Mutiara dalam Cangkang (4)
Seminggu sudah Hilya melakukan shalat istikharah. Tepatnya setelah Abinya menyampaikan sebuah pinangan yang datang untuknya. Saat ini, ia sudah mengantongi satu jawaban yang siap ia berikan. Rasanya hati sudah cukup mantap dan yakin pada satu keputusan yang dipilihnya. Tidak semata-mata pilihannya melainkan atas mimpi yang kerap berulang kali hadir dalam tidurnya. Hilya harap, mimpi itu cukup menjadi jawaban dari munajatnya.
Dibukanya buku harian bersampul biru yang ada di tangannya. Terdapat selembar foto usang yang masih ia simpan dengan begitu rapi meski sudah sejak delapan tahun yang lalu. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang Hilya miliki.
Entah benar atau tidak, sejak usianya menginjak lima belas tahun, saat itulah ia merasa telah jatuh cinta. Hilya sendiri tidak tahu kapan tepatnya, tetapi semenjak ia menjadi peserta lomba Musabaqah Tilawatil Quran tahun 2012, delapan tahun silam, ia mulai tertarik pada seorang peserta. Mungkin karena kerap menyaksikan penampilan juga kemahiran pemuda itu, timbulah rasa kagum dalam hati Hilya.
Dua minggu saja, rasa itu telah mengendap dalam hati gadis belia putri seorang Kyai salah satu pimpinan pondok pesantren moderen di Solo. Pemuda yang ia kenal hanya sepintas lalu, tapi telah menciptakan rasa yang ia bawa hingga hari ini. Sejak saat itu, satu nama senantiasa ia sisipkan dalam doanya. Berharap agar doa yang senantiasa ia semogakan Allah kabulkan.
Namun, di malam ini, Hilya sadar, bahwa terkadang harapan tak sesuai dengan keinginan. Mau tak mau, sekarang ia harus bisa melupakan pemuda itu. Karena bagaimana pun juga, tidak benar jika di saat ia menerima pinangan putra seorang karib Abi, ia masih memikirkan pria lain di hatinya.
Jujur saja, kendati Hilya tak pernah tahu lagi keberadaan pemuda itu, ia tak pernah lelah untuk senantiasa menjadikan nama pemuda itu terselip indah dalam doanya. Berharap agar suatu saat nanti Allah akan mempersatukannya. Mungkin bagi sebagian orang, apa yang ia lakukan terkesan memaksakan kehendak dan banyak menawar pada Allah. Tapi itulah kenyataannya. Hilya tak bisa untuk mangkir dari rasa yang telah cukup lama menetap di sudut hati. Tetapi, sekarang terpaksa harus Hilya pupuskan seiring datangnya perihal perjodohan yang dibawa Abi untuknya.
Diambilnya foto itu dan ditatapnya cukup lama. Ada kerinduan mengalir di setiap tatapannya. Senyuman seorang pemuda yang berdiri tepat di sampingnya,telah menjadi perhatian Hilya saat ini.
Disentuhnya lembaran foto itu tepat di wajah seseorang yang lama tak pernah lagi ia jumpai, kemudian Hilya pun berkata, "Awalnya, aku berharap bisa menjadi makmummu, berdiri dan bersujud bersamamu. Melantunkan doa yang sama. Bahkan ... aku terang-terangan memintamu di setiap saat dalam doaku, agar Allah menakdirkan kamu jadi imamku. Tetapi, rupanya Allah berkehendak lain. Aku harus ikhlas melepas semua kenangan dan cinta tentangmu. Semoga ... Dimana pun kamu berada, kamu selalu baik-baik saja ya, Mas."
Jatuhlah air mata membasahi pipi Hilya. Dilipatnya buku itu dan membiarkan foto itu tersimpan di antara lipatannya. Biar ia simpan semua kenangan dalam setiap bait doa. Ditariknya napas Hilya dalam-dalam sambil memejamkan mata, kemudian diembuskannya secara perlahan. Memantapkan hati, memberi jawaban yang telah dinanti.
Hilya segera beranjak dari tempat tidur, menyimpan buku itu ke tempat semula dan bergegas keluar, menemui abi dan uminya.
"Bi...," panggilnya seraya menghampiri kedua orang tuanya.
Muja'far menoleh saat Hilya memanggilnya.
"Ya, ono opo, Nduk?" jawab Muja'far yang tengah duduk santai bersama sang istri.
Hilya duduk di hadapan mereka, lalu berkata, "Hilya mau bicara soal...." Hilya menjeda tanpa berani menatap Abi dan Umi, "keputusan pinangan yang Abi bawa untuk Hilya," lanjutnya.
Muja'far dan Husna, istrinya pun tersenyum dan saling bertukar pandang, menatap wajah puteri semata wayangnya.
"Baiklah, Nduk, Abi akan dengar, apa pun keputusanmu," tutur Muja'far tetap bijaksana.
Hilya mendongak. Kedua mata indah itu menatap kedua orang tua yang duduk berdampingan berada di depannya.
"Setelah Hilya pikirkan, berikhtiar meminta jawaban dari Allah, sekarang Hilya sudah siap untuk beri Abi satu jawaban. Hilya berharap, semoga jawaban Hilya tidak salah."
Muja'far pun menjawab, "Aamiin. Insyaa Allah, Nduuk. Apa keputusanmu?" susul Muja'far tak sabar.
Hilya terdiam sejenak demi meyakinkan hatinya lagi dan berdoa agar Allah ridha dengan jawaban yang diambilnya.
"Bismillahirrahmanirrahiim, atas pinangan yang Abi bawa, Hilya ...." Hilya terdiam sejenak, "me-menerimanya, Bi," lanjut Hilya gugup seraya sibuk meremas jemarinya.
"Alhamdulillah." Muja'far dan Husna mengucap syukur
"Tenanan kowe, Nduk?" sambung Umi.
Hilya mengangguk, "Ya, Mi ...Insyaa Allah."
Muja'far tersenyum lalu berkata lagi, "Berbahagialah, Nduk. Semoga keputusanmu adalah keputusan yang tepat. Aamiin."
"Aamiin, terima kasih, Bi." Hilya memeluk kedua orang tuanya. Menangis tersedu-sedu. "Doakan Hilya ya, Abi... Umi. Doakan supaya Hilya bisa jadi hamba Allah yang lebih baik lagi. Bisa bermanfaat bagi semuanya," sambung Hilya lagi, di sela-sela isak tangisnya.
"Insya Allah, Nduk. Kamu pasti bisa. Abi yakin. Iya, kan, Mi?" tanya Muja'far pada istrinya.
"Insya Allah, Hilya. Umi yakin Abimu benar. Lagi pula, menikah itu ibadah. Itu artinya, kamu menyempurnakan separuh dari agamamu," papar Umi memberi semangat.
Hilya mengurai pelukannya. Mengangguk lemah, menghapus air matanya, tersenyum melihat wajah Umi dan Abi. Hilya bisa melihat, ada kelegaan di wajah Abi. Mungkin itu karena jawaban Hilya yang membuat beliau sedikit jauh lebih tenang.
"Baiklah, sekarang Abi akan segera hubungi teman Abi, Abi mau bilang, kalau kamu sudah setuju." Muja'far berdiri hendak mengambil ponsel di atas lemari kecil dekat TV.
Belum sempat Muja'far menghubungi Sulaiman, suara dering ponsel pun menggema. Muja'far bergegas meraih ponsel dan melihat icon pada layarnya.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ujar Muja'far, seraya mengacungkan ponsel di tangan yang ditunjukan pada Hilya.
Secepatnya, Muja'far menjawab panggilan seseorang yang baru saja mau dihubunginya. Dari percakapan itu, Hilya tahu, bahwa mereka tengah menanyakan tentang rencana selanjutnya.
***
Sulaiman bahagia bukan kepalang setelah ia mendapat kabar dari Muja'far dua hari lalu. Dan hari ini, rencananya Sulaiman dan keluarga berencana membawa Adam untuk menemui calon istrinya. Semarang—Solo, satu jam setengah perjalanan mereka tempuh untuk bisa sampai di sana.
Sebelumnya Sulaiman sudah menghubungi kedua putranya yang lain. Yaitu kedua kakak Adam, Azam dan Fatta yang sangat disesali tak bisa ikut serta karena kendala pekerjaan.
Hampir dua jam perjalanan, akhirnya sampailah mereka di tempat tujuan. Pak Karim pun segera memarkirkan kendaraan. Adam bisa melihat mobil yang ditumpangi memasuki sebuah gerbang yang berdiri kokoh di depannya. Sisi kanan dan kiri berdiri gapura yang membentuk setengah lingkaran pada bagian atas gapura dan ukiran kaligrafi bertuliskan nama pondok tertulis tepat di lengkungannya.
Dari gerbang utama, mobil masih melaju melewati beberapa perkebunan pohon kormis hingga sampai akhirnya ia melihat pos keamanan dan seorang security di gerbang masuk ke dua. Mobil sempat berhenti sejenak, tapi beberapa saat kemudian setelah pak karim berbicara, barulah keluarga dipersilakn masuk dan langsung memarkirkan kendaraan di tempat yang sudah tersedia.
Sepertinya di sini baru turun hujan. Sebab Adam bisa melihat genting-genting masih yang basah, ujung-ujung daun masih meneteskan air sisa hujan juga sisa genangan air di beberapa titik pun masih bisa Adam lihat.
Begitu turun, Adam merapikan dulu penampilanya dengan membereskan bagian kemeja yang tampak sedikit kusut. Diedarkan pandangan Adam ke sekitar. Di sekitar, terdapat beberapa bangunan modern setinggi tiga lantai di depannya dan beberapa bangunan lain di sisi kanan dan kirinya.
Seperti dejavu saat ia melihat masjid dan bangunan aula yang berdiri kokoh di depannya saat ini. Adam merasa tempat ini tak asing baginya. Tapi, di mana ia pernah melihatnya? Adam tak ingat. Tapi entah kenapa hatinya seperti yakin, bahwa tempat ini pernah ia kunjungi. Tapi kapan? Pikir Adam dalam hati. Apa mungkin karena ia pernah juga merasakan dunia pesantren? Ya walau tidak lama, tapi itu cukup berkesan untuknya hingga saat ini.
"Adam?" suara Abah menyadarkan Adam dari lamunan.
"Eh? Iya, Bah." Adam terkejut saat abah menyentuh pundaknya, memberi isyarat untuk segera mengikuti ke mana mereka harus berjalan.
"Ayo," ajak Abah penuh semangat
Adam mengangguk, mengekor di belakang langkah Abah dan Uminya. Sambil berjalan, di sekitar pondok, Adam menyaksikan rutinitas para santri. Suasana dan rutinitas pondok pesantren ini membuat Adam serasa terseret kembali pada masa di mana ia pernah melakukan hal yang sama. Ia melihat para santri hilir mudik mengenakan sarung, sebagian lagi duduk bersila, bersiap menyetorkan hafalan pada salah seorang ustadz yang sudah duduk menghadap meja kecil untuk menerima hafalan para santrinya.
Ah, ya, Adam rindu suasana itu. Dulu, saat di pesantren, Adam pun mengalaminya. Mengantri untuk setor hafalan Quran. Dan jika terlambat, dengan terpaksa, Adam harus menyetorkan hafalannya sambil berdiri di tengah lapang bersama santri lainnya. Alhasil para temannya pun menertawakan dan meledeknya. Tapi sayang, Adam hanya bertahan tiga tahun.
Adam rindu. Ia rindu kembali ke masa itu. Ada senyuman yang terukir di wajahnya saat ia melihat sekumpulan santri yang mengingatkan Adam pada para sahabatnya, terutama mereka yang satu kamar dengannya. Apa kabar mereka saat ini? Gumam hati Adam, mengenang ke masa lalu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi wabarakaatuh," jawab sepasang suami istri yang sudah berdiri menyambut mereka.
Adam menoleh. Rupanya dia sudah berada di depan teras rumah teman Abahnya. Seorang lelaki sepantaran Abah juga Uminya lengkap dengan peci, jubah dan sorban yang serba putih melingkar di lehernya. Pun Umi, beliau berpelukan dengan seorang wanita yang sedikit lebih muda dari Umi. Cara berpakaian wanita itu tampak bersahaja. Wajahnya masih terlihat ayu walau tanpa make up.
Mereka pun dipersilakan masuk. Tidak ada sofa meski ruangan utama terbilang cukup luas. Hanya ada karpet permadani tebal yang digelar dengan beberapa toples berisi camilan dan satu keranjang air mineral juga buah-buahan tersedia di tengahnya.
Adam hanya diam di saat Abah dan Umi tampak leluasa berbincang. Ia hanya lebih banyak diam dan tertunduk sambil sesekali menyimak apa yang dibicarakan kedua orang tuanya. Sementara pikirannya lebih banyak berkelana entah ke mana. Raganya memang berada di sini, tapi hati dan pikirannya berada di tempat yang berbeda.
"Adam...?"
Adam menoleh saat Abah memanggilnya.
Adam pun menjawab,"Ya, Bah?"
"Sebentar lagi, kamu bisa berkenalan lebih dulu dengan calon istrimu."
Adam hanya mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi. Adam tak mau perduli dengan semua yang akan dilihatnya nanti. Yang ia tahu saat ini ia hanya sedang ingin membuat Uminya bahagia. Agar Umi tak menangis lagi. Meski begitu, ia memang tulus berjanji pada hati sendiri tidak akan mengulangi lagi kesalahan malam itu.
Muja'far yang melihat hal itu tentu saja harus mengajukan beberapa pertanyaan demi melihat seberapa besar komitmen pemuda di depannya Meski sudah mantap akan rencananya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan sesuatu yang kelak bisa saja menjadi keputusan yang akan disesalinya. Apa lagi ini mengenai kehidupan Hilya.
"Nak Adam... Abi mau tanya sebelum Abi pertemukan kalian berdua." ujar Muja'far
"Ya." Adam menjawab sekenanya.
"Begini, Dam. Apakah kamu merasa pernikahan ini sebuah paksaan?"
Adam diam sejenak, lalu menoleh pada Umi yang menatapnya sendu, Adam pun menatap kembali lelaki di depannya. "Ti-tidak." Adam terbata. Berbohong demi menghindari tatapan Abi Muja'far.
Muja'far tahu, Adam belum menerima semua ini.
"Baiklah, Abi yakin apa yang terjadi hari ini bukan kebetulan. Tetapi memang Qadarullah. Semata-mata terjadi atas seizin Allah. Semua sudah digariskan." Muja'far menjeda sejenak. Adam hanya terdiam sambil menyimak.
"Saat ini, Abi mau tanya, dan jawabanmu yang nanti akan abi jadikan pertimbangan untuk rencana kedepanmya." Muja'far menjeda. "Dengarkan Abi, Wanita yang akan jadi istrimu itu ibaratkan mutiara berharga yang selama ini telah dijaga oleh pemiliknya. Artinya, ketika kamu menikainya, berarti pemiliknya mempercayakan kepemilikannya kepadamu. Kamu paham, Nak?"
"Ya, Insyaa Allah" Adam mengangguk.
Muja'far seperti berpikir, menatap lekat pemuda di depannya.
"Terus apakah kamu ikhlas menerima semua keputusan yang dibawa oleh Abahmu tentang pernikahan ini?"
Adam sedikit lama terdiam, lalu berkata, "Insya Allah ikhlas."
"Kamu tidak akan menyesal yakin kalau ternyata calon istrimu itu cacat?"
Adam mendongak, "Cacat? Maksudnya?"
"Ya, wanita itu buta, tuli dan lumpuh?" Muja'far melihat Adam yang mulai gusar. "Jadi ... Apa kamu tidak akan berubah pikiran?" tanya Muja'far dengan tatapan lurus pada Adam.
Adam gelisah, ia mulai diterpa keraguan. Ia hanya bisa tertunduk sambil berpikir keras, merenungkan apa yang sebenarnya dihadapkan untuk hidupnya.
Buta, tuli dan lumpuh? Gila! Bagaimana mungkin aku harus punya istri cacat? Apa-apaan Abah ini? Tega banget. Masa aku dinikahkan dengan orang cacat? Pantas saja teman abah ini gercep banget mengajukan anaknya sendiri. Rupanya begitu alasannya? Tapi ... Bukankah dengan begitu aku jadi lebih mudah untuk membuat alasan jika suatu saat aku menuntuk untuk memceraikannya?
Adam berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Muja'far mengamati bagaimana gusarnya Adam setelah mendengar perkataannya. Tapi tidak dengan Sulaiman dan istrinya, meskipun ia belum mendapat bocoran dari Muja'far, siapa yang akan ia jadikan mantunya, tapi ia percaya jika pilihan sahabatnya pasti tidak akan menjerumuskan anaknya.
"Bagaimana, Nak Adam?" tanya Muja'far lagi.
Adam memejamkan mata, mengumpulkan keyakinan bahwa kelebihan dari calon istrinya yang memiliki kekurangan fisik yang disebutkan tadi, jelas tidak akan mudah untuk mengkhianatinya bukan?
"Insya Allah, semata-mata atas nama Allah, demi keridhaan Allah yang ada pada Umi saya, saya bersedia dengan ikhlas, menerima siapa dan bagaimana pun calon istri saya." Adam memejamkan mata, tertunduk pasrah atas semua keputusannya.
"Alhamdulillah, semoga kebesaran jiwamu akan mendatangkan rahmat Allah untukmu, Nak."
"Aamiin." semua yang berada di situ mengaminkan.
Adam melihat Muja'far berbisik pada wanita di sampingnya. Dan wanita itu pun mengangguk serta terus beranjak menuju salah satu pintu yang tak jauh dari ruang tamu. Hati Adam tak karuan. Sudah benarkah keputusannya? Mengapa ia merasa tak sanggup jika harus melihat calon istrinya benar-benar cacat, sementara ia tak pernah menganggap pernikahannya itu akan jadi hal yang serius.
Namun, tetap saja bukan, tak bisa dipungkiri, ia tak bisa membayangkan jik hidupnya akan dihiasi oleh seorang wanita yang duduk di atas kursi roda, membersamainya, melalui hari-hari tanpa suara karena kebisuannya. Pikiran Adam sedikit kalut. Dia tidak yakin jika keputusannya adalah benar. Tapi apa daya. Dia sudah terlanjur bersedia. Dan itu demi Umi.
☆☆☆☆☆☆
Seorang wanita muslimah yang shaliha itu ibarat mutiara murni yang terjaga di dalam cangkangnya, dia hanya akan bisa dimiliki oleh orangyang terpilih dan orang yang mau berusaha mendapatkananya walau pun harus dia mengambilnya kedasar lautan. Itulah perjuangan dari sesuatu yang layak diperjuangakan.
***
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top