit.

Jesslyn kebingungan. Tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia bahkan tidak dekat dengan keluarganya sendiri. Sedari dulu, tiap kali ia membuat masalah, orang tuanya akan langsung mengirimkan pengacara untuk membereskan masalahnya.

Sebenarnya beberapa hari belakangan ini Jesslyn mulai membuka diri pada Jeklin—satu dari ketiga kakaknya. Tepatnya saat ia tak bisa menahan diri untuk tak menceritakan masalahnya pada sang kakak. Hanya sebatas itu. Hubungannya dengan Jeklin masih jauh dari kata akrab.

Jesslyn mengembuskan napas panjang saat menyadari bahwa tidak ada orang yang bisa dihubunginya. Namun, tiba-tiba sosok Arai melintasi pikirannya. Hubungan yang mereka jalin saat ini adalah sebagai sepasang kekasih walau Jesslyn masih belum bisa memercayainya sampai detik ini.

Tidak ada salahnya, kan, jika ia menghubungi pacarnya sendiri?

Sosok Arai membuat mata Jesslyn kembali terpaut pada layar ponselnya. Jemarinya bergulir di sana, hendak membuka kontak dan mencari nomor Arai yang disimpannya sejak lama. Namun, niatnya terjeda ketika mendengar pintu kamar rawat inapnya terbuka.

Serta-merta Jesslyn mengangkat kepalanya, mencari tahu siapa sosok yang masuk ke kamarnya. Tadinya ia sempat berspekulasi jika itu adalah perawat yang hendak mengecek kondisinya, tetapi terkaannya salah. Sosok yang kini hadir dalam netranya adalah Arai.

“Pak!” Jesslyn tak bisa menahan pekikannya saat melihat kehadiran Arai. Niatnya untuk menghubungi pria itu pun urung sepenuhnya.

“Kenapa duduk? Kamu harus tetep tiduran.”

Sapaan Jesslyn dibalas dengan omelan oleh Arai. Pria itu bahkan sudah memelototinya saat berjalan menghampirinya. Dan Jesslyn hanya menanggapinya dengan cengiran.

“Bapak, kok, bisa di sini?” tanyanya kemudian.

Arai menghentikan langkahnya begitu tiba di sisi ranjang Jesslyn. Ia lalu menarik kursi dan duduk di sana. “Saya yang bawa kalian ke rumah sakit.”

Jesslyn menaikkan sebelah alisnya. “Kok bisa?”

Lokasi tempat tinggal mereka dengan rumah sakit jiwa tempat Mira dirawat cukup jauh. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk tiba di sana. Dan seingatnya, mereka mengalami kecelakaan saat belum jauh dari rumah sakit jiwa tersebut. Jesslyn bisa tahu karena ia hafal dengan jalanan menuju ke sana.

“Panjang ceritanya,” jawab Arai.

“Saya siap dengerin, Pak.”

Arai menggeleng pelan. “Kamu masih harus istirahat.”

Penolakan Arai tak ayal mengubah raut Jesslyn jadi cemberut. Bibirnya maju beberapa senti. “Nggak asik,” celetuknya kemudian.

Arai mengabaikan perubahan ekspresi Jesslyn. Ia bangkit sejenak dari duduknya hanya untuk memaksa Jesslyn agar kembali berbaring dengan cara mendorong pelan kedua bahunya.

“Oh, iya, tadi saya sempat menghubungi kakak kamu. Dia ke sini sebentar untuk ngurus administrasi rumah sakit,” ujar Arai, sambil menjatuhkan kembali bokongnya di kursi.

“Kakak saya? Siapa?”

“Jeklin,” jawab Arai. “Maaf kalau saya lancang menggunakan handphone kamu untuk menghubungi keluarga kamu. Bagaimanapun juga, mereka harus tahu tentang kondisi kamu,” jelasnya, tidak ingin Jesslyn salah paham pada niat baiknya.

Jesslyn terdiam untuk sesaat dengan kerutan yang masih terpahat di dahinya, tetapi kemudian mengangguk-angguk paham. Sedikit bersyukur karena Arai menghubungi orang yang tepat.

“Orin sama Reyhan gimana, Pak?” Percakapan di antara mereka kembali berlanjut. Kali ini Jesslyn menanyakan hal yang paling membuatnya cemas.

“Kondisi Reyhan nggak jauh berbeda sama kamu, tapi Orin, dia masih di ruang operasi. Keadaannya bisa dibilang cukup parah.”

Jesslyn lemas seketika saat menerima kabar tersebut. Matanya lantas dipejamkan dengan erat sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, seolah sedang menahan kekalutan yang menyerang dirinya tanpa ampun.

Mata Jesslyn baru terbuka saat ia merasakan sentuhan ringan di punggung tangannya. Ia menemukan Arai yang sedang berusaha untuk menenangkannya. Ketika matanya berlabuh pada wajah Arai, ia menemukan pria itu yang sedang tersenyum lembut padanya, seperti mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.

“Semua ini salah saya, Pak,” lirih Jesslyn, dengan suara yang bergetar. Matanya pun tampak berkaca-kaca, siap menumpahkan cairan bening yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

“Enggak. Kamu nggak salah,” sela Arai. Sentuhannya sudah berpindah ke rambut Jesslyn, memberi usapan demi usapan di sana.

Jesslyn kembali memejamkan matanya, dan pada saat itu pula air matanya menetes. Disusul oleh tangisnya yang terdengar begitu pilu.

“Reyhan baik-baik aja, dan Orin juga akan baik-baik aja,” ucap Arai, mencoba memberi stimulus agar Jesslyn tak memikirkan hal yang tidak-tidak.

Jesslyn tidak mendengarkan ucapan Arai. Hatinya sudah berkecamuk di dalam sana, sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja ia tidak mengajak Orin dan Reyhan, kedua temannya itu pasti akan baik-baik saja saat ini.

Seharusnya Jesslyn memang tidak melibatkan siapa pun ke dalam masalahnya.

•••

Arai merasa prihatin dengan kondisi Jesslyn saat ini. Setelah menghentikan tangisnya, gadis itu kini hanya berbaring dalam diam dengan pandangan kosong yang terlihat jelas menyimpan banyak kepedihan.

Arai tak bisa berbuat apa-apa. Sedari tadi ia berusaha melontarkan berbagai macam kalimat positif agar Jesslyn tak berlarut-larut dalam kesedihan dan perasaan bersalahnya. Namun, semua ucapannya tak digubris sama sekali. Gadis itu terus bergeming.

Yang bisa Arai lakukan saat ini hanyalah menemani Jesslyn. Ia masih duduk di sisi ranjang. Netranya bertaut pada Jesslyn tanpa berpaling sedikit pun. Tangannya pun sibuk mengusap-usap lengan gadis itu.

Jesslyn kembali menunjukkan sisi rapuhnya pada Arai, dan hal itu tak pelak mendatangkan empati yang begitu besar. Keinginan Arai untuk melindungi Jesslyn jadi semakin kuat.

Keinginan tersebut seakan-akan didukung oleh semesta. Pasalnya, Arai adalah orang pertama yang menemukan mobil yang Jesslyn tumpangi mengalami kecelakaan. Kalau saja ia telat sedikit saja, ia yakin nyawa Orin tak akan tertolong. Kalau hal itu sampai terjadi, daftar trauma yang harus Jesslyn hadapi akan bertambah panjang.

Arai tidak tahu kalau hari ini Jesslyn mengunjungi suatu tempat yang cukup jauh. Komunikasi mereka dalam bentuk pesan teks masih terbilang jarang. Jesslyn memang sering mengirimkan chat padanya, tetapi ia jarang membalasnya karena memang tidak terbiasa.

Pada saat hari di mana Jesslyn datang ke kantornya, ia meminjam SIM card gadis itu untuk satu minggu ke depan. Hanya untuk berjaga-jaga kalau saja si peneror kembali menghubungi. Jika si peneror kembali mengirimkan pesan ke nomor Jesslyn, maka Arai bisa dengan mudah menemukannya.

Siang tadi, setelah beberapa hari tidak ada pesan dalam bentuk teror yang masuk ke nomor Jesslyn, Arai akhirnya menerima pesan yang berisi ancaman. Dengan gesit ia langsung melacak sosok tersebut sebelum nomor yang dipakai oleh si peneror kembali dinonaktifkan.

Beruntung Arai yang pada saat itu juga dibantu oleh rekan-rekannya bisa dengan cepat menemukan keberadaan si peneror. Lokasinya kali ini akurat. Namun, ia merasa heran karena sosok tersebut berjarak cukup jauh dari apartemen Jesslyn.

Arai merasa curiga. Ia langsung menghubungi Jesslyn, tetapi tidak diangkat sama sekali. Hal yang sama juga terjadi ketika ia mencoba menghubungi Orin yang sering bersama Jesslyn.

Mau tak mau, Arai memakai cara yang membuatnya tampak seperti penguntit, yaitu mengecek sendiri keberadaan Jesslyn dengan aplikasi yang sudah dipasangnya di ponsel Jesslyn tanpa sepengetahuan gadis itu. Entah apa yang dipikirkannya pada saat itu hingga memasang aplikasi pelacak di ponsel Jesslyn. Namun, hal itu rupanya berguna di saat-saat seperti ini.

Arai kembali merasa bingung saat menemukan lokasi Jesslyn yang sedang berada jauh dari rumahnya. Lalu, saat ia mencocokkan lokasi Jesslyn dengan si peneror, ia merasa kaget karena lokasi mereka kini berdekatan.

Insting Arai langsung berkesimpulan jika Jesslyn saat ini sedang berada dalam bahaya. Sialnya, gadis itu tidak kunjung mengangkat panggilannya. Alhasil, Arai terpaksa izin dari kantor hanya untuk menyusul Jesslyn.

Saat dalam perjalanan, ia menemukan mobil yang Jesslyn tumpangi mengalami kecelakaan. Jalanan yang mereka lewati sangatlah sepi. Hanya ada pepohonan besar di tiap sisi.

Arai tentu saja langsung dihantam kepanikan. Apalagi saat melihat kondisi Jesslyn yang tidak sadarkan diri. Juga Orin yang sudah berlumuran darah. Hanya Reyhan saja yang pada saat itu masih dalam kondisi setengah sadar.

Arai masih merasa ngeri jika mengingat kejadian yang dilewatinya beberapa saat yang lalu. Entah bagaimana jadinya kalau ia tidak datang pada saat itu.

Kini, Arai hanya berharap agar Jesslyn bisa segera melupakan kejadian tersebut.

•••

Jangan lupa ramein bab ini sama bab-bab sebelumnya ya, guys! Kalo rame, besok aku update lagi oghey😍🌸

8 November, 2023

Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top