[40%] WNI is being processed ...
Mendengar bel sekolah memekik nyaring ke seisi penjuru Nepatas, perut Ibnu bergemuruh seketika. Bukan. Bukan karena ada hasrat kentut yang mendesak. Bukan pula dorongan kuat untuk berak ... oh, mungkin perkecualian kalau beraknya mengeluarkan berjuta kupu-kupu yang berdesak-desak dalam perutnya. Alias apa coba? Ibnu grogi abis, nih! Soalnya, pulang sekolah berarti waktunya Ibnu nge-date sama ... tetot! Nge-date? Itu, kan, diksinya orang dewasa! Ibnu cuma mau latihan, kok, sama Neysa! Latihan nge-date ... eh, latihan confess ... eh, latihan berargumen!
Kini, keduanya sedang duduk sebangku di ruang kelas yang sudah kosong, hanya tersisa mereka dan satu-dua anak organisasi yang rebahan di bagian belakang kelas untuk menunggu jadwal rapat sore ini.
"Siap buat hari pertama pelatihan?"
"Siap, suka!"
"Hah?"
"Suka ka ...."
Kamu ... kamu? Ibnu nge-lag sejenak. Barusan itu mulut Ibnu yang ngomong langsung? Di depan Neysa-nya sendiri? Eh, Neysa-nya siapa? Neysa-nya Ibnu? Weladalah! Ibnu melotot tak percaya. Semburat merah menyeruak di pipinya. Apa-apaan? Memangnya siapa Ibnu? Memangnya dia pemerintah yang bisa mengklaim tanah negara seenaknya, menggusur penduduk asli, mengosongkan lahan, hanya untuk kepentingan korporasi besar pertambangan yang sudah berjasa mendanai kampanye dan proses money politics-nya hingga menjabat di kepresidenan? Ups! Tetot! Ayah pasti bangga kalau dengar pemikiran Ibnu yang mendadak bertema politik itu.
Oke, stop. Neysa udah masang muka keheranan, dan sepertinya Ibnu perlu bertanggung jawab penuh untuk itu. Tapi ... duh! Semoga saja Neysa lupa, atau tidak mengindahkan celetukan mulutnya yang dibajak perasaan tadi. "Suka apa?"
Singkat, padat, suka apa? Ya ... ini harusnya Neysa suruh ngaca sendiri aja enggak, sih? Ibnu menghela napas panjang. Ya sudahlah. Kalau sudah telanjur begini, tidak seharusnya Ibnu melarikan diri. Enggak lagi-lagi! Sekarang saatnya menghadapi Neysa dengan mengarang indah. Pelajaran Bahasa Indonesia emang berada di urutan terbawah dalam hidup Ibnu. Tapi kalau urusan pelik begini ... Ibnu jadi semangat mengolah pembendaharaan kata yang ada di kepalanya untuk menyelamatkan diri dari tatapan mata cokelat terang nan indah milik Neysa yang kini tengah diselaminya.
"Suka ... ka ... kayak ... kayak gitu! Haha. Iya, suka kayak gitu. Aku suka pelatihan begituan. Ha ha, ha ...." Tawa garing Ibnu berhenti dadakan, tadinya berharap Neysa bisa ikut ketawa, tapi tidak. "Ha ha." Akhirnya, Ibnu nambahin dua kali ha-ha biar enggak sepi-sepi amat.
Walau amat tidak jelas seperti masa depan Ibnu, Neysa akhirnya tidak bertanya-tanya lagi. Anak perempuan itu sudah memasuki mode serius. Ia mengangguk mantap. Tatapannya memancarkan semangat membara yang bikin wanderspace_ juga takut Neysa tiba-tiba keluar dari layar. Neysa mengepalkan tangan kayak mau nonjok orang. "Yang semangat, dong. Ulang! Udah siap buat hari pertama pelatihan berargumen?"
"Hah?" Bentar, otak Ibnu buffering terus. Unyunya Neysa dengan tampang serius dibingkai buntalan pipi yang kembung itu bikin enggak fokus! Manusia yang attention span-nya pendek kayak Ibnu dihadapkan dengan pemandangan gemay ini? Yang bener aja! Gimana Ibnu enggak ke-distract coba? "Iya ... iya, siap. Latihannya ...."
Tak puas dengan respons Ibnu, Neysa pun meninju meja hingga terdengar suara gebrakan dan bikin Ibnu terperanjat sampai mau loncat kayak jantungnya yang lagi jedag-jedug dangdutan. Neysa kembali mengepalkan tinju ke hadapan muka Ibnu yang duduk di kursi sebelahnya. "Siap buat pelatihan?"
Ampun, dah! Selain kata-katanya, Neysa juga punya power di buku jarinya ternyata. Melihat dahsyatnya aksi yang dilakukan Neysa pada meja tak berdosa itu bikin bulu kuduk Ibnu merinding. Gimana kalau tinjunya dilayangkan pada Ibnu yang kurus kering nan ceking ini, coba? Mental ke Mars kali, ya. Ibnu menelan ludah susah payah. "Siap," lirihnya.
Neysa mendekatkan mukanya hingga tersisa beberapa senti saja jaraknya dari batang hidung Ibnu. "Siap buat latihan?!"
"SIAP!" seru Ibnu yang gelagapan. Keras sekali suaranya barusan. Sengaja Ibnu teriak sekencang mungkin agar Neysa segera menjaga jarak aman dengan dirinya. Ya habisnya ... dikira Ibnu kuat, apa, menghadapi Neysa yang ada aja gebrakannya? Ibnu enggak bisa diginiin!
"Bagus!" Neysa nyengir lebar, kemudian membuka halaman belakang bukunya dan menuliskan sesuatu di sana. Beberapa detik proses menulisnya itu digunakan Ibnu untuk menjinakkan jantungnya yang sudah mau loncat tak keruan. Tidak sehat! "Aku perlu memastikan kesiapan kamu karena salah satu poin penting dalam berargumen adalah tekad yang kuat. Tahu tujuan berargumen, 'kan? Contohnya di materi Teks Eksposisi yang sempat diajarkan oleh Bu Ririn. Bagian argumentasi itu berfungsi untuk meyakinkan pembaca pada pendapat si penulis. Tapi kita enggak akan loncat ke tahap itu. Untuk sekarang, kita coba dengan langkah awal terlebih dahulu."
Ibnu mengerjap-ngerjap mencermati tulisan 'indah' Neysa di atas permukaan kertas tersebut. Ow, masih seperti ceker ayam. Apa, ya, itu? Gimana coba bacanya? Harus pakai mata batin kah? Ibnu berusaha menyipitkan mata, meyakinkan diri bahwa ini bukan karena kondisi matanya yang mulai minus. Beli ... sate? Hah?
"Validate your feelings."
Oh, itu! Kirain Neysa minta dibeliin sate.
"Sebelum belajar mempertahankan argumen, tentu kita harus membangun argumennya terlebih dahulu. Aku sarankan, sih, coba latih keberpihakan kamu. Kita mulai dari isu sederhana dulu aja, ya ...." Neysa berpikir sejenak. "Belajar fisika itu penting. Yay or nay?"
"Sebenernya, kan, setiap orang pasti punya minatnya masing-masing. Buatku fisika itu penting, tapi mungkin mereka yang minatnya di ranah soshum, mereka yang senengnya mengkaji isu-isu yang berhubungan dengan manusia dan masyarakat ...."
"Yay or nay?"
"Uhm ... ya belajar fisika itu buatku ...."
"Aku belum minta pendapat atau alasan di balik jawaban kamu, ya, Nu. Belum sampai sana." Neysa mengangkat tangan seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Untuk sekarang ini, kamu cukup jawab dengan tegas. Yay or nay?"
"Tapi fisika, 'kan ...."
"Belajar fisika itu penting apa enggak?"
"Penting." Ya ampun, Ibnu tak sanggup menghadapi Neysa yang ugal-ugalan begini!
"Ya, karena sistem pendidikan di Indonesia masih menuntut anak untuk berbakat di semua bidang. Sistem pendidikan dengan standarisasinya memaksa anak untuk menjadi pembelajar yang generalis." Neysa mengangkat bahu, kelepasan, malah dia yang bablas nambah argumen. "Oke, mantap. Pertahankan, ya. Coba isu lain. Bubur diaduk atau enggak diaduk?"
Hah? Kedua alis Ibnu refleks mengerut. Pertanyaannya emang absurd begini, ya? "Uhm ... diaduk?"
"Diaduk apa enggak?!"
"Diaduk!"
"Fisika atau matematika?"
Ya ampun! Pertanyaan macam apa, ini! Ibnu siap mengacak-acak rambutnya sendiri karena tak sanggup menomorduakan salah satu dari dua mata pelajaran favoritnya itu. Selama ini, kan, Ibnu poligami dengan fisika dan matematika. Masa tiba-tiba berlaku tidak adil dengan memilih salah satunya saja? "Uhm ... uhm ... fi ... enggak, enggak. Mat ... matematika!" Maafkan aku, Fisika! Aku mencintaimu selalu!
"Fisika atau matematika?"
"Matematika!"
"Bakso atau mi ayam?"
"Mi ayam!"
"Paslon nomor empat atau nomor lima?"
Eh, bahaya! "Lima, dong!"
"Setuju, enggak, kalau tontonan series berkualitas itu yang jumlah episodenya enggak kebanyakan?"
"Tergantung."
"Setuju apa enggak?"
Thoriq haji dua bulan! Ini, sih, enggak bisa, ya. Ibnu enggak suka yang episodenya panjang-panjang ... tapi dia juga suka One Piece yang enggak khatam-khatam itu! Konflik batin, nih! "Tergantung."
"Jangan diplomatis! Tentukan keberpihakan kamu!"
"Duh, Neysa!" Ibnu gemas sendiri. "Bukannya cewek, ya, yang suka ngomong 'terserah'? Kamu bukan cewek kah?"
Respons Ibnu sangat tidak relevan, tapi mari kita lihat bagaimana Neysa menanggapinya. "Terserah itu enggak selalu berarti ketidakjelasan jawaban, tapi kadang juga berarti kalau ada keengganan untuk menjawab, alias ya ... cowoknya, dong, yang inisiatif!"
Bentar ... Neysa meng-acc Ibnu untuk bicara ke arah 'sana'? Ibnu mengerjap-ngerjap tak percaya. "Kamu lagi ngasih kode?"
"Kode apa? Ini kita bukan latihan buat melakukan spionase, ya. Enggak usah ada kode-kodean."
"Kamu pengen aku yang inisiatif duluan, 'kan?" Oh, jadi begini cara main yang Neysa suka. To the point aja gitu, ya. Enggak usah kode-kodean? "Oke, ayo! Ayo pacaran!"
Ibnu memegang dadanya dramatis, didukung dengan ritme napasnya yang tidak beraturan.
"Soalnya, kan, validate your feelings ... dan aku baru aja memvalidasi kalau aku deg-degan banget di deket kamu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top