Malam Zafaf (7)


"Jalan menuju cinta sejati tidak akan pernah mulus"

(WILLIAM SHAKESPEARE)

☆☆☆☆☆☆☆

Hilya mematung di depan cermin sambil berusaha mencopot satu per satu jarum pentul yang terpasang di setiap  lipatan pasmina yang menutupi rambutnya. Ribet! Itulah pendapatnya, salah satu yang jadi alasan kenapa ia tidak terlalu suka cara berhijab yang terlalu ribet. Bukan hanya ribet, tapi juga bikin gerah. Maka dari itu, tak salah jika Hilya lebih menyukai sesuatu yang simpel.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pesta sudah usai sejak setengah jam yang lalu. Para tamu undangan pun sudah tidak ada lagi yang datang. Cape, gerah, penat dan lelah membuat ia ingin segera ke kamar mandi. Menyiram tubuh dengan air  lalu merebahkan diri di tas kasur empuk yang seharian ini belum disentuhnya.

Hilya mencoba mengedarkan  pandangan ke arah pintu. Setelah yakin tidak akan ada siapa pun yang masuk, perlahan dilepasnya hijab yang menutupi rambut sebahunya. Ringan rasanya setelah balutan pasmina yang berlapis-lapis itu lepas dari kepalanya. Kemudian, Hilya kembali fokus memikirkan untuk melepas kancing tanam pada gaun pengantin yang ada di bagian punggungnya. Lima kancing bagian teratas sudah bisa dia lepas, tapi selanjutnya? Ya Tuhan, Hilya jelas tak akan bisa membukanya sendirian. Dia butuh seseorang untuk membantu melepaskannya satu persatu.

Tangannya pegal, Hilya pun menurunkan bahunya dengan lunglai. Sudah hampir lima belas menit dia mencoba melepas satu per satu kancing di belakang punggungnya, hanya dua buah kancing yang bisa dia lepas setelah lima kancing teratas.   Alih-alih bisa segera mandi, Hilya hanya bisa menatap pasrah bayangan dirinya di depan cermin. Tapi semua itu tak berangsur lama. Adam masuk dengan cueknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Hilya tentu saja tergemap. Ia langsung menguraikan rambut panjangnya demi bisa menutupi punggungnya yang sedikit terbuka. Dadanya berdebar tak karuan saat mereka tak sengaja saling beradu tatap. 

Adam tak peduli apa yang dilakukan wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu. Mereka hanya saling diam meski berada di ruangan yang sama. Saling tak acuh, seolah ada pembatas yang masih belum terbuka. Apalagi dari ekspresi Hilya saat dirinya masuk, tak ubahnya seperti orang yang ketakutan. Tapi apa pedulinya, Adam tak mau ambil pusing, melainkan cuek dan bersikap biasa.

Cukup lama Adam terdiam. Duduk di sofa sudut kamar dekat  jendela. Adam hanya memberi jeda, berpikir mungkin Hilya akan mempersilakannya lebih dulu memakai kamar mandinya. Sebab, bagai mana pun Adam tetap tahu diri, meski statusnya sudah sah sebagai suami, bukan berati dia bisa semena-mena menggunakan fasilitas yang ada di kamar istrinya tanpa permisi. diamenunggu Hilya untuk membersihkan diri lebih dulu.

Adam sengaja memberi jeda waktu dengan menyibukan diri melepas jas dan atribut yang sejak tadi sore dikenakannya. Menghabiskan waktu dengan merebahkan diri di sofa sambil sesekali melihat Hilya yang masih dalam posisi seperti pertama kali dia masuk. Adam pun kesal. Dia sudah kegerahan, cape, tetapi si pemilik kamar malah dengan santainya duduk tanpa berniat mempersilakan dia mandi. 

"Kamu itu mau gitu terus? Gak mau mandi atau ganti baju, gitu?" tanya Adam sinis sambil berdiri melepas kemeja dan melemparnya begitu saja di atas sofa.

Bukan gak mau ganti, Mas... tapi lagi usaha buat buka kancingnya.

Jika Hilya berani, mungkin jawaban itulah yang akan dia lontarkan dari mulutnya tapi, tidak bagi Hilya. Dia hanya berani mengucapkannya dalam hati.

"Nanti Mas, silakan Mas aja duluan."

"Bilang dong, dari tadi. Gak perlu kan saya nunggu kamu yang kelamaan gak ada kerjaan," ketusnya seraya membuang muka lalu mencari handuk yang sempat dia keluarkan dari koper yang dibawanya sendiri

Hilya tak menjawab, ia hanya tertunduk, menarik napasnya dalam-dalam, memejamkan mata, mengumpulkan kesabaran demi menghadapi gelagat tidak baik dari Adam. Tak lama lelaki itu pun memasuki kamar mandi. Sedangkan Hilya melanjutkan kembali aktivitasnya membuka beberapa anak kancing yang melekat pada gaun pengantin yang masih dikenakannya.

Lima belas menit berlalu.

"Ya Allah... Gimana aku bisa buka satu-satu, kalo kancingnya sepanjang jalur kereta begini?" keluhnya. 

Sibuk berusaha membuka kancing baju, Hilya yang fokus pada kegiatannya, tidak sadar jika pintu kamar mandi terbuka dan menampakan sosok Adam yang baru saja selesai mandi. Hilya tidak tahu, jika Adam tengah terpaku melihatnya  masih di tempat semula. Sibuk dengan kancing-kancing yang sedang berusaha dilepasnya.

Adam tahu, Hilya pasti kesulitan membuka kancing gaunnya. Tapi bukan itu yang membuat lelaki itu sempat terpaku, melainkan hal yang belum pernah dia lihat sebelumnya sampai sedekat ini. Melihat rambut lurus Hilya yang sudah terurai dan tergerai memperlihatkan punggung juga   leher jenjang istrinya. Dengan posisi memunggungi, membuat Adam leluasa tanpa diketahui pemiliknya.

Hilya yang tersadar Adam tengah menatap ke arahnya sambil berdiri beberapa meter di belakangnya pun segera menghentikan gerakan tangannya. Dia langsung menurunkan rambut dari bahu ke punggungnya. Meski tak menoleh, tapi ia tahu dari bayangan cermin di depannya. Ia tahu bagaimana lelaki yang yang kini jadi suaminya itu menatapnya.

Hilya Gugup. Begitu pun dengan Adam. Pada akhirnya mereka saling berpura-pura sibuk sambil sesekali saling mencuri pandang, memerhatikan apa yang masing-masing mereka lakukan. Seperti saat ini, Hilya melihat  lelaki itu sibuk menyimpan handuk yang baru saja dipakai pada jemuran kecil di dekat pintu kamar mandi. Dari ekor matanya, Hilya sempat melihat, memergoki lelaki itu sesekali mengamatinya.

Adam yang sadar dirinya telah tertangkap basah memerhatikan istrinya pun langsung membuang muka. Tak ingin sampai Hilya berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Adam tahu Hilya mulai lelah. Adam bisa bayangkan ketidaknyamanan yang tengah Hilya rasakan. Tapi Adam coba tuk bersikap tak peduli. Toh, nanti juga jika dibutuhkan Hilya pasti bakal minta bantuannya.

Andai bukan karena malu, mungkin sekarang Hilya sudah minta tolong pada lelaki yang tengah duduk di sofa dengan begitu nyaman. Apalagi Hilya tahu, lelaki seperti Adam bisa saja kan bersikap semakin sinis dan mencibirnya? Bahkan bisa saja berkesimpulan yang tidak-tidak atas sikapnya.

Sudah lebih dari limabelas menit Adam perhatikan, rasanya lama-lama Adam merasa risih. Bukan jijik, tapi lebih tepatnya lelaki itu merasa malu sendiri saat melihat beberapa anak kancing di punggung istrinya sedikit terbuka dan menampakkan bagian kulit putihnya.

Jujur, Adam bukan orang yang munafik. Sebagai seorang lelaki normal tentu saja dia akan  terpesona jika melihat sesuatu yang menurutnya indah. Apa lagi sesuatu itu sudah bisa dan boleh dia nikmati untuk ditatap lebih lama. Tapi jangan salah, meski begitu, rasa gengsi seorang Adam jauh lebih besar daripada hasratnya untuk mendekati Hilya.

Bisa dibilang untuk saat ini batin Adam seperti berperang. Hatinya menolak untuk tidak terpesona, tapi logika mengajaknya untuk mengagumi. Tentu saja itu membuat Adam serba salah dibuatnya. Meski pun itu hanya untuk sekadar memberi bantuan. Dia tak akan mau menawarkan diri, terkecuali, jika memang Hilya memohon bantuannya. Baru Adam akan pertimbangkan.

Hilya hampir saja ingin menangis. Masa iya dia harus keluar meminta bantuan umi sementara ada suaminya di dalam. Nanti apa yang akan umi pikir tentang mereka? Terlebih pada suaminya. Melihat kebingungan di wajah Hilya,  Adam pun merasa iba. Oke, satu kali ini saja dia akan mengalah dengan menurunkan kadar keegoisannya. Perlahan Adam pun beranjak untuk mendekati wanita yang saat ini masih duduk menghadap cermin dengan posisi memunggunginya.

Hilya yang melihat pantulan Adam di cermin, melangkah mendekatinya membuat Hilya langsung berdiri. Dia berbalik menatap suaminya. Hatinya berdebar. Keringat dingin mulai mengucur, tubuhnya gemetar, gugup saat mata mereka beradu pandang. Hilya tambah tak menentu ketika manik hitam itu  terus memandangnya secara  intens. Hilya pun bergeser, tak sengaja tangannya menyenggol beberapa barang diatas meja, hingga sebagian benda itu berjatuhan. 

"Ma—mau apa kamu, Mas?" tanya Hilya gugup bercampur cemas berusaha menjauh. 

Bukannya menjawab, Adam malah terus berjalan jadi lebih mendekat. Hilya bergerak mundur lalu bergeser selangkah ke kiri. Adam masih tak juga berhenti dan membuat Hilya terjebak karena punggungnya terbentur pada dinding.

"Mas... Ka—kamu?" suara Hilya tersekat, ketakutan.

Coba bayangkan, sepanjang hidup, baru kali ini dia berduaan dengan lelaki dalam satu ruangan. Kendati Hilya tahu, malam ini dia sudah menjadi istri yang sah dari lelaki di depannya tapi, untuk melakukan ritual malam Jafaf, rasanya Hilya belum siap secara lahir dan batin.

Melihat kepanikan Hilya, sebenarnya Adam ingin tertawa  lepas saat melihat ekspresi wanita di depannya. Ketakutan Hilya yang begitu kentara bisa Adam lihat tak ubahnya seperti seekor tikus yang tengah menyerah ketakutan saat diburu.

"Mas!" seru Hilya terkejut saat tiba-tiba Adam menarik lengannya hingga menjauh dari dinding dan berdiri di depannya.

Adam membalikan posisi Hilya berdiri memunggunginya. Entah Adam tahu atau tidak, Hilya dibuat cukup gemetar, rasa takut menyergap perasaannya. Bagaimana tidak, sepanjang usianya, Hilya tidak pernah sedekat ini dengan orang yang berlawanan jenis. Baru kali ini, pertama kalinya dia dekat Lelaki yang baru sehari ini jadi suaminya tengah berada di balik punggungnya. Hilya terpejam, takut-takut saat perlahan tangan Adam menyentuh rambutnya dan memindahkannya ke bagian samping kanan. Adam pun dengan cekatan melepas bebarapa bagian kancingnya. 
Hilya pun bisa merasakan ada gerakan pelan di belakang punggungnya. Seketika itu Hilya merasakan debaran di hati membuat napasnya seperti terhenti.

Adam yang melihat reaksi Hilya pun seketika mendorong jauh tubuh istrinya sambil berkata,
"Gak usah geer! Saya tidak berminat sama sekali sama kamu. Saya tahu status kita, tapi bukan berarti saya sudah menerima keberadaanmu seutuhnya dalam hidup saya, seperti Abah dan Umi yang mau menerima kamu," tegas Adam.

Hilya membisu saat mendengar kata-kata Adam terlontar begitu saja kepadanya. Air mata Hilya pun luruh. Adam tidak sadar, jika ucapannya telah melukai Hilya. Kalimat yang begitu menghunjam hingga menggoreskan rasa sakit meski tak kasat mata.

Andai kamu tahu, Mas. Ini semua pun bukanlah keinginanku, tapi Allah justru menakdirkan aku terikat denganmu. Dan, jika saat ini aku memmilih diam, maka diamki hanya semata-mata karena aku menghormatimu sebagai suamiku. Baik kamu mengingikan atau pun tidak.

Dengan cepat, Hilya menghapus air matanya tanpa pernah ingin Adam tahu bahwa dia terluka.

"Makasih, Mas...," ucap Hilya lirih seraya berusaha tetap melempar seulas senyum kecil pada lelaki yang berlalu menjauh.

**

Usai mandi, Hilya merapikan semua yang menurutnya perlu dirapikan, termasuk isi tas koper milik Adam yang teronggok di pinggir lemarinya. Namun, baru saja Hilya hendak meraih koper guna memindahkan isinya, Adam langsung menghardiknya.

"Berhenti!" hardiknya, "jangan coba-coba berani menyentuh apa pun milik saya!" desisnya.

Hilya yang mendengar suara Adam meninggi langsung tergemap. Reflek dia menarik cepat tangannya, menjauh dari benda itu.

"Ma—maaf. Tapi, Mas, aku cuma ...." Hilya tak mampu melanjutkan lagi kata-katanya, saat Adam menatap tajam ke arahnya.

"Saya nggak suka, kalau ada orang yang berani menyentuh apa pun yang jadi milik saya," desis Adam lagi seraya mendekatkan wajahnya hingga Hilya harus mundur saat Adam maju beberapa langkah.

"I—ya, Mas. Maaf...," ucap Hilya terbata-bata.

"Bagus!"

Adam kembali berbalik lalu menjauh. Lelaki itu mengambil bantal dan selimut yang terlipat di ranjang, lalu meletakkannya di atas sofa panjang yang terletak di tepi sudut kamar mereka. Lelaki jangkung itu pun merebahkan tubuhnya tanpa berbicara apapun lagi. Sesaat, Adam sempat melihat Hilya yang terpaku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Tahu bahwa ia memperhatikan, Hilya segera memalingkan wajah saat ditatap olehnya. 

Selepas membersihkan diri, Hilya berjalan ke tempat tidur. merebahkan tubuhnya yang letih di ranjang. Membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Adam yang memilih tidur di sofa daripada satu tempat dengannya. Tidak ada hal baru dalam pernikahan mereka yang baru terjadi tadi pagi. Tidak ada hal indah yang pernah Hilya dengar seperti cerita-cerita sahabatnya yang sudah lebih dulu menikah. Buktinya, malam ini, di dalam pernikahannya, Hilya justru mendapati sikap sinis yang hanya ada sikap sinis beserta kata-katanya.

Kini, tidak ada yang bisa Hilya lakukan selain berharap, mulai malam ini dan seterusnya, semoga Allah selalu memberi banyak stock kesabaran dalam menghadapi hal baru dalam pernikahannya bersama Adam. Dan dia pun berharap, suatu saat Adam mau menerima keberadaannya. Meski tidak sebagai layaknya istri, setidaknya Adam akan menganggap Hilya sebagai seorang sahabat di hidup lelaki itu. Begitu pun sebaliknya.

Dalam cahaya redup, Hilya merebahkan tubuhnya. Tanpa terasa, kristal bening melintas dari sudut matanya. Sekuat mungkin Hilya membekap mulut dengan tangannya, menahan tangis agar tidak terdengar oleh lelaki yang terbaring di sofa.  belakangnya.

Ditariknya selimut tebal yang tersisa di tepi tempat tidur untuk menutupi tubuhnya. Dalam cahaya redup, gelap, air mata Hilya tertumpah hanya karena perlakuan seorang Adam. Untuk malam ini, dia hanya ingin tidak ada seorang pun yang boleh tahu kesedihan hatinya saat ini, termasuk Adam sekalipun.

Ya Allah... Beri hamba kesabaran yang tiada berbatas, berikan hamba kekuatan untuk menerima semua ketentuan-Mu, apapun... Asalkan jangan pernah putuskan aku dari rahmat-Mu. Aamiin.

Hilya mencoba mengatupkan matanya. Membuang semua beban di hati dengan memaafkan semua perlakuan Adam malam ini. Mencoba Ikhlas dan berharap, esok hari dia akan menuai buah manis dari semua kepahitan malam ini, membuang mimpi buruk di hidupnya bersama gelap malam yang menyongsong fajar. Membiarkan angin malam menerbangkan kesedihannya. Bisu bersama angin dan sunyi. Berharap esok akan berganti menjadi hari yang penuh makna dan bahagia.

****

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top