Sepasang Mata Itu (6)
"Cinta itu seperti angin, kau tidak bisa melihatnya tapi kau bisa merasakannya"
☆☆☆☆☆☆☆☆
Bersama siang dan malamnya, terbit dan terbenamnya matahari, bersama kemarau dan gemerisiknya hujan, waktu tak mengubah sedikit pun perasaan Adam pada Hilya. Tiga bulan setelah pertemuan yang lalu, keduanya tak sekali pun ada niatan untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Tetapi, tetap saja, kendati Adam besikap demikian, keengganan seorang Adam tak mampu mengubah apa yang sudah jadi keputusan dua keluarga. Begitu pun Hilya, gadis itu lebih memilih untuk legowo menerima pernikahan yang datang kepadanya meski tanpa cinta.
Di kediaman Muja'far, tiga hari sebelum hari pernikahan putrinya dilaksanakan, tratag sudah didirikan di halaman sekitar pondok. Sejak dua minggu lalu, gadis itu sudah dipingit. Gaun pengantin yang dipesan sekaligus perias wajah sudah tiba sejak semalam. Mungkin bagi para gadis yang mengenal dan seumuran dengannya, Hilya itu teramat beruntung karena tidak harus bersusah payah mencari pasangan hidup. Tanpa harus merasakan tahap pacaran yang tidak dianjurkan dalam agama. Tapi bagi Hilya tentu saja tidak demikian. Bukan dia tidak bersyukur tapi, sejujurnya ketiadaan rasa cinta membuat Hilya tak bisa merasakan hal yang sering dia dengar dari seperti pasangan pengantin pada umumnya.
"Kamu yang sabar ya, Nduuk. Seandainya nanti pernikahanmu tidak sepeti yang kamu bayangkan, umi cuma berpesan, tetaplah bersabar, yo?"
"Betul, itu ... Kan, katanya Pernikahan itu bakal mengubah warna hidup seseorang. Lingkungan hidup dan ilmu bakal jadi bernuansa ibadah," celetuk Asti, "Iya sih aku tahu sabar itu memang berat. Maka dari itu Allah hadiahkan surga. Kalau yang ringan, hadiahnya yaaa, kipas angin."
Hilya dan juga beberapa orang di kamar yang mendengar celotehan gadis berwajah manis itu pun jelas saja tertawa. Entah dari mana Asti memiliki pikiran seperti itu hingga membuat sebagian ketegangan yang Hilya rasakan sedikit berkurang.
"Ya sudah. Umi harus balik lagi ke luar. Sebentar lagi rombongan besan datang. Asti, temani Hilya, ya."
"Siap, Umi." Asti mengangguk mengacungkan jempolnya tanpa ragu. Tersenyum lebar hingga lesung pipi tercetak jelas di kedua pipi gadis itu.
Umi menghilang di balik pintu, sementara Hilya dan Asti diminta untuk tetap berdiam di kamar sebelum diminta keluar. Ditemani Mbak Nunik dan Mbak Inggit sebagai perias wajah yang sudah memoles wajahnya hingga Hilya sendiri tak percaya bahwa bayangan di cermin itu adalah dirinya.
Tepat pukul 08.00, suara riuh dan bunyi petasan tanda rombongn besan pun mulai terdengar. Iringan rentak rebana yang dibawakan oleh para santri pondok pesantren Darul Quran terdengar menggema memenuhi area pesta berkonsep outdoor. Terlihat beberapa meter dari gerbang kedatangan, sebuah pelaminan dengan backround kayu dan backdrop berbalut batik berdiri kokoh, kental dengan khas jawa. Taman kecil lengkap dengan air mancur sengaja dibuat di bagian depan pelaminan. Dibuat serba hijau dan penuh bunga. Warna ceria menyambut hari istimewa yang telah dinantikan kedua belah pihak keluarga, tetapi tidak pernah diharapkan sedikit pun oleh Adam.
Acara pertama dimulai dengan sambutan sahibul bait dan juga dari pihak besan. Dilanjut dengan acara serah terima cenderamata secara simbolis. Acara demi acara berjalan lancar. Hingga pada akhirnya berada dipuncak acara yaitu, sebuah tahap paling sakral dalam acara pernikahan, ijab qabul.
Hilya merasa kembali tak karuan saat dia mendengar suara Abinya. Ini lah tahap di mana Hilya merasa dadanya semakin bergemuruh tak karuan. Ada sesuatu yang mengaburkan pandangannya dan rupanya matanya lah yang berkaca-kaca. Ada genangan air mata yang harus dia tahan agar tidak meluncur sesuka hati. Hilya sadar bahwa hari ini adalah hari pertama sesuatu akan mengubah hidupnya. Entah kehidupan seperti apa yang akan dia jalani bersama lelaki yang sebentar lagi akan jadi suaminya.
"Oalaah, gantengeee."
Suara Mbak Nunik membuyarkan lamunan Hilya. Asti yang sejak tadi hanya bisa mengusap-usap pundaknya pun ikut beranjak dan ikut berdiri si tepi jendela yang menghadap ke iring-iringan tamu di luar sana.
"Masyaa Allah ... Aku juga mau lah dijodohin kalau calonnya ganteng kaya Mas Adam." Asti takjub sekaligus membenarkan perkataan Mbak Nunik.
****
Semenjak kedatangan Adam, sampai detik ini ia belum melihat di mana calon istrinya. Sampai runtutan acara berhasil dilewati, dan tepat sekarang dia berada di acara inti, Adam hanya bisa menarik napasnya dalam-dalam. Menyiapkan oksigen secukupnya saat tangan calon ayah mertua akan langsung menikahkannya tanpa diwakilkan. Lelaki paruh baya itu menjabat tangannya begitu erat dengan tatapan mata terkunci padanya.
"Ya Adam Fabian bin Sulaiman, uzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, ya Adam bin Sulaiman."
Muja'far menjeda, menunggu respon Adam yang tak lama berkata, "Na'am."
Setelah mendengar jawaban Adam yang memang sudah dihafalkan sejak jauh-jauh hati, Muja'far pun semakin mantap untuk melanjutkan kalimat berikutnya tanpa keraguan.
"Anakahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Hilyatul Aulya binti Muja'far bi mahri mushaf alquran wa alatil 'ibadah haalan."
Hati Adam tergetar, tangannya berkeringat. Lelaki bercambang tipis itu pun menarik napasnya seraya memejamkan mata sekejap dan kembali fokus pada Muja'far yang berada di depannya.
Bismillahirrohmanirrohiim. Ucap Adam dalam hati, berusaha tetap tenang.
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur wa rodhiitu bihi wallahu waliiyut-Taufiq." Adam mengucapkannya dengan suara bergetar, gerogi dan berharap yang diucapkan sudah benar. Dia tidak ingin jika harus mengulang kembali proses pengucapan ijab Qabul.
"Bagaimana hadirin, Sah?" tanya salah seorang lelaki paruh baya yang duduk di belakang Abi Muja'far.
"Saaaah...." para tamu undangan yang hadir pun serempak menjawab dengan perasaan lega bercampur haru penuh bahagia.
Acara inti berhasil Adam lalui. Meski hatinya tak yakin rumah tangga seperti apa yang akan dia jalani nanti bersama Hilya. Tetapi Adam cukup.merasa puas saat dia melihat Abah dan Uminya tersenyum bahagia. Terlebih Umi, Adam sempat melihat bekas air mata di wajah wanita yang telah melahirnya 28 lalu itu.
**
Hilya bisa mendengar dengan jelas bagaimana Adam mengucapkan ijab Qabul melalui pengeras suara. Entah mengapa, saat itu ia merasakan sesuatu yang sulit dibendung lagi. Meluruhlah bulir bening kedua matanya jatuh ke telapak tangan. Hilya tak tahu apakah ia harus bahagia atau sebaliknya. Kewajibannya sebagai anak, kini sepenuhnya telah beralih tempat menjadi lebih utama pada suaminya. Jika dulu abah dan uminya adalah prioritas utama setelah Allah dan Rasulnya, tapi kini Adamlah yang harus senantiasa dia utamakan.
"Masya Allah ... Barakallahu laka wa baraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair." Asti menengadahkan tangan mengucap doa untuk sahabatnya.
"Aamiin."
"Selamat ya, Hilyaaa. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin. Doakan aku segera menyusul, ya." Asti memeluk sahabatnya yang terisak.
"Aamiin. Makasih ya, As ...."
Asti mengurai pelukannya, "Iiih jangan nangiiis. Udah cantik-cantik gini. Nanti maskaramu luntur loh!." Asti terkekeh melihat wajah wanita anggun di depannya.
Belum sempat Hilya menjawab, seseorang sudah mencul dari balik pintu. Seorang wanita seuisia Hilya dengan gaun syari memasuki kamarnya.
"Mbak Hilya... Ayo. Umi sama Abi sudah nunggu."
Hilya segera menghapus air matanya. Beranjak dari tempat duduk saat melihat dua kurang berpakaian yang sama datang menjemputnya. Seraya ditemani Asti dan dua orang gadis yang lebih muda darinya, Hilya pun berusaha untuk segera beranjak dan melangkah ke mana mereka akan membawanya.
Berumah tangga tanpa ada rasa cinta dan kasih sayang memang tidak mudah. Ada fase di mana dia harus siap dengan hati yang kecewa. Namun, bukankah menghilangkn harapan itu tidak dibolehkn bukan? Jika bukan harapan yamg membuatnya kuat untuk melewati semua ini, apa lagi yang akan membuat ia bisa berdiri tegak dalam pernikahan yang tak diinginkan? Jika perkara cinta yang jadi soal, bukankah cinta bisa hadir dengan seiring waktu yang berjalan? Semoga saja, semoga Allah akan membuat hatinya selalu ikhlas menjalani dan menjemput cinta yang ada di depannya.
Adam tidak tahu mengartikan perasaanya. Dia bingung. Apakah dia harus bahagia atau justru tidak sama sekali. Di saat sederetan acara selesai, tak lama setelah itu dia melihat sosok wanita yang berjalan ditemani beberapa orang gadis sebagai pendamping pengantin. Sebentar, tatapan Adam terpaku pada seorang wanita bergaun putih. Gadis dengan mahkota kecil di atas kepalanya, berjalan anggun ke arahnya. Adam tak percaya istrinya akan secantik yang tak pernah dia bayangkan. Wajar kan jika seorang lelaki akan terpesona saat melihat sesuatu yang menurutnya begitu indah? Begitu pun Adam yang menatap wanita itu tanpa kedip. Menatap wanita yang baru beberapa menit yang lalu menjadi istrinya.
Hilya berjalan mendekat ke arah Adam yang sudah menantinya. Dengan anggun Hilya melangkah . Senyum di bibir sengaja dia lepas supaya siapa pun yang berada di sekitarnya melihatnya baik-baik saja. Sekilas, mata mereka saling bersitatap. Adam yang sadar bahwa tatapan mereka sempat saling beradu, segera memalingkan wajah. Begitu juga Hilya yang memilih mengedarkan pandangan, tersenyum seraya memindai wajah-wajah yang ikut tersenyum bahagia sekaligus takjub saat melihatnya.
Ya Allah....
Mengapa hatinya berdebar saat manik mata hitam milik lelaki itu menatapnya. Awalnya Hilya ragu menyambut uluran tangan Adam. Tatapannya jatuh pada tangan kokoh yang terulur menandakan dia harus menyalami tangan suaminya.
Hilya pun mengerjap, saat Umi mengingatkan sekali lagi untuk menerima uluran tangan suaminya. Hilya pun perlahan mulai memberanikan diri menyentuh dan menyambut tangan kokoh yang akan menemani perjalanan hidupnya. Tangan itu pula yang lalu ia cium seraya membiarkan saat Adam meletakkan tangan di ubun-ubunnya. Merapalkan sebuah doa dan membuat Hilya lebih mendekat, membiarkan sebuah kecupan mendarat di puncak kepalanya.
Hilya terpejam, mencoba untuk merasakan debaran halus di hatinya. Setelah selesai, tak sengaja Hilya kembali bersitatap lagi dengan lelaki yang kini sangat dekat dengannya. Saat itu, Hilya merasa heran, entah mengapa, saat melihat Adam, lagi-lagi membuat Hilya teringat pada sosok yang tidak asing. Teringat pada sosok yang dulu hingga kini masih menetap di hatinya.
Hilya pikir, apakah itu terjadi karena dirinya masih berharap pada pemuda cinta pertamanya?
Ya Allah, ampuni hamba yang masih mengingatnya di saat hamba kini tak sendiri lagi. Astagfirullahal'adhiim. Gak boleh Hilya ... Stop memikirkan pria lain di saat dirimu sudah bersuami.
Hilya mengerjap saat sebuah perasaan bersalah hinggap di hatinya. Seraya bersikap biasa, Hilya mencoba mengikis bayangan itu dari lembar memorinya. Berharap agar Tuhan melindunginya dari dosa yang tak kasat mata, berharap agar Tuhan menggantikan rasa itu pada rasa cinta untuk Adam. Menuntun hatinya senantiasa pada cinta yang berbalut ridha Allah yang kini ada di dekatnya. Menunjukkan jalan ke jannah-Nya. Semoga cinta akan membukakan jalan dan menuntunnya pada sang pemilik hati yang sesungguhnya. Ya, semoga saja. Doanya dengan penuh harap.
######
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top