[10%] WNI is being processed ...

Kalau ada dua kata paling horor di muka bumi ini, bukan "Mbak Kun-kun" atau "Mas Cong-cong" ... Ibnu pasti akan mengajukan "Rabu" dan "kesiangan" sebagai jawabannya. Kenapa bukan Senin yang merupakan hari dengan tingkat keanjlokan rutinitas paling tinggi? Ini berkaitan dengan variabel lain yang nambah kesan suram di Rabu pagi.

Ya! Rabu ini jadwalnya Pak Uzaz piket jagain gerbang. Apa spesialnya? Bagi Pak Uzaz yang merupakan seorang wakasek kesiswaan, menghadapi siswa yang melanggar tepat di batang hidungnya berarti sebuah penghinaan besar. Pria kekar—dengan mata memicing yang bisa mendapatkan notifikasi khusus ketika ada pelanggaran melintas dalam bentuk sekecil apa pun—itu tidak akan membiarkan siswa yang ia ketahui melanggar untuk sekadar berakhir di catatan poin negatif saja. Pak Uzaz selalu memiliki cara di luar nurul dalam menindak pelanggaran.

Dari desas-desus yang beredar, kakak tingkatnya dulu sudah pernah dihukum membelikan nasi padang seberang sekolah untuk makan siang guru-guru (walau tetap menggunakan uang milik guru bersangkutan, tentunya), dititah shalat Duha untuk bertaubat sebenar-benarnya hingga terdengar bunyi bel tanda pergantian jam pelajaran berikutnya, dan banyak variasi hukuman lainnya.

Di tengah padatnya jalanan, mobil Ayah merangkak. Sedikit lagi, sedikit lagi ... Ibnu sudah bisa melihat pucuk gedung SMP-nya yang enggak lebih dari tiga lantai itu. Diliriknya jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan. Pukul tujuh lebih lima menit. Aih ... Ibnu mendesah pasrah. Ini, sih, betulan masuk kandang singa!

Begitu mobil Ayah merapat di pinggir gerbang, Ibnu salim kilat dan melesat cepat untuk turun. Tergopoh-gopoh ia berlari melewati gerbang yang sudah ditutup hingga menyisakan sedikit celah saja, sembari berkumur-kumur melafalkan mantra pengusir setan.

Duh, Tuhan ... Ibnu tahu hidupnya di dunia ini cuma beban. Ibnu banyak salah dan banyak enggak jelas dalam menjalani hidup sebagai manusia ini. Tapi, ya ... kasihan gitu, enggak, sih? Masa makhluk sengenes Ibnu masih harus menghadapi Pak Uzaz di Rabu pagi yang cerah ceria ini? Enggak nyambung, kan, ya?

Satu langkah, dua langkah ... oke, sip. Ibnu udah coba buka gerbang yang belum dikunci itu. Nih, kalau Pak Uzaz enggak ada di balik pintu gerbang ini, Ibnu janji bakalan uninstall game Cross Math di HP-nya, deh! Ibnu juga enggak akan maen lagi Shopee Cocoki. Dengan segala niat dan tekad baik ini, harusnya, sih ....

"Terlambat!"

Dar-der-dor! Suara berat menyambut anak laki-laki itu. Ibnu nyaris terjengkang dibuatnya. Mampus! Pak Uzaz! Kalau pintu gerbang ini disambut Pak Uzaz ... rasa-rasanya kayak menutup pintu hidayah enggak, sih, Tuhan? Duh! Ibnu jadi bingung sendiri harus sedih atau seneng karena dia masih bisa berkutat dengan level dua Shopee Cocoki setelah ini.

Mau tidak mau, walau insting bertahan hidupnya sudah berjuta kali mengirimkan sinyal ke otak untuk kabur dan lekas lari ke kelas saja, Ibnu terpaksa mengikis jarak dengan sang predator. Cengiran lebar tak lupa ia sampirkan seraya salim khidmat kepada Pak Uzaz. Kalau dilihat-lihat, sih, pencitraannya udah okelah, ya. Oke buat ditampol berjamaah, maksudnya.

"Selamat pagi, Pak."

"Ya. Pagi," sahut Pak Uzaz dingin seperti doi, tampak tak terpengaruh dengan pembawaan serta aksi menjilat Ibnu. Lurus-lurus, dipandanginya bocah ingusan yang berdiri cengengesan di hadapannya ini. Mata tajamnya menganalisis penampakan Ibnu dari puncak kepala sampai ke ujung kaki. Kepalanya seakan memindai segala atribut kelengkapan dalam hitungan sepersekian detik. Dasi, aman. Logo sekolah, aman. Ikat pinggang, aman. Nametag, aman. Kerapian seragam, oke. Sepatu hitam, aman. Kaus kaki putih .... "Tahu kesalahan kamu apa?"

Kelimpungan, Ibnu mencoba mengecek penampilannya sendiri. Aman semua, kok. Pak Uzaz pasti mengarah ke sana. "Terlambat, Pak."

"Pukul berapa seharusnya batas maksimum sudah ada di dalam sekolah?"

"Jam tujuh pagi, Pak."

"Sekarang jam berapa?"

Ah, elah. Ibnu melirik jam tangan untuk ke sekian kalinya pagi ini. "Pukul tujuh lebih sembilan menit, Pak."

"Persis. Kenapa terlambat?"

"Karena ...."

"Selain alasan klasik seperti macet dan bangun kesiangan?"

Lah, gimana, ya, ini? Ibnu mengerjap penuh kebingungan. "Ehm ... betul banget, Pak. Kesiangan."

"Tidak diterima!" sembur Pak Uzaz. Pria menjelang usia setengah baya itu mengeraskan rahangnya. "Macet dan kesiangan adalah alasan yang tidak cukup kuat! Kenapa?"

Ya ... ya enggak tahu, ya. Kalau Ibnu tahu, mana mungkin dia jawab begitu, kan, sebelumnya? Kalau Pak Uzaz aja nanya Ibnu ... Ibnu harus nanya siapa lagi?

Gemas karena anak didik di depannya ini tak merespons sama sekali, Pak Uzaz jadi geram sendiri. "Ya karena itu enggak valid! Itu faktor eksternal yang bisa kamu atasi kalau manajemen waktumu baik. Jadi, sekarang ... kamu sudah tahu permasalahanmu itu apa?"

"Kesiangan, kan, Pak?"

"Salah, salah, salah, dan memang patut disalahkan!"

Bjir, kenceng amat. Ibnu jadi ngeri, deh. Pak Uzaz enggak takut darah tinggi apa, ya? Atau putus pita suara karena terlalu semangat ngomong kayak di kartun Spongebob itu?

"Yang salah itu manajemen waktu kamu! Kesiangan? Berarti pola tidurmu buruk. Cara memperbaikinya gimana? Manajemen waktu! Atur skala prioritas! Jangan begadang, hindari malas-malasan ... biar bisa datang tepat waktu!"

Manajemen, manajemen, manajemen ... mana ujungnya? Dahlah. Ibnu pasrah saja. Diomeli begini enggak apa-apa, deh. Asalkan hukumannya enggak aneh-aneh.

Mungkin karena Pak Uzaz lagi males mikir, atau mungkin juga karena segala kesialan Ibnu hari ini patut untuk dikasihani, Tuhan pun mengabulkan doanya yang terakhir. Betul! Hukuman yang dijatuhkan Pak Uzaz mainstream banget kali ini: disuruh hormat ke tiang bendera hingga masuk jam pelajaran kedua. Ya udahlah, ya ... bolos dikit enggak ngaruh, walau Ibnu cukup menyesalkan timing-nya di jam pelajaran matematika. Kenapa enggak pas pelajaran bahasa Indonesia yang superngantuk itu aja, sih?

Matahari mulai meninggi, sepenuhnya melepaskan diri dari selimut dinding sekolah yang sebelumnya membatasi. Panas dikit enggak ngaruh! Ibnu mesti mengalihkan perhatian pada hal lain supaya tidak bablas mengeluh yang cuma bikin harinya tambah keruh.

Diliriknya bayangan tiang dengan kelepak bendera yang terkena tiupan angin pagi. Oh, menarik. Kalau tinggi Ibnu adalah 165 cm, terus diketahui panjang bayangan Ibnu dan bayangan tiangnya ... Ibnu bisa menemukan tinggi tiang bendera. Ini pakai konsep kesebangunan aja, enggak, sih? Kalau misalnya ....

"Saya menolak!"

Seruan seorang anak perempuan yang mencoba terdengar tegas walau cempreng abis itu bikin perhitungan rumus-rumus di kepala Ibnu jadi buyar seketika. Menolak? Ini emang lagi ada konferensi tingkat tinggi, apa gimana? Apa yang ditolak? Bunga? Cokelat? Lagi musim Valentine kah? Lho, rajin amat di awal Januari begini. Ibnu hendak kembali tenggelam di dunia angkanya, mengingat segala perhitungan jelas jauh lebih menarik baginya ... tetapi tidak ketika suara cempreng itu kembali mengudara.

"Tidak. Saya menolak. Keputusan Bapak untuk menghukum saya yang terlambat datang ini dengan melakukan sikap hormat sampai jam pelajaran kedua nanti amat merugikan, Pak. Bisa dibilang kontraproduktif, malah." Ada jeda sejenak sebelum kalimat itu dilanjutkan. "Saya ke sini buat sekolah, Pak. Buat belajar yang bener. Saya sadar penuh bahwa saya terlambat. Dengan keterlambatan ini, saya udah rugi belasan menit dari jam pelajaran yang seharusnya saya ikuti. Apa masih perlu untuk Bapak hambat pula dengan hukuman semacam itu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top