Subuh Pertama (8)
"Bukan karena kurang cinta, tapi kurang persahabatan yang membuat pernikahan tidak bahagia"
(FRIEDRICH NIETZSCHE)
☆☆☆☆☆
Azan Subuh sudah menggema di seluruh penjuru rumah-rumah Allah. Sudah sejak pukul tiga pagi Hilya masih menduduki sajadah, menjalankan rutinitas ibadah malamnya. Ditatap wajah lelap suaminya yang masih tertidur di atas sofa. Alangkah indah jika dalam rumah tangga bisa saling mengajak pada kebaikan, pikir Hilya dalam hati.
"Semoga Allah memberi rahmat seorang laki-laki yang bangun malam kemudian shalat, lalu membangunkan isterinya kemudian shalat. Jika isterinya enggan ia memercikkan air di wajahnya. Dan semoga Allah memberi rahmat seorang wanita yang bangun malam kemudian shalat, lalu membangunkan suaminya kemudian shalat. Jika suaminya enggan ia memercikkan air di wajahnya."
Mengingat hadist yang diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah tersebut, Hilya pun segera beranjak untuk membangunkan Adam. Dinaikkan rok mukena dengan sebelah tangannya lalu berjalan mendekat ke tempat di mana suaminya terlelap. Membangunkan Adam untuk salat Subuh. Semoga kali ini tidak akan ada drama lagi seperti semalam, batinnya penuh harap.
"Mas... bangun, udah subuh. Ditunggu Abi Salat berjamaah," panggilnya pelan sambil menggoyakan tubuh suaminya secara perlahan.
Merasa seseorang menyentuh bahunya, Adam pun menggeliat. Hilya pikir Adam akan bangun. Tetapi dugaannya salah. Bukannya bangun, Adam malah menarik selimut demi menutupi wajahnya. Melihat hal itu tentu Hilya tidak menyerah, ditariknya selimut itu hingga turun sebatas pinggang. Adam masih tak juga bangun. Lelaki itu justru menarik selimutnya lagi dan membuat Hilya tersenyum.
Penampilan boleh saja anggun tapi, jangan dikira Hilya tak memiliki sifat jahil. Bukannya berhenti, Hilya justru semakin gencar membuat Adam tidak nyaman dengan menurunkan selimut berulang kali setiap Adam membetulkan posisi tidurnya. Merasa terganggu, Adam bangun dengan ekspresi yang tak sedap dipandang mata. Wajahnya penuh kekesalan dengan mata menatap tajam ke arahnya.
"Aarrgghh... apaan, sih!" Adam geram. "Gak bisa apa liat orang tidur?"
Hilya berjingkat melihat respon suaminya. Mengelus dada seraya menatap Adam takut-takut.
"Astagfirullah, Subuh, Mas. Abi udah nunggu di bawah untuk shalat berjamaah di masjid." Hilya mencoba memberi penjelasan seraya berdiri, meninggalkan Adam yang masih menatapnya.
Melihat wanita itu seolah tak lagi peduli, ingin rasanya Adam protes. Tetapi dia ingat, hari ini adalah hari pertama Adam tidur di kediaman mertuanya, di kediaman istrinya. Sebenarnya kalau saja saat ini Adam ada di rumah sendiri, dia tak perlu cepat-cepat beranjak dari tempat tidurnya. Ia akan memilih bersembunyi di balik selimut sampai matahari menapakan sinarnya. Tidak seperti sekarang, mau tak mau Adam harus bangun. Bisa turun nanti nama baiknya jika dia tidak bangun untuk salat berjamaah.
Adam berjalan terantuk-antuk masuk ke kamar mandi. Karena mengantuk, lelaki pemilik tingga 178 itu pun berjalan dengan mata setengah terpejam. Ada apa yang terjadi? Adam menabrak pintu kamar mandi hingga membuat Hilya terkikik menertawakannya. Sadar ditertawakan, Adam langsung menoleh seraya melebarkan tatapan tak suka pada Hilya.
Sadar akan reaksi Adam, Hilya langsung membungkam mulutnya dan memilih berbalik menutup wajahnya dengan mukena sambil menahan tawa.
Adam malu sekaligus tidak terima jika istrinya justru menertawakan kelalaiannya barusan. Adam pun mengumpat meski hanya sebatas umpatan di dalam hati.
Awas aja nanti kalau udah di rumah Abah. Aku balas kamu!
Hilya yang melihat Adam berlalu pun segera menyiapkan segala keperluan salat suaminya. Dari mulai menyiapkan baju koko, sarung, sajadah, dan juga peci lalu meletakkannya di tepi ranjang. Hilya pikir dengan dia menyiapkan semuanya, Adam tak perlu lagi bersusah payah mencarinya di lemari.
Tapi dugaan itu salah, Adam hanya melirik pakaian itu dan tak sedikit pun berminat untuk menyentuh apa lagi memakainya. Lelaki itu justru membuka koper miliknya. Lalu mengenakan pakaian yang dibawanya sendiri dari rumah kemudian pergi ke luar kamar tanpa peduli pada Hilya.
Hilya yang melihat sikap suaminya hanya bisa mengembuskan napasnya secara perlahan sambil mengelus dada.
Sabaaar Hilya, sabaaar...
**
Biasanya, usai salat subuh Adam tidur lagi. Namun tidak untuk kali ini. Meski bingung hendak berbuat apa, tetapi dia harus tahu diri bagaimana bersikap menjadi seorang suami ketika berada di rumah mertuanya. Andai saja pagi ini dia berada di rumah sendiri, mungkin saat ini dia masih asyik bergelung di balik selimut.
Berhubung tidak tahu apa yang mesti dia lakukan, sambil menikmati udara pagi, Adam mencoba mencari sesuatu yang bisa dia jadikan pengalihan rasa kantuk yang masih menetap di matanya. Diapun mencoba menyibukan diri mengamati seisi ruangan kamar yang tidak jauh berbeda dengan luas kamarnya di Semarang. Saat mengamati pernak pernik yang ada, tatapan Adam terpaku pada sebuah lemari sudut dengan deretan buku-buku di dalamnya. Dari mulai yang paling tebal sampai yang berukuran biasa, ada di sana. Adam tidak ingat, sudah lama Adam tidak pernah membaca buku. Bahkan dia lupa kapan tepatnya terakhir kali dia membaca buku.
Ada satu buku yang cukup dia menarik perhatiannya kenal. Dia masih hapal betul judul buku itu karena dia pun memiliki buku yang sama dengan yang ada di lemari Hilya. Salah satu buku terjemahan kitab Riadhus Shalihin, kitab yang mengupas fasal-fasal langsung menuju kepada pengertian agama dalam bidang iman dan akhlak.
Dengan hati-hati Adam membuka lemari kaca itu dan mengambil buku bersampul merah yang sepertinya keluaran lama. Itu terlihat dari sampulnya yang sudah tidak baru, juga angka tahun yang tercantum di lembar pertama bagian buku.
Adam membuka sembarang halaman buku yang ada di tangannya. Tepat di halaman 276, Adam membaca sekilas dan ada sesuatu yang menarik di sana. Dia membaca salah satu hadist yang menyatakan bahwa kesempurnaan iman seorang mukmin tergantung pada kesempurnaan akhlak dan budi pekertinya. Mengapa disebut demikian? Sebab iman tidak pernah berpisah dengan budi pekerti. Dijelaskan juga bahwa iman yang tidak berbuah kebaikan, tidak ada harganya di sisi Allah. Dan salah satu yang terkandung dalam budi pekerti tidak lain ialah memperlakukan istrinya dengan baik.
Adam jadi teringat, bagaimana semalam dia telah berkata kasar pada Hilya. Padahal belum genap satu hari wanita itu menjadi bagian dari tanggung jawabnya tapi Adam sudah bersikap tidak baik. Lama Adam berkutat dengan buku membuatnya tak mampu lagi menolak rasa kantuk yang mendera sampai akhirnya dia tertidur dengan buku tergeletak di dadanya.
Hampir dua jam Adam tertidur. Jika bukan karena terpaan sinar matahari yang membuatnya silau, mungkin Adam tidak akan terbangun. Dilihatnya jam di atas nakas telah menunjukan pukul 07.30 menit. Pantas saja jika perutnya sudah minta diisi. Tidak menunda lebih lama, Adam segera beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu kaca, sekaligus membuka tirai jendela yang langsung menuju balkon. Di saat mata lepas memandang, terlihat suasana pondok dari jarak sekitar lima puluh meter dari tempat Adam berdiri saat ini. Ada senyum terlukis di sudut bibir lelaki yang masih mengenakan sarung itu saat melihat pemandangan fi bawag sana. Secara tak langsung pemandangan itu telah membawa Adam pada memori masa lalu. Mengingatkan dia pada kehidupan yang pernah dialami olehnya.
Tak lama kemudian, Adam merasakan perutnya berbunyi. Rupanya cacing-cacing di perutnya sudah meminta jatah untuk diisi. Akhirnya Adam pun memutuskan untuk langsung ke kamar mandi agar bisa segera turun demi mencari sesuatu untuk sekadar mengisi perut.
Selepas mandi, Adam menjejakkan kaki menapaki satu per satu anak tangga menuju ruang makan yang kebetulan bersebelaham dengan dapur. Melewati ruang keluarga yang tampak lengang. Cacing-cacing di perutnya tak bisa dibohongi saat dia mencium aroma harum dari arah dapur. Seperti terkena aura magis, Adam seolah tertarik untuk menuju ke sana. Namun belum sempat sepenuhnya dia memasuki area dapur, lelaki berhidung mancung itu menghentikan langkahnya dan memilih tetap bersembunyi di balik tembok.
"Alhamdulillah... Umi lega, akhirnya kalian sudah bisa menunaikan kewajiban kalian sebagai suami istri." suara Umi, saat berbincang dengan seseorang yang tak lain adalah Hilya.
Melihat keberadaan Hilya dan Umi, Adam memilih kembali ke kamar. Akan tetapi dia urungkan sebab tanpa sengaja mendengar obrolan Hilya dan Umi. Dia pun berdiri di antara pintu dapur dan ruang tengah dekat tangga menuju lantai satu. Sambil menyandarkan sebelah bahunya pada tembok, berusaha mencuri dengar pembicaraan ibu mertua dan Hilya, istrinya itu.
"Maksud Umi?" Hilya masih tak mengerti.
Husna tersenyum, "Dulu, waktu Umi menikah, Mbah Uti juga berbuat hal yang sama pada Umi. Memeriksa rambut Umi untuk memastikan kalau anaknya sudah memenuhi kewajibannya atau belum. Sudah menjadi istri sepenuhnya atau belum. Mbah Uti melihat rambut Umi apakah basah atau ndak. Ya, menurut Mbahmu, tanda basah pada rambut adalah salah satu tanda bagi pasangan pengantin. Pasangan yang telah menjalankan kewajiban dengan memberikan hak suaminya. Begitu pula sebaliknya. Ada doa yang terucap di sana, berharap agar Allah akan secepatnya memberikan keturunan yang shalih dan shaliha kepada keduanya." panjang lebar umi menjelaskan tanpa tahu ada seseorang yang sedang menangkap pembicaraannya.
Hilya tersenyum kikuk. Ada rona merah di wajahnya ketika dia paham dengan apa yang Uminya maksudkan. Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti hal-hal demikian. Namun sayang, apa yang Uminya bicarakan justru jauh dengan kenyataan yang Hilya alami semalam. Andai Uminya tahu bahwa, jangankan menyentuhnya di malam zafaf, bertegur sapa dengan baik dan lemah lembut pun tidak.
"Alhamdulillaah, sudah siap nih, Mi. Tinggal kita siapin aja deh!" Hilya semringan, dengan sengaja mengalihkan pembicaraan agar umi tidak membahas perkara malam pertamanya dengan Adam.
"Ya sudah, sana bangunkan suamimu, suruh turun dan sarapan bareng," perintah Umi pada Hilya.
"Iya, Mi." Hilya mengangguk seraya berlalu meninggalkan dapur.
Adam yang tahu Hilya hendak menyusulnya ke kamar pun tentu saja tak boleh tinggal diam. Bisa-bisa ketahuan nanti. Tapi baru saja Adam hendak berbalik menuju ke lantai atas, Hilya sudah lebih dulu mengetahuinya.
"Astagfirullah! Mas Adam? Bikin kaget aja." Hilya dan Adam sama-sama terkejut. "Mas kapan bangun? Dari tadi di sini?" tanya Hilya lagi.
"Eh ... Nggak, baru aja, kok." Adam menyugar rambutnya demi menghilangkan kegugupan yang medekapnya. Aslinya jantung Adam hampir saja copot.
Hilya mengamati sebentar wajah suaminya yang tak mau fokus melawan tatapannya. Hilya tahu jika Adam sudah ada sejak tadi.
"Apa?" tanya Adam saat melihat ekspresi Hilya terus menatapnya.
Hilya tersenyum, "Engaak. Baru aja aku mau bangunin Mas buat sarapan. Syukur deh kalau Mas udah di sini."
Belum sempat dia menjawab, tiba-tiba Umi muncul dari pintu dapur.
"Oalaah, sudah bangun? Tak kirain Umi belum bangun, ayo sini. Kebetulan Hilya sudah siapkan sarapan. Ayo duduk," ajak Umi seraya menarik tangannya. Duh, berasa menantu kesayangan. Pikir Adam merasa tersanjung dengan perlakuan ibu mertuanya.
Adam tak menolak saat ibu mertuanya menarik satu kursi dari sudut meja makan lalu menyuruhnya duduk di sana. Benar-benar ibu mertua idaman, pikir Adam. Tak lama setelah dia duduk, Hilya datang dari arah dapur dengan dua mangkuk ditangannya. Dua porsi Soto Gading berkuah bening lengkap dengan soun dan potongan kecil atau suwir daging ayam juga irisan bawang daun dan tomat membuat perut Adam semakin tak sabar untuk diisi hidangan yang tersaji. Tidak lupa potongan jeruk nipis sebagai pelengkap.
"Hilya, kamu siapkan dulu buat suamimu, ya. Umi mau panggil Abi dulu, ya."
"Iya, Umi," jawab Hilya dengan gerak mata mengikuti ke mana langkah uminya pergi.
Adam hanya diam terpaku, memainkan jemarinya pada permukaan meja, bingung dan merasa tidak perlu melakukan apa-apa sebelum dipersilakan.
Ada kecanggungan di antara mereka berdua yang membuat keduanya jadi serba salah.
"Mas, mau pake nasi apa lontong?" tanya Hilya. "sini piringnya," pinta Hilya seraya mengulurkan tangan meminta piring suaminya.
"Nggak usah, saya bisa sendiri," tolak Adam.
"Mas."
"Apa sih?" jawabnya datar.
"Sini." Hilya mengambil paksa piring di tangan Adam.
"Nggak usah, saya bilang nggak usah ya, nggak usah." Adam merebutnya lagi. "Lagian nggak usah sok baik, deh! Nggak ngaruh juga buat saya." Adam beranjak dari kursinya.
Namun belum sempat dia berhasil menjauh, hal yang tak terduga dan pernah Adam duga, Hilya dengan cepat mencekal tangannya. Menatapnya dengan tatapan tegas dan mata penuh isarat memintanya duduk kembali.
"Duduk, Mas. Aku mohon. Jangan sampai Abi dan Umi tahu tentang kita. Aku tahu Mas nggak mau, tapi setidaknya hormati keluargaku selama Mas di sini. Mas ndak usah berpikir yang enggak-enggak. Sebab semua yang kulakukan juga semata-mata hanya untuk memenuhi tugasku sebagai istri, bukan karena kamu, melainkan semata-mata karena Allah."
Adam tak bisa menolak. Kata-kata yang meluncur bebas dari bibir istrinya. Kata-kata itu tak ubahnya seperti sebuah mantra yang membuat Adam tak bisa menolaknya. Terlebih saat mata hitam itu bertemu pandang dengan wanita di depannya. Entah mengapa Adam merasa ada keteduhan di dalam bening indah matanya. Ditambah lagi ada sebuah senyuman terlukis di sudut bibir wanitanya ketika dia melepaskan cekalan tangannya saat Adam terduduk lagi dikursinya.
Hilya mengambil piring yang tadi sempat menjadi rebutan. Lalu mengisinya dengan nasi
"Sate?" tawarnya.
"Nggak usah."
"Perkedel?"
"Nggak usah. Saya bisa ambil sendiri."
"Ya udah." Hilya langsung meletakan piring berisi nasi dan mendekatkan mangkuk soto ke arah suaminya.
Dari cara Hilya melayaninya, untuk sementara cukup membuat Adam takjub. Walau pun Adam ketus, istrinya tetap saja tak terpengaruh olehnya. Terlebih dari cara melayani seisi rumah. seharusnya Adam patut bersyukur memperistri Hilya. Tapi sayang, keegoisan yang dia tanam dari masa lalu masih membuat Adam harus menepis apa pun yang sekiranya bisa membuatnya kecewa.
"Daaam... kok ngelamun. Ayo dimakan. Ndak enak kalau keburu dingin." tiba-tiba suara Abi yang menarik kursi di depannya menginterupsi dan membuyarkan lamunannya.
"Eh? Oh, i-iya, Bi, ini mau, kok." Adam gugup, tersenyum canggung saat melihat kedua mertuanya sudah duduk dalam satu ruangan yang sama.
Adam melirik Hilya yang menatapnya sekilas, lalu tersenyum manis menunjuk pada soto di depannya dengan isyarat mata.
"Dimakan, Mas ... Mumpung masih anget," ucap Hilya membuat Adam makin kikuk.
"Terima kasih." Adam mencoba berusaha bersikap sebiasa mungkin, tetapi tidak dengan Hilya.
Saat mata bertemu pandang, Hilya justru seakan tersered pada seseorang yang menjadi cinta pertamanya. Hilya segera memangkas tatapan Adam dengan langsung tertunduk dan fokus pada makanan di depannya, menata hatinya lagi agar tidak sampai keluar dari batasan yang seharusnya tak pernah lagi dia pikirkan.
Astagfirullah ... Kenapa juga harus inget dia lagi, sih? Gumam hati Hilya berusaha meredam perasaan.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top