WARISAN
Dengan mata terbeliak penuh kengerian, dia duduk mematung melihat hewan melata itu meliuk-liukkan tubuh mengkilatnya.
Perlahan namun pasti, makhluk itu bergerak mendekatinya sejengkal demi sejengkal. Seiring dengan liukan tubuhnya, lidah panjang tipis menjulur keluar masuk rahang pipih diiringi suara desisan.
Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dan saat tubuh makluk itu mengeras dan membentuk sudut sembilan puluh derajat, hanya berjarak lima centi meter dari wajahnya, tiba-tiba dia merasakan tulang-tulangnya luruh satu persatu.
Peluh membanjiri piyamanya. Dengan jelas dia merasakan denyut jantungnya yang berdetak memburu. Kali ini dia merasakan ketegangan luar biasa di seluruh sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku dan tak bisa digerakkan. Saat dia mencoba berteriak, entah mengapa suaranya tercekat di tenggorokan. Mulutnya menganga lebar, namun tak sedikitpun suara yang dihasilkan oleh anak tekaknya.
Susah payah dia membebaskan diri dari lilitan selimut warna merah jambu. Setelah mengumpulkan sisa tenaga, dia mencoba duduk bersandar di ujung tempat tidurnya.
Masih dia rasakan degup jantung dan nafasnya bermaraton. Perlahan dia meraba kening dan lehernya yang basah dengan peluh. Meski telah menyetel pendingin ruangan dengan temperatur paling minimum, ruangan berukuran empat kali lima meter itu tetap terasa sangat gerah baginya.
Mimpi yang sama. Dan ini sudah ketiga kalinya. Otaknya berputar keras mencoba menerka-nerka apa arti mimpi anehnya.
Tetiba, derit pintu kamar yang engselnya kurang oli membuatnya meloncat dari tempat tidur.
“Ada apa Karin?” suara bass milik Mas Sonny, kakak laki-lakinya memelankan degup jantungnya.
Sontak Karin berlari dan menubruk tubuh kakaknya. Sambil bersandar di dada kakaknya, dia menangis sejadi-jadinya. Kronologis mimpi yang menganggu nyenyak tidurnya mengalir lancar dari mulutnya.
***
Keesokan pagi diawali dengan teriakan histeris Kania, kakak perempuannya. Seluruh penghuni rumah serta merta mengerubungi kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamar Karin.
Tak heran jika Karin menjadi orang pertama yang melihat dengan jelas betapa mata sayu kakaknya melotot ngeri, menengadahkan kepalanya memandangi langit-langit kamar.
Reflek, kepala Karinpun ikut tengadah ke atas, mencari tahu apa gerangan penyebab teriakan Kania.
Anehnya dia tidak melihat apapun pada eternit bermotif bunga dan daun bersalur serba hijau, warna kesukaan Kania. Sonny yang datang belakangan, menerjang masuk kamar.
Belum sempat dia menanyai adik kesayangannya, tiba-tiba saja mereka dikejutkan lagi dengan jeritan panjang diiringi isak tangis.
Kali ini berasal dari dapur. Semua orang mengenali itu adalah suara milik ibunda tercinta.
“Ada apa lagi ini?” gumam Sonny sambil tergopoh menuju dapur.
Karin dan Kania yang kebingungan melangkah gontai mengikuti Sonny ke dapur. Kaki mereka terasa berat, sulit diajak melangkah.
Untung saja Sonny dengan sigap sudah berada di dapur hanya dalam hitungan detik.
Pemandangan ibu yang terduduk lunglai dan menangis tersedu sambil menunjuk ke arah pintu dapur yang terhubung dengan halaman belakang, sudah cukup menjelaskan semuanya.
Pasti ini ulah makhluk menyeramkan itu lagi! Mereka berempat terdiam. Benak mereka dipenuhi sejuta pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana makhluk menyeramkan itu bisa berkeliaran di rumah mereka.
“Ciiiiiiiit…..” suara rem mobil yang dipijak mendadak memutus lamunan mereka.
Kania yang berdiri paling dekat dengan teras, bergegas ke depan. Penasaran, dia mengintip dari balik korden ruang tamu.
Samar didengarnya suara seorang wanita, “Aku hanya ingin penghuni rumah ini sengsara. Persis seperti yang kurasakan dulu, saat aku tinggal di rumah neraka ini!”
Takut terlihat sedang mengintip, Kania menyembunyikan tubuhnya di balik pintu. Sambil menunggu wanita itu memencet bel, dia berjongkok dan mundur beberapa langkah menjauhi pintu.
Saat bel dibunyikan, dia menunggu beberapa saat sampai kemudian dia langkahkan lagi kakinya untuk membuka pintu.
Belum sepenuhnya pintu terbuka lebar, Wanti, sepupunya sudah menerobos masuk dan menyodorkan sebuah map.
“Segera tanda tangani berkas ini, atau kutunggu kalian di Pengadilan!” tatapan sinisnya tidak bisa menyembunyikan wajah ayu nan kuyunya.
Di sebelahnya berdiri seorang lelaki berumur 40-an, berkemeja rapi dengan dasi di leher yang mengenalkan dirinya sebagai pengacara Wanti.
Kania diam seribu bahasa. Hanya tangannya saja yang terjulur untuk menerima berkas yang membuat tangannya gemetar. Ingin dia robek map biru muda itu dan segera membuangnya ke tong sampah.
Namun tepukan ibu di pundaknya membuat urung niatnya.
“Kita harus segera berbenah, Nak! Relakan saja semua kenangan indah kita di sini,” bisik ibu.
***
Jam berdentang dua belas kali saat Sonny menjawab dering telepon genggamnya. Suara di seberang mengabarkan bahwa Wanti baru saja meninggal.
"Di lehernya ada bekas gigitan ular". Itu suara sang pengacara, Nicholas. Sambil menutup telepon dia berkata lirih, “Seperti yang kau pinta, kau hanya ingin mereka sengsara!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top