BAB 3
Pagi ini Meta tampak tersenyum riang. Akhirnya, setelah dua hari bekerja dia memakai seragam kerja yang benar-benar pas di badannya. Benar-benar sesuai dengan gayanya. Setelah dia beberapa kali memastikan di depan cermin jika ia pantas. Lantas ia tersenyum sinis, kali ini bosnya sudah tak akan memiliki celah untuk mengolok-oloknya lagi. Terlebih, membuantnya menjadi pegawai paling tak berguna di dunia. Meta kembali tersenyum miring, dia benar-benar akan membalas dendam atas apa yang kemarin dilakukan bosnya.
"Eh perawan tua, ngapain lo senyam-senyum depan kaca? Kesurupan lo?" kata Kinan sembari melempar kaus kaki ke arah Meta.
Dia kemudian memandang sekeliling kamar Meta, tak tercium bau apek lagi, tak terasa pengap lagi. Bahkan bau kamarnya kini sudah kembali wangi. Kinan tersenyum, ternyata bekerja adalah hal efektif untuk menormalkan otak Meta.
"Buruan gila, ini jam berapa? Keburu entar lo diomelin Pak Yoga," dengus Kinan lagi.
Meta mengibaskan rambut panjangnya, kemudian dia memandang ke arah Kinan dengan percaya diri, "emangnya dia berani gituin gue lagi?" katanya percaya diri. Berjalan sambil berlenggak-lenggok penuh percaya diri.
Kinan memutar bola matanya, tapi dia tak menanggapi ucapan percaya diri Meta. Sementara Mbak Tanti yang baru saja keluar kamar, tampak terkejut dengan apa yang dilakukan Meta. Buru-buru Kinan melotot ke arah Mbak Tanti, kemudian mengisyaratkan untuk Mbak Tanti tidak mengatakan apa-apa.
Sementara Mbak Tanti bertanya apa yang terjadi kepada Meta tanpa suara.
Dan Kinan menanggapinya dengan menaruh telunjuknya di depan kepala. Yang menandakan, jika Meta sedang tidak waras.
******
"Elo Meta, kan?" tanya seseoranh saat Meta berdiri di depan lift.
Kinan pamit pergi ke toilet dulu, jadi dia tak bisa naik lift bareng Meta untuk saat ini.
Meta melirik cowok yang ada di sampingnya dengan seksama. Pakaiannya rapi, bahkan memakai jas. Sebuah dasi tampak melingkar manis di lehernya. Rambutnya klimis, jika dilihat dari film-film yang pernah ia tonton, cowok tipe ini adalah cowok kaya. Bisa jadi, cowok ini memegang jabatan cukup tinggi di perusahaan ini.
Meta tersenyum lebar dengan spontan, seolah-olah menandakan jika dirinya adalah sosok wanita yang ramah.
"Iya, ada apa, ya? Lo kenal gue?" tanyanya, masih dengan senyum lebarnya. Dia sedang membayangkan, bagaimana cocoknya dirinya bersanding dengan cowok ini. Pasti masa depannya akan cemerlang.
"Gue Bian, kenalannya Kinan, sepupu dari Yoga," jawab Fabian dengan senyum tipisnya. "Ayo, masuk lift bareng gue," lanjutnya.
Mendengar penuturan itu, senyum Meta langsung memudar, kemudian ia memandang Fabian lagi dari atas ke bawah.
"Elo cowoknya Kinan?" tebak Meta.
Fabian langsung tertawa, bersamaan dengan pintu lift tertutup, "bukan... bukan, kita temenan aja, kok. Lagian dia udah ada cowok,"
"Oh," jawab Meta, seolah paham.
"Elo tahu, kan, kalau gue yang ngerekomendasiin elo buat kerja di sini?" tanya Fabian.
Meta kembali tersenyum, tapi dia tak menjawab apa pun.
"Nggak ada gitu elo bilang makasih ama gue?" tanyanya lagi, yang berhasil membuat Meta berdecak.
"Gue nggak mau bilang makasih," katanya.
"Kenapa gitu?"
"Karena gue nggak ngerasa minta bantuan elo," jawab Meta lagi. Melenggang mendahului Fabian saat pintu lift terbuka.
Fabian tersenyum sendiri mendengar jawaban Meta. Setelah menggigit bibir bawahnya, dia pun menggeleng.
"Menarik juga," gumamnya.
Sementara itu, Meta berjalan semakin cepat. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan mana kala ia tak melihat meja kerjanya tak ada di mana pun. Meja kerja, dan seperangkat ruangangannya yang mungil hilang. Apa dia dipecat sama bosnya? Atau apa?
"Ruangan gue! Ruangan gue mana!" pekik Meta yang tampak mulai panik.
Fabian yang berjalan ke arahnya pun ikut mencari-cari dengan ekor matanya. Benar, ruangan Meta tidak ada.
"Maaf, Mbak Meta..." kata Pak Cipto yang berhasil membuat Meta menoleh.
"Pak, ruangan saya mana, ya? Ruangan saya kok hilang? Apa... apa jangan-jangan saya dipecat?" selidik Meta.
Pak Cipto tersenyum ramah, dan itu malah semakin membuat Meta geram dibuatnya.
"Sama sekali tidak, Mbak. Mbak Meta tidak dipecat. Hanya saja ruangan Mbak Meta sekarang dipindah," jelas Pak Cipto.
"Dipindah ke mana, ya, pak?" tanya Meta bingung.
Sebab di lantai ini hanya ada beberapa ruangan komisaris perusahaan, dan jabatan tertinggi lainnya. Kemudian ruang rapat.
"Meja kerja Mbak Meta, dipindah Pak Yoga ke dalam ruangannya."
"Apa?" kini bukan hanya Meta, tapi Fabian juga. Memekik kaget dengan jawaban dari Pak Cipto.
"Kok bisa, Pak? Elo nggak becanda, kan? Yoga, berbagi ruangan ama seketarisnya? Serius?" seloroh Fabian. Dia benar-benar paham siapa sepupunya itu, bahkan berbagai ruangan dengannya pun Yoga enggan.
"Saya serius, Pak Fabian. Anda, dan Mbak Meta bisa mengecek sendiri langsung ke ruangan Pak Yoga."
Ragu-ragu, Meta, dan Fabian pun masuk ke ruangan Yoga. Mereka terperangah dengan apa yang mereka lihat. Meja kerja Meta benar-benar berada di dalam ruang kerja Yoga. Berada tepat di sebelah kiri, dan menghadap ke barat.
"Ini bener-bener aneh," gumam Fabian. Mengelus dagunya yang berjenggot.
"Pak Yoga," kata Pak Cipto. Yang berhasil membuat yang lain menyingkir, memberi jalan pada siempunya ruangan untuk lewat.
Yoga hanya melirik sekilas, tatapannya dingin, dan tajam. Namun tanpa minat, kemudian ia duduk, mengabaikan orang-orang yang sudah sedari tadi berdiri di depan pintu.
"Ga, elo kenapa jadiin satu ruangan elo ama Meta? Bukannya elo paling anti kalau ada orang luar masuk ke ruangan elo, ya? Apalagi jika berlama-lama. Heran gue," kata Fabian. Kemudian, ia duduk sambil menyilangkan kakinya.
Sementara Yoga hanya melirik Meta dengan tatapan jauh lebih dingin, kemudian mengabaikannya.
"Aku hanya nggak mau, orang nggak berguna berbuat ulah, dan malu-maluin nama perusahaan," jawab Yoga. Yang berhasil membuat Meta kaget.
Membuat ulah? Meta mencoba memutar otaknya, apa ulah yang telah ia perbuat sampai mempermalukan perusahaan? Apa karena kejadian di hotel kemarin? Lalu apa hubungannya dengan pemindahan tempat kerjanya seperti ini? Meta benar-benar tak mengerti.
Sementara itu Fabian hanya tersenyum, dia benar-benar tak habis pikir. Terlebih setelah mendengar jawaban yang tak nyambung dari Yoga. Apa hubungannya? Hal itu terus aja berkutat di otaknya. Namun demikian, dia tak berniat untuk bertanya lebih jauh. Karena dia paham, jika Yoga paling tak suka ditanyai.
"Jika kamu nggak ada kepentingan di sini, bukankah lebih baik kamu kembali bekerja?" sindir Yoga.
"Aku hanya ingin bertemu sepupuku, apa itu salah?" tanya Fabian, menggoda Yoga.
"Aku nggak mau ketemu kamu," ketus Yoga.
Ujaran-ujaran ketus itu, jika didengar orang lain mungkin akan terkesan sangat jahat. Namun bagi Fabian itu tak lain hanyalah gurauan dari Yoga. Sebab, sedari dulu ucapan Yoga memang selalu seperti itu.
"Becca ulang tahun, lo disuruh dateng ntr malem," ucap Fabian.
Sebuah penekanan saat Yoga meletakkan bulpennya berhasil membuat semua orang melirik ke arahnya. Meski begitu Yoga masih memandang lurus dokumen yang ada di tangannya.
"Aku nggak mau," tolak mentah-mentahnya.
"Kalau lo nggak mau dia nggak mau pulang sampai lo dateng,"
"Coba aja,"
Meta tampak menggigil mendengar ucapan-ucapan dingin dari Yoga. Dia melirik ke arah Pak Cipto yang rupanya telah tersenyum ke arahnya. Sepertinya, orang-orang ini telah terlalu terbiasa oleh Yoga. Itu sebabnya ucapan sepedas itu bagi mereka adalah wajar.
Setelah menahan napas, Meta pun memutuskan untuk duduk. Mengabaikan perbincangan itu, dan fokus pada pekerjaannya. Meski sesekaki ia melirik sekilas, saat Fabian bicara panjang lebar, sementara Yoga benar-benar mengabaikannya. Lagi, Meta menghela napas panjang, dia benar-benar tak menyangka jika akan melihat pemandangan paling mengenaskan seperti ini.
"Jika mata Anda sudah selesai bekerja, bukankah lebih baik digunakan untuk memeriksa file-file yang telah saya kirim?" sindir Yoga. Tepat setelah Fabian pergi dari ruangannya. Meta tampak kelabakan, dia buru-buru memperbaiki posisi duduknya kemudian lurus-lurus memandang komputer fi depannya. "Dasar tak berguna,"
Andai bisa, Meta benar-benar ingin melempar bosnya itu dengan komputer yang ada di depannya, atau jika tidak dia akan memberikan racun tikus kepada minumannya. Dia benar-benar tak menyangka, jika ada manusia paling aneh sedunia bernama Yoga.
*****
"Dokumen ini bisa Bapak tanda tangani?" Meta mendekat ke arah Yoga sambil membawa berkas-berkas yang dimaksudkan. Tanpa sengaja, pinggulnya menyentuh punggung tangan Yoga, dan pria itu langsung menepisnya. Mengambil tisu, kemudian membersihkan punggung tangannya.
Meta mencibir, merasa tak terima dengan perlakuan Yoga, dia pun dengan sengaja menyenggol lengan Yoga. Sontak cowok itu langsung menghindar, dan menatapnya dengan tajam.
Brak!!!
Meta nyaris melompat, saat dokumen yang baru saja ia serahkan itu dibanting ke meja. Tatapan Yoga dingin, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Ada apa, Pak?" tanya Meta hati-hati. Saat ini dia menjadi takut kalau akan dibunuh oleh Yoga.
"Dasae tak berguna," geran Yoga.
"Apa? Anda bilang saya tidak berguna? Bagian dari mana yang tak berguna itu, Pak?" tanya Meta, emosinya benar-benar tersulut karena ucapan pedas Yoga.
Yoga kemudian melempar dokumen itu sampai tercecer di lantai, kemudian memicingkan matanya kepada Meta dengan tajam.
"Apa mata Anda sudah buta untuk melihat betapa menjijikkannya kertas-kertas itu? Anda hanya perlu membawanya dari meja Anda ke meja saya, tapi dengan kondisi kertas yang sangat menjijikkan," kata Yoga lagi.
Meta mengamati 'kertas menjijikkan' yang dimaksud Yoga. Rupanya, ada beberapa kertas yang tak sengaja terlipat di sana. Apa hanya karena itu atasannya marah?
Meta hendak membantah, tapi ia kembali berpikir, jika dia terus membantah pasti Yoga akan benar-benar menendangnya dari perusahaan sekarang juga.
"Maaf, Pak, saya printout kan lagi," putusnya kemudian. Memunguti kertas-kertas itu kemudia membawanya kembali ke mejanya.
Meta mengembuskan napas berat, ini sudah waktunya makan siang, dan Yoga tak ada tanda-tanda keluar dari kantor. Apakah cowok itu benar-benar tidak makan siang? Atau dia telah memesan makanan dari luar?
Dahinya Meta pun berkerut, dia bingung sekarang. Jika dia keluar, apa itu pantas. Apa Yoga mengizinkan?
Lagi, Meta menghela napas panjang. Dia sudah kelaparan karena pekerjaannya. Dan dia sudah tidak tahan untuk itu. Buru-buru ia mengambil ponselnya, kemudian menelepon Kinan.
"Hallo, Kin? Elo udah makan siang belum?" tanyanya setelah sambungan telepon terhubung.
"Belum, Met, ada apa?"
"Bareng yuk, gue segera turun, ya--"
Brak!!!
Meta langsung terjingkat saat mendengar bulpen Yoga diletakkan dengan begitu keras. Cowok itu tatapannya sangat tajam, dan mengintimidasi, dan untuk sesaat pandangannya kembali kepada file-file yang ada di tangannya.
"Tidak tahu malu," celetuk Yoga. Yang berhasil membuat Meta semakin melotot.
"Hallo, Met, ada apa? Lama bener," kata Kinan di seberang.
"Eh, nggak usah, Kin. Gue nggak jadi ikut makan siang, ya, dah!"
Meta langsung menutup teleponnya, kemudian meletakkan kembali ponselnya di meja.
Meta sama sekali tak mengerti, kenapa Yoga bisa seperti itu. Ini hanya masalah makan siang, toh pekerjaan bisa dilakukan setelahnya. Tapi Meta tak bisa protes, dilihat dari raut wajahnya Meta tahu jika Yoga sedang dalam kondisi mood yang buruk. Lagi, Meta menghela napas panjang. Sepertinya dia harus mengalah sekarang.
"Pak Yoga, sekarang waktunya jam makan siang, Pak," Pak Cipto datang, mengingatkan Yoga.
Sementara Yoga, hanya meliriknya sekilas, kemudian kembali sibuk dengan beberapa pekerjaan lainnya. Tanpa jawaban, ucapan Pak Cipto bagaikan angin lalu. Untuk kemudian, Pak Cipto menangkap sosok Meta juga masih duduk, dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Lho, Mbak Meta tidak makan siang?" tanya Pak Cipto.
Meta menggeleng, dengan senyuman hangatnya. Kemudian, ia berdiri hendak meminta tanda tangan kepada Yoga. Namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing, sampai langkahnya terhuyung ke belakang.
"Mbak Meta kenapa? Mbak Meta sakit?" tanya Pak Cipto dengan nada cemas.
"Tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit pusing,"
"Kalau begitu saya ambilkan teh, dan cemilan dulu, ya, Mbak."
Setelah menuntun Meta, Pak Cipto buru-buru menyuruh OB untuk menyiapkan cemilan, dan teh hangat manis untuk Meta. Sebenarnya dia tahu kalau Meta belum sarapan sedari pagi, pasti karena itu Meta sampai pusing.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.05 dan pekerjaan Yoga, dan Meta baru saja selesai secara bersamaan. Meta menghela napas lega, kemudian ia beranjak dari kursinya. Berjalan terburu menuju lift karena ia ingin segera pulang, dan makan.
Namun sayang seribu sayang, saat ia menunggu lift, bosnya sudah berdiri di sampingnya. Tampak menunggu lift khusus atasan itu terbuka. Sementara di belakangnya Pak Cipto berdiri dengan sangat patuh.
Meta mendengus, sampai detik ini liftnya tak kunjung terbuka, sementara lift bosnya sudah terbuka dengan sempurna. Kepalanya pusing, dia ingin benar-benar pulang sekarang.
"Mbak Meta, sekalian ke sini saja. Lift itu kebetulan sedang macet," kata Pak Cipto.
Meta tampak memandang Yoga ragu-ragu, namun bosnya itu tak acuh. Kemudian membuat Meta menyetujui tawaran Pak Cipto. Masuk ke dalam lift khusus untuk pegawai-pegawai dengan jabatan tinggi.
"Oh ya, saya lupa mengambil beberapa berkas," kata Pak Cipto lagi, yang berhasil membuat Yoga melirik, dan Meta melotot tak percaya. "Saya ambil dulu, Pak, silakan tunggu saya di bawah."
"Tidak perlu kutunggu?" tanya Yoga lagi, tampak jelas jika dia kurang nyaman berdua dengan Meta.
Pak Cipto tersenyum tipis, kemudian dia menggeleng, "tidak perlu, Pak." katanya. Keluar dari lift kemudian lift itu pun tertutup.
Lagi Meta terhuyung, pandangannya terasa kabur, kepalanya terasa berat. Tak sengaja ia terjatuh ke tubuh Yoga, tapi bosnya buru-buru mendorong Meta nyaris jatuh.
Merasa tak terima, Meta pun memeluk Yoga, rasa marah, kesal, dan jengkel meletup-letup di hatinya.
"Kenapa, Pak? Saya bukan kucing rabies, lho. Tapi Bapak bersikap kalau saya ini punya penyakit menular!" kata Meta setengah membentak. "Atau jangan-jangan, Bapak ini homo?" selidik Meta lagi, sambil memicingkan matanya.
Setelah dia mencemooh Yoga, Meta pun memalingkan wajahnya. Matanya kembali berkunang-kunang, dan badannya terasa semakin ringan.
Dia tersentak, saat Yoga menarik lengannya. Meraih tengkuk kepalanya kemudian melumat bibirnya. Mata meta membulat, dia hendak menjauh tapi tubuhnya dikunci oleh Yoga. Untuk kemudian, pandangan Meta semakin kabur, dan ia pun terjatuh.
Yoga langsung menangkap tubuh Meta, dia bisa merasakan jika tubuh Meta sejak tak sengaja menyentuhnya tadi suhunya memang sudah panas. Setelah pintu lift terbuka, dia pun menggendong Meta. Kemudian, matanya memicing menatap Pak Cipto yang rupanya sudah ada di bawah.
"Kamu...."
"Maaf, Pak, ternyata lift sebelah tidak jadi rusak," ucap Pak Cipto, dengan senyum jahil yang membuat rahang Yoga mengeras. "Lho, Mbak Meta kenapa, Pak? Apa dia baik-baik saja?" tanya Pak Cipto lagi. Kali ini pertanyaannya benar-benar diacuhkan oleh Yoga.
"Saya akan mencari alamat Mbak Meta, Pak."
"Bawa dia ke rumah," jawab Yoga yang berhasil membuat Pak Cipto kaget.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top