[15%] WNI is being processed ...

Munaroh ngeteh sambil dipangku ... kata gue teh, menyala abangkuh! Operasi perhitungan imajiner di kepala Ibnu langsung buyar seketika. Ada drama yang lebih menarik di dekat gerbang sana. Yang bener aja enggak nonton? Rugi, dong!

Masih menempelkan tangan kanan di jidat, Ibnu mulai memiring-miringkan badan untuk menengok situasi di dekat gerbang depan. Posisi berdirinya memang persis menghadap arah gerbang. Hanya sebuah pilar dekat ruang tata usaha yang menghalangi jarak pandang Ibnu. Dari pengamatan sekilasnya, sih, di depan sana ada seorang anak perempuan dengan rambut ikat kuda yang tengah bersitegang dengan Pak Uzaz. Ibnu menyebutnya gagah dan pemberani. Anjay!

"Lho, itu risiko kamu, dong." Suara berat Pak Uzaz terdengar. Tentu tidak ditujukan kepada Ibnu, tetapi malah anak laki-laki itu yang merasa terintimidasi. Ibnu ketar-ketir sendiri. Sementara itu, Pak Uzaz tampak melanjutkan dialognya di dekat gerbang sekolah yang sudah ditutup rapat. "Sudah tahu ada hukuman yang harus kamu jalani kalau datang terlambat. Berarti harusnya apa? Ya ... harusnya jangan datang terlambat, dong! Bukankah begitu, Neysa Fathiyya?"

Neysa? Namanya kayak enggak asing, deh. Siapa, ya? Nama yang masih punya tunggakan utang? Atau caleg yang namanya dipajang di baliho setiap persimpangan? Ibnu nge-lag sejenak hanya untuk menggali folder ingatannya di ceruk terdalam.

Oh, benar! Itu, kan, teman sekelasnya di tahun ketiga ini. Warga kelas SMPN Pasundan Tasikmalaya memang diacak setiap kenaikan kelas. Sekarang sudah menjelang pertengahan semester pertama sebagai anak kelas sembilan, tetapi makhluk nolep macam Ibnu yang payah dalam beradaptasi ini, ya ... tentunya belum berinteraksi banyak dengan penduduk kelas. Enggak heran kalau nama Neysa jarang menyapa telinganya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, anak perempuan itu sepertinya cukup aktif dalam kelas, deh. Neysa si Master Debat yang Nasionalis Abis ... bukankah itu gelar yang disematkan anak kelas kepadanya?

Ah, mbuhlah! Ibnu sudah pikun. Ngapain juga mendadak ia peduli soal begituan? Masa cuma karena Ibnu lagi butuh pencerahan untuk menyuarakan keengganannya masuk IPS kepada Ayah?

"Terima kasih sudah mengingatkan, Pak. Saya sepenuhnya sadar akan konsekuensi yang ada jika saya terlambat datang ke sekolah. Akan tetapi, nyatanya, tidak semua orang memiliki free-will seutuhnya untuk menghindari keterlambatan tersebut setiap hari." Tatapan Neysa tak beralih sedikit pun dari Pak Uzaz, berusaha meniadakan kesan ragu yang bisa ditangkap wakasek kesiswaan tersebut walau hanya setitik.

Pak Uzaz berdeham panjang. "Kamu sedang membela diri? Apakah kamu akan memaparkan argumentasi yang sama ketika yang terlambat bukanlah kamu? Peraturan kita ini sudah berjalan sejak lama, lho. Ke mana saja kamu selama ini? Baru buka mata dan menyatakan ketidaksetujuan di saat situasi kamu sedang tidak diuntungkan?"

"Dengan sepenuh hormat kepada Bapak selaku wakil kepala sekolah Nepatas, Pak ... saya tidak bermaksud membenarkan tindakan terlambat itu sendiri. Saya akui saya bersalah, dan saya berhak untuk dihukum. Yang ingin saya pertanyakan di sini adalah letak urgensi dari kebijakan Bapak serta pihak sekolah dalam menentukan jenis hukuman untuk siswa yang melanggar."

Bjir! Tipis-tipis, Abangkuh! Ilmu padi! Ibnu keringat dingin. Konfrontasi Neysa masih saja berlanjut, padahal seorang Pak Uzaz selalu berada dalam kondisi yang tidak pernah kondusif untuk diajak adu mulut.

"Ke mana saja saya selama ini? Saya kebetulan ada di kelas selalu, sih, Pak. Jam istirahat ke perpustakaan, jam pulang langsung pulang. Begitu seterusnya. Tapi jika Bapak mempertanyakan keberpihakan saya ... terus terang saja, selama lebih dari dua tahun saya bersekolah di sini, saya belum mengetahui adanya hukuman hormat sampai jam pelajaran berikutnya bagi siswa yang datang terlambat. Selama ini, saya hanya mendengar jenis hukuman membersihkan toilet, melaksanakan shalat Duha, serta membantu Bu Ririn untuk menjaga perpustakaan dan merapikan buku-buku. Itu pun biasanya menggunakan waktu di luar jam kegiatan belajar mengajar. Sampai sana, apakah ada pernyataan saya yang keliru, Pak?"

Perlahan-lahan, tangan yang digunakan Ibnu untuk memasang pose hormat pun semakin turun, turun, dan ... ya! Sekarang sudah menyerupai kuping gajah, metode yang biasa digunakan admin lambe turah ketika menguping pembicaraan superpenting dari konferensi dengan rahasia tingkat tinggi. Hah?! Pak Uzaz tidak merespons apa pun? Tidak menyanggah sama sekali? Demi apa, sih? Demikian?

Di saat Ibnu rempong-rempongnya memikirkan masa depan Neysa jika sungguh-sungguh ditandai Pak Uzaz yang berarti bisa membahayakan nasib akademiknya di bumi Nepatas ini, anak perempuan itu malah meneruskan perdebatan dengan santai. "Jika diamnya Bapak bisa saya asumsikan sebagai persetujuan, dan lagi-lagi, jika saya boleh mengutarakan pendapat yang boleh Bapak terima ataupun tidak ... adanya ajuan keberatan saya yang mungkin Bapak rasa teramat mendadak ini disebabkan mekanisme penegakan tata tertib sekolahnya masihlah bias. Belum ada standar dan patokan jelas dalam menjatuhkan hukuman kepada siswa yang melanggar sehingga terdapat ruang untuk terciptanya perbedaan interpretasi antara guru yang bertugas piket setiap paginya. Mungkin implikasinya terlihat tidak begitu signifikan saat ini, tetapi perbedaan penjatuhan hukuman bisa menjadi masalah yang serius jika didiamkan terus-menerus, Pak."

Bentar, bentar ... apa? Asumsi? Mekanisme yang bias? Perbedaan interpretasi? Implikasi yang tidak begitu sig ... signifikan? WOY, anak SMP macam apa yang tampak terbiasa menerapkan pembendaharaan kata sedewasa itu dalam ragam percakapan sehari-hari, bahkan dalam percakapan dengan seorang guru? Neysa ini kerasukan Rocky Gerung kah? Habis makan sama janji paslon apa gimana?

Dari balik pilar ruang tata usaha, Ibnu bisa melihat ikatan rambut Neysa yang bergoyang ketika Neysa mengangguk-angguk. "Kembali lagi ke kasus saya ... saya terima konsekuensi dari keterlambatan saya, Pak. Tapi bolehkah saya mengajukan keberatan ketika saya kira, hukuman tersebut tidak bisa saya rasakan urgensi serta manfaatnya? Atau jika Bapak berkenan ... bolehkah saya menanyakan segala pertimbangan dari sudut pandang Bapak dalam menerapkan hukuman hormat ini?"

"Ya! Tentu untuk membuat kalian jera. Prosesi hormat pada bendera pun bisa mengembangkan kecintaan siswa pada bangsanya, pada bendera merah-putih. Bukannya kamu si Nasionalis itu, Neysa? Apakah budaya penghormatan ini mengganggumu?"

"Oh ...." Kekehan halus terdengar dari bibir tipis Neysa. "Tidak begitu, Pak. Saya amat mengapresiasi bagaimana Bapak masih mengingat nilai sang saka saat ini. Akan tetapi, saya pribadi kurang sepakat dengan pengaplikasiannya dalam bentuk hukuman, Pak. Kenapa seseorang harus hormat kepada bendera untuk menjalani hukuman? Ah! Lebih tepatnya ... kenapa seseorang harus menjalani hukuman terlebih dahulu untuk menyadari pentingnya menghormati nilai-nilai dan budaya warisan bangsa? Saya tidak berpikir alternatif tersebut efektif untuk menimbulkan efek jera, Pak."

Ibnu melotot sempurna. Kepalanya geleng-geleng karena tidak sanggup lagi untuk mencerna berbagai argumentasi Neysa yang ... bjirlah! Jangankan berargumen kayak begitu, Ibnu denger Neysa ngomong aja udah pusing duluan. Terlalu tinggi! Gimana, deh, cara Neysa bisa mengolah informasi di kepalanya hingga menata ulang dan menyajikannya lewat bahasa verbal yang terstruktur dan sistematis?

Pikiran Ibnu sepenuhnya kosong. Blank! Kejadian yang bisa ia ingat dan diproses otaknya setelah itu adalah ... tahu-tahu saja, Pak Uzaz membiarkan Ibnu dan Neysa untuk lekas masuk kelas, serta menginstruksikan bahwa hukuman keduanya telah dialihkan dengan tugas menggantikan peran Bu Ririn di perpustakaan selama jam istirahat nanti. Sulit untuk diutarakan dengan kata-kata, tetapi yang pasti, Ibnu rasa ... Neysa keren banget!

"Mohon bantuannya, Guru!"

"Hah?"

Tak bisa mengontrol tingkat freak-nya yang sedang meledak-ledak kali ini, Ibnu menyampaikan niatnya pada sang Master Debat yang Nasionalis Abis dengan menggebu. "Puh, sepuh! Ajari aku mencin ...." -taimu dengan segenap jiwa raga, dong! Lah? Untung bibirnya sempat mengerem, enggak jadi bablas. Gini, nih, kalau mulut malah dibajak sama lubuk hati yang paling dalam! Ibnu geleng-geleng untuk mengendalikan diri. "Maksudnya ... minta tutor buat bikin argumentasi yang kokoh dan tak tergoyahkan, dong!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top