[20%] WNI is being processed ...

Kalau ada sumur di ladang, bolehlah ikut menumpang mandi. Kalau si cantik belum berpawang, bolehlah Ibnu ambil kemudi. Anjaaay! Cengiran tengil macam orang mabok sudah menghiasi sudut bibir Ibnu. Sepersekian detik kemudian ... blush! Apa yang baru saja Ibnu pikirkan? Pawang? Ambil kemudi? Ke hatinya? Tidaaak! Mana ada! Ibnu cuma terpesona sama argumentasi Neysa yang padat macam lontong Mbah Entong. Tidak kurang, tidak lebih. Apalagi kalau sampai merembet ke arah cinta-cintaan. Big no!

Lagian, masa, sih, Ibnu bisa terpikat sama sosok mungil, pipi gembil, hidung minimalis, alis tebal, bibir tipis yang bisa menciptakan kurva senyuman indah, rambut hitam lurus yang menari seirama langkah kecilnya, manik cokelat terang dengan binar penuh semangat yang ... Ya Tuhan, setelah Ibnu coba pikir kembali masak-masak ... ini mah cantiknya kebangetaaan! Ibnu lemas total, Gimana, sih? Dia ke mana aja, coba, selama ini? Semua gara-gara radar Ibnu yang jelek banget kalau dipakai buat memindai cewek cakep, apa emang Neysa-nya aja yang hidup gaib selayaknya bidadari?

"Oh! Kamu mau belajar berargumen?"

Tepat sekali, Cinta! Ibnu bersorak dalam hati. Lampu ijo, sih, ini. Halusnya suara Neysa sampai menusuk relung sanubari! Ibnu salah tingkah sendiri. Kakinya yang sedang menapaki satu demi satu anak tangga menuju ruang kelas 9E di lantai tiga pun sudah tak lagi diperhatikan Ibnu. Aduh ... kelas Ibnu bisa dipindah ke bulan aja enggak, sih? Lantai tiga mah kelewat singkat! Bentar lagi juga sampai. Macam orang sangau, langkah Ibnu jadi oleng bin gemetar. Anak lelaki itu sampai harus mencengkeram pegangan tangga erat-erat, memastikan kakinya terlihat cukup gagah untuk berjalan bersisian dengan sang Master Debat. "Iya, bikin argumen yang baik dan benar."

"Alasannya?"

Segala efek berbunga yang hidup di kepalanya mendadak padam. Ibnu membeo sambil cengo, "Alasan?"

Neysa mengedikkan bahu. Manik cokelat terangnya tak lepas dari sosok Ibnu selagi menaiki anak tangga. "Beri aku tiga alasan kenapa harus menerima permintaan kamu."

Ibnu gelagapan. Walau kecil-kecil, langkah kaki Neysa tidak menurunkan kecepatannya sama sekali. Ibnu harus bergegas, waktu mereka terbatas! "Tiga alasan ... karena kamu jago ngomong, jago mempertahankan argumen, dan ... berhasil negosiasi sama Pak Uzaz?"

Sampailah keduanya di lantai tiga. Kini, tinggal melalui koridor untuk mencapai kelas 9E. Demi mendengar pernyataan Ibnu barusan, Neysa mengangkat kedua alisnya. "Wow! Keren, Ibnu. Brilian! Itu efektif banget buat menjilat orang." Nada ringan Neysa mendadak berubah lebih suram. Aura galaknya jadi memancar kuat. "Tapi enggak ada substansinya. Tidak diterima! Ketiga alasan yang kamu sebut tadi bersifat terlalu bias, abstrak, enggak jelas standarnya, dan ... kerja sama yang baik melahirkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Mau aku kasih bocoran tips and trick yang oke? Kamu bisa coba mulai dengan menawarkan suatu benefit yang bisa dipertimbangkan oleh lawan bicaramu."

Bentar, Ibnu loading. Tadi itu ... Neysa menyebut namanya? Ibnu dikenali Neysa? Yaaa memang sudah sewajarnya, sih, kalau sesama warga kelas 9E saling mengenal. Tapi enggak wajar buat Ibnu yang kemampuan berintegrasi dengan lingkungan sosialnya rendah! Stooop! Enggak ada waktu lagi buat salah fokus! "Benefit apa?"

"Ya apa? Di sinilah letak pentingnya mempelajari target sebelum beraksi. Kamu, lho, pihak yang menawarkan kerja samanya. Ya harusnya kamu, dong, yang inisiatif mengajukan ketentuan lebih spesifik terkait ...."

"Aku akan mengabulkan tiga permintaan kamu sebagai gantinya," pangkas Ibnu dengan segala implusivitasnya. Jangankan Neysa, Ibnu aja kaget gara-gara ucapannya sendiri yang udah kayak di FTV-FTV. Mengabulkan tiga permintaan?

"Bjir! Kamu ini spesifikasi jin tomang apa gimana?"

Ibnu mendengkus malas. Anak perempuan di hadapannya bisa menyebalkan juga ternyata. Bikin malas dan menyesal udah sempat memikirkan kemungkinan untuk naksir! Ibnu tarik semua paragraf yang bahas Neysa dengan filter lope-lope di udara tadi, deh! Ibnu bergidik. "Itu bentuk kerja sama yang aku tawarkan, ya. No comment! Sah-sah aja, 'kan?"

"Oke, deal!"

Alamak! Emang boleeeh serefleks itu? Emang boleeeh dapat deal-nya segampang itu? Cepet amat! Ibnu jadi jantungan sendiri, nih! Langkah Ibnu sampai berhenti tepat di depan pintu kelas. "Deal? Beneran?"

Neysa memutar bola matanya dengan sebal. "Kamu niat ngajuin kerja sama enggak, sih?"

"Lho? Niat, kok!"

"Ya udah, itu. Dari aku deal. Syarat kamu udah aku acc. Tapi kamu masih aku kasih kesempatan buat terima atau enggak setelah nanti kita bahas lebih lanjut terkait detail permintaan-permintaan yang akan aku ajukan. Tapi ...." Neysa menatap netra hitam legam Ibnu tanpa berkedip. "Bolehkah aku mengajukan satu permintaan saja untuk dipenuhi saat ini juga?"

Apaan, tuh? Pikiran Ibnu jadi mencar ke mana-mana. Minta beli sesuatu? Beli sarapan? Neysa, kan, terlambat, ya. Mungkin belum sempat sarapan di rumah. Minta ikatin tali sepatu? Ibnu menunduk. Oh, enggak. Tali sepatu Neysa masih terikat rapi di tempatnya. Terus apa? Minta Ibnu jadi pacarnya? Ah, elah! Itu, sih, Ibnu yang pengen! Demi mengusir halusinasi tingkat akut yang berisik memenuhi kepala, Ibnu pun geleng-geleng. "Permintaan apa?"

Neysa mengetuk pintu kelas tiga kali tanpa melepaskan tatapannya dari sang lawan bicara. "Permintaannya, aku mau kita bahas kerja sama ini di lain waktu." Neysa membuka pintu dan hendak masuk ke dalam ruang kelas. "Kita udah telat, lho! Aku enggak mau ketinggalan pelajaran lebih jauh lagi. Kalau kamu belum mau masuk kelas, ngomong sama tembok dulu aja, sana!"

Berang-berang berjalan-jalan ... memang sialan! Dikira Ibnu bisa bahasa tembok apa, ya? Meski ogah-ogahan, Ibnu mengekori Neysa yang melangkah masuk ke dalam kelas, lantas salim kepada Pak Prana, pria menjelang usia kepala empat yang sedang asyik menjelaskan persamaan dan fungsi kuadrat. "Ibnu, Neysa ... karena baru masuk kelas, nanti kalau ada hal yang belum dimengerti bisa langsung tanyakan ke Bapak, atau ke teman-temanmu yang lain, ya. Sekarang Bapak mau lanjut dulu pembahasannya."

"Baik, Pak." jawab Neysa membuat Ibnu refleks mengamati sosok yang sudah duduk tegak di bangkunya itu. Jika Ibnu boleh berasumsi ... Neysa baru saja mengangguk ... dengan lemas? Embusan napas berat keluar dari mulutnya. Kenapa energi Neysa mendadak banyak berkurang? Apa ada masalah?

Oh, wow! Sejak kapan Ibnu jadi peka terhadap orang-orang di sekitarnya? Apakah interaksi singkatnya dengan Neysa membuat radar Ibnu tambah sensitif? Enggak, enggak, enggak. Biasanya, begitu masuk kelas, Ibnu akan duduk tenang di bangku pojok kelas, kemudian tenggelam dalam pergelutan lautan angka-angkanya sendiri. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bisa mendistraksi dunia Ibnu ketika tangannya mencoretkan operasi perhitungan di atas permukaan kertas. Lalat numpang lewat? Tidak. Tingkah barbar orang mabar? Tidak. Warga kelas pargoy jamaah? Tidak. Ibnu punya otoritas penuh atas kendali hidupnya sendiri.

Akan tetapi ... kini, Ibnu jadi refleks melirik Neysa satu kali setiap sepuluh detik, kebiasaan baru yang terasa anomali dan bikin Ibnu dag-dig-dug enggak nyaman. Duh! Anak perempuan itu punya medan gravitasi sebesar apa, sih, sampai bisa menariknya sekuat ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top