Bab 17
Arin:
Jesslyn kamu apain, Mas? Kok udah 3 hari ini dia gak ada kabar? Aku chat gak pernah dibales.
Sederet pesan berbentuk tuduhan yang Arin kirimkan padanya sudah dibaca sebanyak tiga kali. Kini, perhatian Arai terus tertuju pada pesan tersebut dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana.
Rupanya bukan hanya Arai saja yang tidak pernah melihat Jesslyn lagi selama tiga hari belakangan. Arin rupanya mengalami hal yang sama.
Sejujurnya Arai tidak ingin peduli pada apa yang terjadi pada Jesslyn. Ia malah bersyukur karena tiga hari ini hidupnya tenang tanpa gangguan. Tidak ada spam chat dan kemunculan tiba-tiba Jesslyn yang selalu berhasil mengagetkan dan membuat Arai kesal.
Sayangnya, hati nuraninya tidak sejalan dengan logikanya. Di dalam sana, Arai malah mulai mengkhawatirkan Jesslyn. Apalagi melihat tingkahnya yang kadang-kadang terlihat mencurigakan. Gadis itu seperti memiliki trauma terhadap sesuatu.
Jesslyn yang selalu memborbardirnya dengan chat tidak penting setiap harinya malah tampak aneh kalau tidak menampakkan wujudnya selama tiga hari berturut-turut ini. Dan yang paling membuatnya cemas adalah gadis itu tinggal sendirian di apartemennya.
Arai tidak pernah tahu siapa saja teman Jesslyn karena ia memang enggan berurusan dengan gadis itu. Namun, ia tahu dari Arin jika selama kuliah, Jesslyn memang tinggal sendirian.
Saat sedang fokus merangkai spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Jesslyn, Arai kembali menerima sebuah pesan dari adiknya.
Arin:
Tolong nanti mampir ke apartemennya, dong. Aku gak bisa ngecek langsung karena lagi di luar kota. Entah kenapa feeling-ku gak enak.
Arai mengembuskan napas panjang sebelum menggerakkan jemarinya di atas keyboard, mengetik pesan balasan untuk Arin.
Arai menyetujui permintaan sang adik tanpa banyak pertimbangan. Sebab, pesan lanjutan dari Arin malah membuat kecemasannya semakin bertambah.
Sepertinya ia memang harus mengecek Jesslyn secara langsung.
•••
Waktu hampir malam saat Arai tiba di depan apartemen Jesslyn. Ia tadi sempat mampir ke unitnya sebentar hanya untuk mengambil tempat makan yang tempo hari Jesslyn bawa untuknya.
Benda itu nantinya akan ia gunakan sebagai alibi kalau saja Jesslyn ternyata baik-baik saja. Ia tak ingin gadis itu mengetahui niat sesungguhnya. Bisa-bisa Jesslyn jadi besar kepala dan makin sering mengganggunya.
Satu tangan Arai sudah terangkat, hinggap di bel apartemen Jesslyn dan mulai menekannya sebanyak dua kali.
Arai menunggu selama satu menit setelah ia menekan bel. Namun, belum ada jawaban sama sekali.
Sekali lagi ia mencoba. Kali ini langsung menekannya sebanyak tiga kali.
Sayangnya, hasilnya masih tetap sama. Tak ada tanggapan sama sekali dari Jesslyn.
Arai tidak menyerah sampai di situ. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang sedari tadi berada di sana untuk menghubungi Jesslyn. Barangkali gadis itu mau menjawabnya kalau ia yang meneleponnya.
Belum ada sedetik Arai mengeluarkan ponselnya, pintu apartemen Jesslyn tiba-tiba saja terbuka. Matanya sontak berpaling ke sana. Namun, bukan Jesslyn yang ia jumpai dalam pandangannya.
"Pak Arai, kan?" Sosok perempuan yang tampak seumuran dengan Jesslyn mengajukan pertanyaan tersebut dengan ragu. Dan sosok itulah yang muncul dari apartemen Jesslyn.
Arai menaikkan sebelah alisnya sembari mengangguk singkat. Netranya terus berfokus pada sosok perempuan tersebut, berusaha mengingat sosoknya yang entah kenapa tampak tak asing di matanya.
"Saya Orin, Pak. Temennya Jesslyn," ucap sosok perempuan tersebut, memperkenalkan dirinya secara singkat. "Bapak ada perlu apa, ya?"
Sebuah bola lampu seperti menyala dalam pikirannya saat akhirnya Arai berhasil mengingat sosok tersebut. Ia pernah bertemu sekilas dengan Orin pada saat kejadian di mana Jesslyn menabrak mobilnya.
Pantas saja gadis itu terasa familiar di matanya.
"Saya mau mengembalikan ini." Arai mengangkat paper bag-nya sebatas dada.
"Oh, iya, Pak." Orin mengulurkan tangannya, hendak mengambil barang tersebut dari Arai.
Arai agak ragu untuk memberikannya kepada Orin. Ia ingin melihat Jesslyn secara langsung dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau gadis itu baik-baik saja. Namun, pada akhirnya paper bag tersebut tetap berpindah tangan. Ia merasa tak enak pada Orin yang sudah terlalu lama mengulurkan tangannya padanya.
"Makasih ya, Pak," kata Orin dengan senyum kikuk dan anggukan singkat.
"Tunggu!" Dengan cepat Arai maju selangkah dan menahan Orin yang hendak menutup pintu. "Jesslyn-nya ke mana?" tanyanya kemudian.
"Ada di dalem, Pak. Dia lagi nggak enak badan."
"Boleh saya ketemu dia sebentar?" Arai tidak mengerti dengan kenekatannya sendiri.
"Untuk sekarang Jesslyn belum bisa ketemu siapa-siapa dulu. Maaf ya, Pak," balas Orin yang tampak sungkan.
"Dia sakit apa?" Arai mencoba mengorek informasi tentang Jesslyn yang tiba-tiba jadi setertutup ini.
"Anu, Pak," Ada jeda singkat dalam perkataan Orin, terlihat bingung dengan jawaban yang harus diberikannya pada Arai. Dan itu terbaca oleh Arai, membuatnya jadi curiga. "Demam."
Arai menyipitkan matanya. Tak segan menatap Orin yang tampak gelisah dengan tatapan skeptis. "Memangnya orang demam nggak boleh dijenguk?"
"Bu-bukan gitu, Pak." Orin menggoyangkan kedua tangannya di depan dada, membuat kegelisahannya semakin terlihat jelas. "Jesslyn butuh banyak istirahat."
"Saya cuma sebentar, dan janji nggak akan mengganggu istirahatnya." Karena Orin tampak semakin mencurigakan di matanya, maka Arai tak segan untuk memaksa.
"Maaf banget, Pak. Jesslyn be-"
"Nggak papa, Rin. Gue baik-baik aja, kok." Jesslyn hadir di antara mereka, memotong kalimat Orin sembari menepuk pelan bahunya.
Perhatian Arai serta-merta berpaling pada Jesslyn yang mengambil posisi berdiri di sebelah Orin. Ia memindai kondisi gadis itu yang tampak tidak sehat. Kedua matanya bengkak dan sedikit kehitaman di bagian kantung matanya. Wajahnya tampak kuyu dan terlihat lemas. Bibirnya pun pucat.
"Hai, Pak Arai! Kangen ya sama saya?" Dalam kondisi seperti itu, Jesslyn masih berusaha menyapa Arai dengan ciri khas nada genitnya selama ini.
Arai mengembuskan napas panjang dengan bahu yang meluruh. Entah kenapa merasa prihatin dengan kondisi kesehatan Jesslyn saat ini. Gadis itu mencoba untuk tersenyum saat menyapanya, tetapi tetap tak terlihat seriang biasanya.
"Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?" cecar Arai.
Bersamaan dengan keluarnya pertanyaan tersebut, Orin perlahan-lahan mundur. Memberi waktu pada Jesslyn dan Arai untuk berbicara berdua. Orin memilih untuk menunggu di dalam sambil tetap mengawasi Jesslyn yang kondisinya masih belum stabil.
"Cuma demam kok, Pak."
"Udah ke dokter?" Arai mengulang kembali pertanyaannya.
Jesslyn mengangguk sebanyak dua kali. "Udah."
"Kenapa nggak rawat inap aja? Kondisi kamu kacau banget kayak gini," ucap Arai sembari menatap Jesslyn dari atas sampai ke bawah.
Satu sudut bibir Jesslyn terangkat, membentuk senyum setengah. "Bapak khawatir ya sama saya?" tuduhnya dengan godaan.
Arai memutar kedua bola matanya. "Lagi sakit kayak gini, masih aja kamu genitin saya."
Jesslyn terkekeh.
"Saya datang ke sini karena mau balikin tempat makan kamu. Udah saya kasih ke temen kamu tadi," ucap Arai, menjelaskan maksud kedatangannya pada Jesslyn agar gadis itu tidak salah paham.
Jesslyn mengangguk. "Iya, Pak."
"Ya, udah, saya pamit dulu kalo gitu."
"Makasih ya, Pak."
Arai hanya manggut-manggut sebelum berbalik dan meninggalkan Jesslyn.
Bukannya lega karena sudah bisa melihat Jesslyn secara langsung, Arai malah tetap merasa cemas. Bagaimana tidak, kondisi Jesslyn tadi sungguh memprihatinkan. Jauh dari kata baik.
Sepertinya Arai akan kembali lagi besok.
Ia akan memikirkan terlebih dahulu alasan apa yang bisa digunakannya sebagai alibi.
•••
Hallo! Maaf ya aku baru bisa update sekarang. Aku bakal berusaha supaya lebih rajin lagi🥰💃
Pokoknya terus ramein cerita ini yaa. Mwah mwah❤💋
5 April, 2023
Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top