Bab 22

Ada kedai es krim di seberang kantor Arai, dan mereka memutuskan untuk menyantap es krim di sana. Keduanya kini masih berdiri bersisian di pinggir jalan, menunggu jalanan agak sedikit lengang sebelum menyebrang.

Kepala Arai ditelengkan ke sisi kanan, tetapi tidak benar-benar memfokuskan pandangannya pada kendaraan yang berlalu-lalang. Sesekali netranya bertaut pada Jesslyn yang berdiri di sebelahnya, menoleh ke arah yang sama dengannya sehingga ia tak ketahuan jika sedari tadi sibuk mencuri-curi pandang.

Kedua tangan Arai yang berada dalam saku celananya bergerak-gerak gelisah di dalam sana, memberontak minta dikeluarkan. Namun, kalau Arai mengeluarkan tangannya, ia yakin di detik selanjutnya tangannya akan langsung menggandeng Jesslyn.

Jalanan di depan sana masih tampak padat. Sulit bagi mereka untuk mencari celah agar bisa menyebrang ke sisi jalan yang satunya. Instingnya untuk melindungi Jesslyn sudah muncul sedari tadi. Namun, Arai masih menahan diri. Menimbang terlebih dahulu apakah menggandeng Jesslyn di situasi seperti ini adalah sebuah keharusan atau tidak.

Arai sudah kecolongan dan membuat Jesslyn besar kepala. Jadi, ada baiknya ia berpikir panjang terlebih dahulu sebelum bertindak.

Sialnya, untuk kali ini ia sungguh tak bisa menahan diri. Logikanya berhasil ditaklukkan oleh hati nuraninya. Tahu-tahu saja tangannya sudah hinggap di lengan Jesslyn. Dengan gesit memindahkan gadis itu ke sisi kirinya dan tetap mempertahankan genggamannya di sana.

Jesslyn mengerjap sebanyak dua kali dengan kepala yang mendongak menatap Arai. Dahinya berkerut bersamaan dengan lirikannya yang jatuh di satu lengannya, dan menemukan genggaman Arai di pergelangan tangannya.

Pandangan Jesslyn kembali terangkat, menatap Arai yang seolah menghindarinya dan lebih fokus dengan jalanan di depan sana. Sikap Arai yang menunjukkan perhatian seperti itu terang saja mengundang senyum di bibir Jesslyn.

Sambil mengulum bibirnya, Jesslyn menarik tangan Arai dari lengannya. Namun, sedetik kemudian mengubah genggaman mereka dengan cara menautkan jemarinya pada jemari Arai yang lebih panjang darinya tanpa tahu malu.

Saat kembali mendongak, Jesslyn sudah menemukan Arai yang sedang melotot ke arahnya, tetapi Jesslyn tampak tak acuh dan malah mengeratkan genggamannya agar Arai tak bisa melepasnya. Cengiran lebar pun turut merekah di wajah tanpa dosanya itu.

“Ayo, Pak.”

Timing-nya sangat pas. Sebelum Arai melontarkan protesnya, Jesslyn mengajak pria itu untuk menyeberangi jalan yang sudah sedikit sepi dari lalu-lalang kendaraan.

Arai tak bisa berbuat apa pun selain mengikuti langkah Jesslyn yang sudah menariknya untuk melintasi jalanan. Dan ia tetap membiarkan genggaman tersebut meski setelahnya terdengar helaan napas berat dari mulutnya, yang mengisyaratkan bentuk dari kepasrahan.

Setibanya di kedai es krim, Arai langsung mengurai genggamannya dengan Jesslyn. Tak peduli dengan raut gadis itu yang sudah memberengut sedemikian rupa. Ia bahkan berjalan lebih dulu, meninggalkan Jesslyn beberapa langkah di belakangnya.

“Bapak malu, ya, jalan bareng saya?” tuduh Jesslyn begitu tiba di meja yang sudah ditempati oleh Arai. Bibirnya mengerucut maju dengan mata yang menyipit tajam.

Arai mendesah panjang. “Duduk dulu,” ucapnya, yang syukurnya langsung dituruti oleh Jesslyn.

“Bapak malu, kan?” Jesslyn tahu Arai tidak akan menjawab pertanyaannya sebelumnya karena pria itu kini sibuk melihat buku menu. Jadi, ia memutuskan untuk kembali menyuarakan pertanyaan serupa.

“Saya malu jalan sama bocil kayak kamu,” jawab Arai dengan asal. Tak menoleh ke arah Jesslyn sedikit pun.

Jawaban Arai membuat kedua mata Jesslyn membelalak, tampak tak terima dengan ucapan pria itu. “Enak aja bocil. Saya udah sebesar ini, lho, Pak.”

Arai menatap Jesslyn dengan jengah. Kepalanya mengangguk-angguk tak ikhlas. “Iya-iya, terserah kamu,” katanya, malas memperpanjang drama di antara mereka.

Waitress pun datang ke meja mereka setelahnya, berhasil membungkam mulut Jesslyn yang sepertinya belum puas untuk melayangkan keluhannya.

“Pak, saya udah 21 tahun, lho,” celetuk Jesslyn setelah waitress selesai mencatat pesanan dan meninggalkan meja mereka.

Arai memejam sejenak sebelum menatap Jesslyn sambil memijit pelan pelipisnya. Sepertinya gadis itu masih punya tenaga untuk melanjutkan drama yang sempat terjeda.

“Iya-iya.” Sama seperti sebelumnya, Arai hanya menjawab seadanya.

Tanggapan Arai yang tak sesuai ekspektasi membuat bibir Jesslyn cemberut. Padahal, menyenangkan tiap kali berdebat dengan pria itu, tetapi respons Arai sungguh tidak asyik.

Untuk kali ini, Jesslyn akan memakluminya. Barangkali Arai terlalu lelah setelah beberapa jam sibuk mencari orang yang menerornya sehingga tidak punya tenaga untuk meladeni dramanya.

Baiklah, Jesslyn akan mengunci mulutnya supaya tidak terlalu cerewet.

“Pak.”

Belum ada lima menit Jesslyn berjanji untuk tutup mulut, suaranya malah kembali terdengar. Ia meringis di dalam hati karena tak bisa menahan diri untuk tidak bicara.

“Hm?” Arai bergumam pelan sebelum mengangkat pandangannya dari layar ponselnya ke arah Jesslyn yang duduk di hadapannya. “Apa?”

“Kita beneran pacaran, kan?” tanya Jesslyn, mencoba membahas topik yang sedari tadi paling banyak memenuhi isi kepalanya.

Persetan dengan niatnya sebelumnya yang ingin tetap diam. Mereka belum membahas lebih lanjut perihal Arai yang tiba-tiba mendeklarasikan bahwa status mereka saat ini adalah sepasang kekasih. Jesslyn hanya butuh kejelasan akan hubungan mereka.

“Menurut kamu?”

Jesslyn memutar kedua bola matanya. Ia tahu Arai malas meladeninya untuk saat ini, tetapi bisa tidak, sih, pria yang satu ini menjawab pertanyaannya dengan benar?

Menyebalkan sekali, batin Jesslyn.

“Tau, ah!” Suasana hati Jesslyn mendadak berubah buruk. Ia membuang muka ke arah lain, malas melihat wajah Arai yang baginya tampak menyebalkan.

“Apa itu penting?”

Tadinya Jesslyn akan benar-benar mengunci mulutnya dan lebih memilih menikmati semangkuk es krim yang baru tiba. Namun, tiba-tiba saja Arai kembali buka suara dan membuat perhatiannya beralih ke pria itu.

“Pentinglah, Pak,” jawabnya, masih setengah jengkel. “Kalo kita beneran pacaran, saya nggak akan genitin cowok-cowok yang saya temui pas lagi clubbing,” lanjutnya sebelum menyuap sesendok penuh es krim vanila ke dalam mulutnya.

Arai tak bisa menahan diri untuk tak mendengkus geli. Ada saja celetukan Jesslyn yang selalu mengundang kelucuan.

“Mau tetep genit sama cowok lain juga nggak masalah.”

Jesslyn menaikkan sebelah alisnya. “Yakin? Entar Bapak cemburu, nggak?” tanyanya dengan penuh percaya diri.

“Saya bukan tipe orang yang cemburuan,” jawab Arai, sama percaya dirinya dengan Jesslyn. Toh, ia memang tidak memiliki perasaan apa pun pada gadis itu. Jadi, tidak mungkin muncul kecemburuan tiap kali Jesslyn dekat dengan lelaki lain.

Okay.” Jesslyn mengangguk-anggukan kepalanya sembari menjaga ekspresinya agar tetap terlihat biasa saja meski di dalam sana ia mulai merasa jengkel. “Kalau gitu nanti malam saya mau clubbing. Saya mau mabuk-mabukan sambil godain cowok-cowok.”

“Godain cowok lain nggak masalah buat saya, tapi mabuk-mabukkan? Apa itu harus?” Nada suara Arai mulai berubah. Perhatiannya pun tertuju penuh pada Jesslyn, menatap gadis itu dengan alis yang bertaut.

“Saya udah biasa minum kok, Pak. Pasti aman.”

“Seingat saya, terakhir kali kamu mabuk, kamu menerobos masuk ke kamar hotel saya. Itu yang kamu sebut aman?”

Jesslyn menghentikan pergerakan tangannya yang hendak membawa sendok ke dalam mulutnya. Ia lantas meringis sambil tersenyum kikuk. Kejadian itu sudah berlalu hampir sebulan lamanya, dan Jesslyn nyaris melupakannya.

“Itu karena saya lagi galau, Pak. Nggak bisa ngontrol diri,” belanya kemudian, sambil cengengesan.

Arai mendengkus pendek, tak bisa memercayai alibi Jesslyn begitu saja. “Bilang ke saya kalau kamu mau clubbing. Saya ikut,” putusnya kemudian, yang keluar begitu saja dari mulutnya sebelum otaknya sempat berpikir panjang.

Lagi-lagi, mulutnya bekerja lebih cepat dari otaknya. Dan semoga saja Arai tidak kembali menyesali ucapannya.

•••

2 November, 2023

Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top