Rancangan Terindah Dari Allah (11)
"Sesuatu yang paling utama di sisi Allah adalah engkau meminta segala yang dimiliki-Nya."
♡♡♡♡♡♡♡
Sejak Hilya berada di rumah ini, bersamanya, Adam memang selalu melihat ritual shalat malam yang dilakukan istrinya. Berbeda dengannya. Entah sudah berapa lama Adam tidak membuka bahkan membaca Al Quran. Berbeda dengan ketika dia mondok. Walau waktu itu mondok adalah bukan keinginan Adam melainkan suatu hal yang keharusan dari keluarga Abah, maka, setiap hari dia harus membaca dan menghafalnya.
"Abah mau, kamu itu mondok. Pendidikan agama itu ibarat rem. Seandainya suatu hari kamu lupa pulang, abah tidak terlalu khawatir karena kamu punya dasar yang membuat kamu bisa pulang." Nasihat Abah beberapa belas tahun lalu masih diingatnya.
Sebenarnya, sering Hilya membangunkannya untuk sama-sama melaksanakan shalat malam. Akan tetapi Adam justru mengabaikan bahkan dia pernah sampai membentaknya karena merasa tidurnya terganggu. Jika sudah demikian, wanita itu hanya bisa pasrah mendengar ocehannya. Melihat ketegaran Hilya, Adam tak mengira jika wanita itu memiliki trauma pada gelap dan petir.
Adam masih ingat, bagaimana ketakutannya Hilya saat terjadi hujan petir kemarin malam. Ingatan membawa Adam kembali ke malam lalu. Dia ingat bagaimana Hilya gemetar dalam ketakutan. Mau tak mau, Adam mendekap erat tubuh wanita itu agar lebih tenang. Karena suara histerisnya, seisi rumah menggedor pintu kamarnya.
Adam berusaha beranjak untuk membukakan pintu saat mendengar suara Abah dan Umi di luar kamar. Tapi pelukan Hilya justru tak melepas sedikit pun.
"Mas ... Di sini aja, aku takut," pintanya lirih.
Adam tak percaya Hilya akan setakut itu. Ada apa sebenarnya sampai Hilya sehisteris itu saat ada petir? Adam menatap Hilya dalam keremangan cahaya dari ponsel. Matanya sembab dengan wajahnya yang pucat pasi. Kedua tangan melingar memeluk Adam begitu kuat.
"Adam, ada apa? Umi tadi denger Hilya teriak, kenapa, Dam?" suara gaduh pintu yang di ketuk berulng kali bersamaan suara umi yang sama cemasnya dengan Adam.
"Nggak ada apa-apa, Mi. Hilya cuma kaget aja kok, Mi." Adam bersuara setengah berteriak berharap bisa membuat Umi mengerti bahwa Adam dan Hilya baik-baik saja.
Suara petir di luar masih saling bersahutan. Ditambah angin hujan seakan tengah ditumpahkan. Tangan Hilya begitu dingin. Adam tahu, Hilya pasti masih ketakutan.
"Tenang, ada saya di sini. Sudah, tidur. Tidak akan ada apa-apa." Adam mencoba menenangkan. Membaringkan Hilya sambil menarik selimut demi menutupi tubuh istrinya.
"Jangan pergi, Mas ... Aku takut," pinta Hilya lirih dengan kedua tangan memeluk erat lengan suaminya.
"Ya, saya enggak akan kemana-mana. Sudah, tidak akan terjadi apa-apa," bisik Adam seraya ikut terbaring di samping Hilya.
Hujan badai malam ini telah memangkas jarak mereka. Meluluhkan ego yang tak bisa lagi ditinggikan. Dalam pekat remang cahaya, Adam biarkan Hilya membuatnya terasa begitu dekat. Jalak yang menipis telah membuat Adam mampu mencium aroma rambut wanita yang ada dalam dekapannya.
"Ini handuknya, Mas." Hilya menyerahkan handuk, "airnya udah aku siapkan."
Adam masih terdiam dalam lamunan. Hilya mengibaskan tangan tepat di depan wajah suaminya.
"Assalamualaikum ya, Ahlul Jannah ...." Hilya menggoda sekali lagi dengan berjongkok di depan Adam yang masih duduk di tepi ranjang.
"Wa'alaikumussalam, eh?" keping lamunan Adam pun pecah, yang ada di depannya saat ini adalah Hilya yang tersenyum dengan handuk di tangannya. Melihat senyum itu, ada debaran halus mengetuk hati Adam.
Dengan cepat, Adam menerima handuk yang diberikan Hilya.
"Makasih," jawabnya seraya beranjak dari tempat tidur.
Adam tidak mau jika Hilya tahu bahwa ada yang aneh setelah kejadian malam lalu. Sambil terseok-seok Adam pun berjalan menuju kamar mandi. Usai mandi, Hilya mengajak Adam untuk shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam.
Adam diam. Dia ragu pada dirinya sendiri. Rasanya sudah lama Adam tidak mengimami shalat. Pasalnya, sejak kejadian masa lalu yang menghempaskan dirinya pada satu kekecewaan Adam lebih banyak membuang waktunya mencari kesenangan bersama kawan-kawan satu pekerjaanya. Entah berapa lama Adam melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Adam menatap sekilas wajah manis istrinya. Ada senyum tulus menghiasi bibirnya.
"Kenapa, kok bengong?" Hilya bertanya penuh selidik.
Melihat Adam masih mematung, tanpa Adam duga, Hilya malah mendorong tubuhnya agar mau berdiri di tempat yang sudah tersedia.
"Iiis, apaan, sih?!" Adam protes dengan perlakuan Hilya.
"Imamin aku," pinta Hilya tersenyum seraya kembali ke tempatnya setelah dia berhasil membuat Adam berdiri di atas sajadah.
"Tapi sa—."
"Udah, cepetan. Nggak ada tapi-tapian." Hilya sudah bersiap.
Mau tak mau, melihat Hilya bersiap di belakangnya, Adam pun akhirnya pasrah. Dia segera berdiri memghadap kiblat dan siap menjadi imam bagi istrinya. Adam tidak pernah tahu, jika tujuan selain memang ingin sekali Adam bisa menjadi imam, tapi Hilya juga ingin tahu seberapa besar Adam menguasai bacaan Shalat dan Quran. Sebab, dia mendengar bahwa Adam dulu juga pernah mondok meski pun cuma bertahan tiga tahun.
Adam mengakhiri shalatnya dan melanjutkan dengan dzikir kemudian barulah dia tutup dengan doa. Hilya lega, bahkan bisa dibilang tak Menyangka jika suaminya bisa melafadzkan bacaan Quran sefasih itu. Hilya sudah salah menilai dengan mengira Adam sama sekali tak paham agama. Tapi nyatanya, dugaan itu salah. Salah besar. Suara merdu dan kefasihan Adam dalam pengucapan setiap makhrazul huruf pun benar.
Hilya mengaminkan doa-doa yang dipanjatkan suaminya. Doa selesai, Adam pun segera beranjak. Tapi geraknya seketika tertahan saat cekalan tangan Hilya menahannya. Adam pun menoleh. Hilya masih duduk bersimpuh di atas sajadah mendongak seraya menarik pelan lengan suaminya.
"Salim dulu, Mas ...," tuturnya seraya melempar senyum.
Adam mengalah dan akhirnya ikut duduk dengan posisi saling berhadapan. Membiarkan Hilya mencium tangannya. Adam sempat tertegun saat Hilya memperlakukannya demikian. Lagi-lagi, rasa bergemuruh seperti malam lalu terjadi lagi. Ada sesuatu yang tak biasa yang bisa Adam rasa.
Nggak, aku nggak boleh seperti ini. Aku nggak boleh selemah ini. Adam terus membentengi hatinya.
Adam secepatnya melepas genggaman tangan istrinya. Melepas peci dan sarung begitu saja. Baju koko pun dia lepas dan dilemparnya begitu saja di tepi tempat tidurnya. Membiarkan Hilya menatapnya heran. Adam tak berani ditatap Hilya begitu lama. Adam tidak mau terpengaruh. Walaupun hal yang dilakukan Hilya kepadanya itu cukup membuatnya senang. Tetapi Adam tetap saja harus lebih kuat membentengi hatinya agar jentik-jentik cinta tidak akan sampai ke hatinya.
--
"Dam, tadi Masmu telepon. Katanya, Mbak Ningrum mau melahirkan. Sekarang sudah di rumah sakit. Umi sama Abah mau ke Pemalang nengok Mas mu, dan kayanya bakalan nginap selama beberapa malam di sana. Jadi, tolong kamu jaga Hilya. Baik-baik ya, kalian berdua." Umi menuangkan nasi goreng untuk Abah.
Adam meletakkan kembali sendok yang sudah hampir dia arahkan ke mulutnya itu pada tepian piring, lalu bertanya, "Loh, memangnya sudah bulannya, Mi? Perasaan waktu ke Solo, kehamilannya baru menginjak tujuh bulan. Masa sekarang sudah lahiran to, Mi?"
Hilya hanya menyimak percakapan antara ibu dan anak. Sebab, dia merasa masih canggung jika harus ikut campur dalam urusan keluarga yang tak pernah dimintai pendapat.
"Bayinya lahir prematur. Katanya sih, Mbak Ningrum sempat jatuh di kamar mandi."
"Innalillahi." Respon Hilya terkejut. "Terus sekarang gimana keadaannya, Mi?" Hilya ikut khawatir, sebab walau bagaimana pun calon keponakan dan kakak iparnya tengah berada dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Umi belum dapat kabar lagi, Nduk. Doakan semoga ndak terjadi apa-apa," harap Umi.
"Aamiin...." mereka mengaminkan.
"kamu kapan aktif lagi ke rumah sakit, Nduk?"
"Besok, Bah...."
"Nanti minta saja Adam antar jemput kamu. Apalagi kalau sampai jadwal dinasnya malam hari, Abah khawatir kalau kamu berangkat sendirian."
"Bener tuh, Dam. Tugas kamu sekarang jadi nambah. Jadi kudu bisa tanggung jawab," susul Umi.
Hilya tersenyum, melirik pada lelaki di sebelahnya.
"Adam ada jadwal penerbangan, Bah, Umi. Tiga hari mungkin baru bisa pulang," jawab Adam sambil menyeka bibirnya dengan tisu.
"Owh, iya toh?" timpal Abah.
Abah seolah baru ingat jika anak bungsunya adalah seorang pilot yang jam dan jadwal kerjanya tidak menentu datang kapan saja dan sedang di mana saja.
"Ndak apa-apa, Bah... Hilya udah biasa. Hilya bisa kok, naik motor sendiri," timpal Hilya sambil memotong telur mata sapi di piringnya.
"Bener?"
Hilya mengangguk. "Bener, Bah."
"Ya wes, tapi tetep kudu ati-ati." Abah beralih pandang pada Adam, "Adam, Abah cuma pesan, selama Abah dan Umi ndak ada, jaga istrimu. Jangan sampai Abah dengar sesuatu yang ndak Abah dan Umimu inginkan. kalian di sini baik-baik, ya." Abah mengambil mug berisi teh manis di depannya.
"Insya Allah, Bah." Adam menimpali.
Hilya tak bicara, dia hanya lebih banyak menyimak apa yang merek semua bicarakan. Paling sesekali, dia melirik pada Adam yang telah menghabiskan sarapannya.
---
Aba dan Umi baru saja berangkat lima menit yang lalu. Sedangkan Adam sedang bersiap untuk perjalanannya sore ini. Dia sibuk mengisi koper dengan beberapa potong pakaian, camilan bahkan beberapa stock roti sebagai makanan saat dia dalam masa penerbangan.
Dalam satu pekan Adam memiliki jadwal jam terbang selama 30 jam terbang. Jika di hari ke enam dia sudah memiliki 29 jam terbang, walau pihak bandara memaksa, Adam akan menolaknya. Dia tidak mau menyalahi undang-undang dan aturan penerbangan. Selain fisik kesehatan dan konsentrasi adalah faktor utama dalam menjalankan tugasnya sebagai Pilot. Dia bangga, meski pun sebuah tanggung jawab besar berada di atas pundaknya yaitu, membawa ratusan jiwa yang harus diutamkan dalam keselamatannya. Adam sudah mengenakan pakaian rapi yang tadi sempat disiapkan Hilya.
Dari mulai kaos kaki, sapu tangan dan perlengkapan lainnya, sudah Hilya sediakan.
"Saya berangkat, kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa minta sama Bi Inah. Jangan lupa kunci pintu," pesannya sebelum Adam berangkat.
"Iya, Mas. Mas juga hati-hati, ya. Kabarin kalau udah sampai di Makasar."
"Ya, insyaa Allah." Adam meraih koper bersiap untuk menuju mobil SUV hitam yang sudah dia panaskan bebapa menit yang lalu.
Baru saja satu langkah dari pintu, Hilya memanggilnya, "Mas."
Adam menoleh menunda langkahnya. Hilya mendekat meraih tangan serta menciumnya. "Fii aminallah."
Adam terdiam sejenak, tertunduk lalu memalingkan wajahnya sambil berkata, "Aamiin. Kunci pintu."
Tidak bisa terlalu lama, dengan cepat Adam pun menarik diri dari wanita di depannya.
"Saya berangkat." Adam berbalik menuruni undakan teras seraya menarik koper yang kemudian dia masukan ke dalam bagasi.
Adam tahu kalau Hilya masih memperhatikannya. Pada saat dia hendak membuka pintu mobil, lagi-lagi Hilya memanggil.
"Mas." Adam menoleh menatap Hilya.
"Wassalamu'alaikum," ucap Hilya seraya tersenyum.
"Wa'alaikumusalam," jawabnya.
**
Sudah tiga jam yang lalu Adam berangkat. Karena merasa jenuh, Hilya mulai mencari sesuatu yang bisa dilakukan. Diamati seisi ruangan dan dia pun tertarik pada satu rak buku yang tidak jauh dari bufet TV. Di antara buku-buku itu, ada satu benda yang cukup membuatnya penasaran. Sebuah Album foto dengan cover berwarna coklat. Terpampang di sana.
Diambilnya album dan dibawa ke pangkuan. Kemudian dibuka lembar demi lembar halaman bergambar itu. Di sana Hilya melihat sebuah foto lama yang warnanya sudah tampak usang. Sebuah potret Abah dan Umi bersama dua orang anak lelaki sekitar umur 7 dan 5 tahun. Hilya bisa menebak kalau itu adalah Mas Fatta dan Mas Azzam, dua kakak suaminya.
Di lembar berikutnya. Masih tetap sama, potret Umi dengan seorang balita lucu berada di pangkuan umi saat usia umi masih muda. Hilya tersenyum, dia tahu kalau foto balita itu adalah Adam. Sebab dia bisa melihat dua anak lelaki yang jauh lebih besar dari Adam. Hilya tersenyum saat melihat setiap foto-foto itu.
Hilya begitu menikmati pemandangan dalam foto lama itu. Semua masih tersimpan dalam Sebuah album kenangan yang masih terawat. Hingga tepat di lembar bagian tengah, tertera lembaran kosong bertuliskan, Nostalgia 2013 bersama Adam Fabian.
Hilya penasaran, dibuka lembaran album berikutnya. Tampak foto dengan latar yang begitu dia hafal.
Kok, seperti di aula pondok pesantren Kanzul Ulum, ya? Gumamnya dalam hati.
Pesantren Kanzul Ulum adalah pesantren yang mengadopsi sistem modern. Hanya saja sistem salafnya masih dipertahankan. Sejak Hilya mondok di sana, pesantren itu sudah memiliki lembaga pendidikan yang lengkap. Dari mulai PAUD sampai Aliyah dengan jumlah santri dua ribu lima ratus santri.
Hilya kembali fokus. Ditatap satu per satu semua wajah yang ada di foto itu. Seketika itu juga, dengan rasa tak percaya saat netranya melihat gambar seorang pemuda yang selama ini diam-diam dia puja ada di dalamnya. Hilya menautkan alisnya seolah tak yakin.
Makin penasaran, ia buka lagi lembaran berikutnya.
Mas Bian? Kok... Ada foto Mas bian di sini, ya? Hati Hilya mulai berdebar tak karuan.
Ya, dia kenal pemuda yang ada di foto ini ia dengan sebutan Bian. Mas Bian lebih tepatnya. Hilya bahkan masih ingat bagaimana mereka pertama kali dipertemukan dalam acara rangkaian Haflah yang diadakan oleh pondok pesantren tempatnya mondok selama satu minggu penuh.
Dalam foto itu, Bian tampak tersenyum semringah bersama beberapa kawan juga para staf pengurus pondok Darul Quran, yang sekarang dalam pimpinan Abinya. Lalu pengurus pondok Kanzul Ulum pimpinan Mbah Kyai Muslim. Di foto, pemuda 20 tahun itu tampak mengenakan kain sarung dan pakaian koko yang dibalut lengkap dengan jas hitam. Matanya kemudian beralih pada sebuah tulisan yang tertera di bawah foto tersebut.
Sebuah kenangan bersama pondok pesantren Kanzul Ulum, Candiretno-Magelang.
By
Adam Fabian (Bian)
Hilya menitikkan air mata dengan kenyataan yang tak pernah dia duga. Hatinya bergemuruh hebat atas segala yang dia lihat saat ini. Jika dulu, di setiap shalatnya dia selalu meminta kepada Allah tentang cintanya. Meminta Bian secara terang-terangan tanpa malu kepada Allah. Justru sekarang, di saat Hilya meminta untuk bisa melupakan Bian, meminta Allah menutup hatinya agar tidak terus larut dengan hati yang bermasiat karena cinta pertama yang dimilikinya, Hilya justru dihadapkan dengan kuasa-Nya, Allah telah merangkai takdir indah yang tersembunyi tanpa pernah dia duga.
Mas Bian, ternyata Mas Adam? Allahu akbar ... Jadi selama ini aku tidak mencintai orang yang salah? Aku mencintai cinta pertamaku, yang tak lain adalah Mas Adam sendiri? Suamiku?
Hilya mendekap foto itu begitu erat di dadanya. Air mata luruh deras mengalir bagai hujan. Dia terlalu bahagia saat mengetahui kenyataan yang baru disadari. Pantas saja selama ini Hilya kadang merasa tak asing pada wajah Adam. Bahkan dia masih ingat, bagaimana dia merasakan debaran itu saat pertama kali melihat Adam. Ternyata, ini adalah jawabannya.
Aku mencintaimu, Mas... Dari dulu. Dan akhirnya, Allah sendiri yang mempertemukan kita. Kamu yang aku minta di hadapan Allah tanpa tahu malu. Dan Allah mengabulkannya. Mulai detik ini, aku janji ... aku akan membuatmu mencintaiku. Aku tidak akan mengatakan apa pun. Aku ingin kamu benar-benar tulus menginginkan aku. Sampai saat kamu mengetahui sendiri tentang ini, barulah aku tak akan katakan siapa dirimu bagiku sejak dulu sampai saat ini.
Ya Allah... Bantu aku jangan Kau biarkan aku menyelesaikan segala urusanku tanpa pertolongan dan petunjuk-Mu.
Hilya meraba foto itu dengan jemarinya. Haru, bahagia melingkupi hatinya saat ini. air mata menjadi saksi bahagia dan syukur di hatinya. Didekapnya dan dikecupnya foto itu dengan rasa yang begitu dalam.
Ana uhibbuka Fillah, Mas ...
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top