Kejutan dari Abah (2)

"Cinta mungkin akan membuatmu terluka, tapi ia membuatmu semakin dewasa. Jadilah pribadi yang selalu memaafkan, terutama hatimu."

★★★★★★★

Adam mengerjap beberapa kali saat matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Ia pun mencoba untuk membuka mata, menajamkan jarak pandang pada benda persegi empat yang terpajang di atas lemari kecil di samping tempat tidurnya.

Angka jarum jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Tidak terasa, padahal rasanya baru saja beberapa menit lalu ia melanjutkan tidurnya selepas shalat Subuh. Mungkin karena ia terlalu ngantuk. Tubuhnya seperti merasakan memiliki hutang tidur yang harus dibayar setelah satu malam ia tidur di kantor polisi kemarin malam. Segera ia sibakan selimut dan bangkit dari tempat tidur. Perutnya sudah terasa lapar. Lebih baik ia segera mandi dan bergegas menuju dapur.

Usai mandi, Adam lebih memilih kaos oblong berpadu celana pendek outfit di atas lutut. Rambut yang masih agak basah pun hanya disisir dengan jemarinya. Dengan langkah teratur ia bergerak menuruni satu per satu anak tangga menuju ruang makan. Sepi, itu yang terlihat. Tapi suara dari dapur mengalihkan perhatiannya. Ada Umi di sana. Sibuk melakukan ritual pagi khas seorang ibu pada umumnya. Apa lagi jika bukan memasak?

Adam hanya mengamati sebentar. Ia pun segera menarik satu kursi dari sudut meja makan dan duduk seraya tangan sibuk menuangkan air untuk ia minum. Adam bergeming saat umi melihatnya tetapi tak bicara apa pun. Bahkan sekadar untuk menegurnya pun tidak. Adam pikir itu wajar setelah ia membuat wanita paruh baya itu kecewa. Uminya masih marah karena kejadian kemarin siang.

Adam memilih tetap diam. Dengan saksama ia amati setiap gerak Umi yang tak menoleh atau pun berkomentar atas kehadirannya. Jujur Adam sangat merasa bersalah. Adam merasakan diamnya umi cukup membuat suasana hati juga rumahnya jadi tidak nyaman. Tentu saja Adam lebih memilih beranjak untuk kembali saja ke kamar. Tetapi, belum sempat Adam melangkah.

Sambil membawa piring berisi nasi goreng, Umi menarik satu kursi, lalu duduk menghadap ke meja makan bersisian dengannya. Seorang ibu, sebesar apa pun rasa kecewa atas kesalahan putranya, tetap saja rasa sayangnya justru mengalahkan semuanya.

"Makanlah, Umi sengaja bikin nasi goreng kesukaan kamu." Khadijah menyodorkan piring itu lebih dekat tepat di hadapan Adam.

Adam menoleh menatap wajah Umi dengan rasa tak percaya sekaligus haru. Adam mengira ia bakal menjadi seperti orang asing bagi Umi. Tetapi ternyata dugaannya yang salah.

"Makasih, Mi."

Umi tersenyum. Tanpa menjawab apa pun, diambil satu sendok lalu diletakannya di atas piring. "Makanlah."

Adam pun tersenyum sebelum ia fokus pada sarapannya. Kendati demikian, suasana di ruang makan masih terasa belum sepenuhnya mencair. Seperti masih ada dinding yang menghalangi keberadaan mereka. Adam yang fokus dengan sarapannya, sedangkan Umi fokus mengamati raut wajah putra bungsunya. Mencari tahu apa yang tersembunyi di balik semua perubahan Adam yang ia tidak tahu.

"Dam," panggil Umi, lirih.

"Ya, Mi?" Adam menjawab, setelah ia meneguk setengah dari air minum di gelasnya.

"Boleh Umi tanya sesuatu sama kamu?"

"Boleh, tanya aja."

Umi tersenyum, diusap bahu putranya itu dengan lembut.

"Kamu kenapa, Dam? Umi perhatikan ... Belakangan ini ada yang berubah sama anak umi ini. Kamu lagi ada masalah, ya?"

Adam terdiam sejenak, tapi tak lama kemudian seulas senyum terbit di sudut bibirnya. "Berubah? Maksud umi?" Adam pura-pura tak paham.

"Kamu tahu persis perubahan seperti apa yang umi maksud, Dam. Coba tanya pada hati kecilmu sendiri."

Adam terkekeh, "Umi tuh aneh. Udah seperti paranormal saja. Tapi beneran deh, Mi ... Aku baik-baik aja, kok," elaknya mencoba meyakinkan Uminya.

"Adam."

Adam seketika berhenti dari kekehannya. Senyum itu seketika lenyap bak ditelan kegamangan. Adam tahu, kali ini umi tengah serius. Itu bisa Adam lihat dari cara umi menatapnya. Lalu Adam bisa apa? Ia hanya pasrah menunggu kalimat yang meluncur dari bibir wanita yang sudah 28 tahun menjadi ibunya.

"Bukan cuma sehari dua hari Umi jadi ibu kamu. Kamu itu anak Umi. Umi tahu kalau kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari Umi."

"Umi nggak percaya sama Adam?"

"Bukan umi nggak percaya. Tapi gelagatmu yang bikin umi curiga. Dari cara kamu bergaul. Dengan siapa kamu berteman. Umi tahu semua. Kamu masih ingat? Salah satu hadis yang menyatakan bahwa: seseorang itu menurut agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian melihat siapa yang jadi teman dekatnya. Umi lihat pun begitu."

"Umi tidak bisa menyamakan Adam dengan mereka, Mi. Jelas mereka berbeda. Mereka adalah mereka, Adam ya Adam."

"Umi tahuuu, bahkan sangat paham. Tapi kamu juga harus ingat bahwa, tabiat dan perilaku seorang teman itu akan mengikuti bagaimana temannya. karena di antara keduanya sudah saling terikat. Entah itu dalam hal kebaikan atau pun juga sebaliknya."

Adam paham, ia ingat apa yang uminya katakan tidaklah salah. Sebab dulu ia pun sering mendengar hal itu ketika ia masih berada di pondok pesantren.

"Mi, Umi nggak perlu khawatir. Apa lagi menyalahkan teman-teman Adam. Kejadian kemarin, murni kesalahan Adam. Jadi Umi gak usah khawatir. Mereka baik kok. Adam juga baik-baik aja." Adam kembali meyakinkan seolah ia tak ingin membuka akses lebih jauh untuk Uminya.

Umi hanya bisa mengembuskan napas secara perlahan sebagai tanda ia tak bisa lagi memaksa Adam untuk berbicara terus terang.

"Yakin?" tanya Umi, lagi.

Adam mengangguk, mengukir seulas senyum. "Yakin, Mi ... Aku nggak apa-apa."

"Yo wes ... Kalau kamu ndak mau cerita sama umi. Umi ndak akan memaksa," tutur Umi seolah yakin bahwa jawabannya masih meragukan dan membuatnya tak percaya mencoba tetap mengikuti alur yang Adam mau.

"Gak papa. Makasih atas segalanya. Umi gak usah khawatir, ya? Aku baik-baik aja," tutur Adam sambil menatap wanita yang sudah tidak lagi muda itu yakin pada ucapannya. Setidaknya agar kebohongan itu tidak terdeteksi sedikit pun.

"Yo wes ... Tapi nanti, kalau kamu ingin cerita, kapan pun itu, Umi sama Abah siap dengerin kamu, Dam." Umi menepuk pundak anaknya sambil beranjak dari samping Adam. Mendorong sedikit kursi itu, hingga menimbulkan suara derit dari kaki kursi yang beradu dengan lantai.

Adam menoleh, menatap langkah Umi yang perlahan menjauh. Tetapi sebelum Umi menghilang di balik ruangan dapur, Adam memanggilnya.

"Mi ...."

Umi pun menoleh lalu bertanya, "Ya?"

Adam terdiam sebentar lalu berkata, "Maafin aku ya, Mi."

Umi tersenyum, "Ndak perlu diminta pun umi sudah maafin kamu, Dam."

Adam tertegun, ada rasa bersalah yang mendera saat ia melihat ketulusan di tatap dan senyum umi padanya.

"Makasih, Mi," ucap Adam kemudian.

Umi tersenyum seraya sebuah anggukan pelan terarah adalah tanda Umi mengiyakan.

Tatapan Adam terus saja mengikuti ke mana langkah Umi tertuju tanpa beranjak dari tempat duduknya. Merasa sama sekali tidak melihat abah.

"Abah ke mana, Mi?" tanya Adam sedikit lebih kuat agar sampai ke telinga umi yang berada di dapur.

"Ke Sukoharjo."

"Sukoharjo, ngapain?"

"Menghadiri undangan teman lama Abah waktu sama-sama di pondok, dulu. Kamu ingat teman Abah yang dulu pernah ke sini, Dam. Kyai haji Muja'far?" Khadijah menanyakan kisah yang sudah puluhan tahun dan tentu saja Adam sudah lupa.

"Kyai Muja'far? Memangnya dulu pernah ke sini, Mi?"

"Pernah, dulu waktu kamu masih berumur 10 tahun kalau umi gak salah ingat."

"Lupa, Mi. Ada acara apa gitu, Mi?"

"Haul haflah," kata Umi sambil terus sibuk dengan pekerjaannya.

Adam mengangguk paham.

"Kenapa emangnya, Dam?" susul Umi, balik bertanya.

"Nggak apa-apa, heran aja Abah gak keliatan," jawab Adam seraya beranjak dan berlalu ke ruang TV.

Sudah lima belas menit Adam sibuk memainkan remote TV. Memindahkan dari satu chanel TV ke chanel yang lainnya. Dari sekian banyak acara, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.

***

Acara Haul Hafla yang diadakan sejak kemarin pagi pun berakhir tepat pukul 12 siang hari ini. Awalnya Sulaiman akan kembali ke Semarang selepas shalat Dhuhur. Tapi Muja'far tidak memperbolehkan sahabatnya itu untuk langsung pulang. Muja'far masih ingin menghabiskan sedikit waktu untuk sekadar berbincang santai dengan sahabatnya lebih dulu.

"Terima kasih sudah bisa mau memenuhi undangan saya ya, Man." Muja'far bertutur seraya duduk bersila di sebuah pendopo dekat kediamannya yang tidak jauh dari pondok.

Sulaiman terkekeh, "Saya yang mestinya berterima kasih, Far... sudah diberi kesempatan untuk bisa hadir di sini. Melihat semuanya, saya jadi ingat lagi dulu masa-masa kita masih mondok."

Keduanya pun tertawa dengan ingatan kembali bernostalgia tentang masa lalu mereka. Bercerita lagi tentang banyak hal di masa lalu hingga akhirnya mereka terpisah hingga hilang kabar.

"Bagaimana kabar keluargamu, Man?"

"Alhamdulillah sehat, Far. Kabar keluargamu sendiri bagaimana?"

Muja'far tersenyum. "Alhamdulillah, sehat wal'afiat. Dulu, terakhir saya berkunjung itu anak-anakmu masih kecil, Man. Dan yang masih saya ingat itu ... si Bungsu baru berusia tujuh tahun waktu saya main. Siapa namanya, Man?"

"Oh iyaaa, Adam."

"Naaah iya, Adam. Pasti sekarang sudah sukses ya. Sudah menikah juga?"

Senyuman yang sejak tadi terbit, seketika langsung menghilang. Ada mendung yang seakan enggan pergi dari wajah Sulaiman setelah Muja'far bertanya demikian.

"Man, apa saya salah ngomong? Sampean itu kenapa kok malah jadi melamun begitu?" Muja'far tak enak hati.

"Ndaak, ndak ada yang salah. Saya cuma sedang sedikit ada masalah dalam mengurus Adam. Anak itu masih belum menikah, Far. Di usianya yang sudah sepantasnya punya anak, tapi malah selalu berulah. Berbeda dengan Adam yang dulu."

"Memangnya kenapa sama Adam, Man?"

Sulaiman menoleh sebentar lalu tersenyum tipis seraya tatapan lurus jauh ke depan. Diembuskan napas yang terasa berat menghimpit dada itu secara perlahan seolah tengah berusaha melepas beban berat itu lolos dari dadanya.

"Malu kalau harus diceritakan, Far. Sepertinya ini menjadi aib bagi keluarga saya."

"Man, sampeyan itu sudah saya anggap kakak saya sendiri. Apa Sampeyan ndak menganggap saya ini adikmu? Ndak percaya sama saya?"

"Bukan begitu ... Tapi rasanya memalukan sekali kalau saya cerita kegagalan saya dalam mendidik Adam, Far."

"Mana ada ... Sampeyan itu belum apa-apa sudah pesimis duluan. Ayo cerita, siapa tahu kita bisa sama-sama cari jalan keluarnya. Ndak usah sungkan sama saya. Masalahmu, masalahku juga."

Sulaiman menoleh, setelah melihat reaksi sahabatnya itu barulah ia yakin untuk menceritakan apa yang akhir-akhir ini membuat gusar. Akhirnya dengan gamblang Sulaiman menceritakan dari awal hingga akhir tentang Adam.

Mendengar semuanya, Muja'far pun paham apa yang dirasakan sahabatnya itu karena ia pun seorang ayah. Jika ia berada di posisi Sulaiman saat ini, mungkin ia pun akan merasakan hal yang sama.

"Sabaar, sampean kan lebih pahan kalau anak istri itu bagian dari ujian. Setiap hidup adalah ujian, Man. Masa sampean lupa. Menurutku, segala sesuatu itu pasti ada hukum sebab akibat. Begitu juga dengan anakmu. Ndak mungkin kalau ndak ada sebabnya Adam bisa jadi begitu.

"Faktor utama suatu perubahan Biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, entah itu lingkungan keluarga, pekerjaan atau bahkan pertemanan. Coba sampeyan perhatikan lebih jauh, bagaimana teman-temannya, siapa saja, perhatikan dengan siapa Adam itu bergaul. Siapa teman-teman terdekatnya, atau coba cari tahu, apa perasaan Adam sedang kecewa. Kita kan ndak pernah tahu. Sudah pernah cari tahu?"

"Itulah yang saya ndak lakukan, Far."

"Nah, coba itu sampeyan cari tahu. Anak lanang itu ndak seterbuka cah wedok, Man. Anak lanang cuma mau terbuka sama teman sebayanya. Sungkan mereka cerita sama orang tua. Kaya saya karo sampeyan, dulu.

"Betul. Saya malah baru terpikir begitu, Far. Terus sekarang saya kudu piye?"

"Cari cara untuk tahu lebih dulu apa masalahnya. Kalau ndak ya coba carikan jodoh. Lagi pula usianya sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga"

"Ide bagus sih, cumaaa apa ya adaaa yang mau sama anakku?"

"Adaaa. Ikhtiar saja dulu. Hasilnya ndak usah dipikiri."

"Tapi anak-anak jaman sekarang mana ada yang mau dijodoh-jodohkan, Far. Paling alasannya klise. Bilangnya ndak cinta dan lain sebagainya."

"Dicoba dulu ... Ndak ada salahnya, kan?"

"Iyaa. Saya ndak keberatan soal ide itu. Tapi yang jadi soal itu, Anak gadise sopo yang mau sama Adam, Far? Apa lagi kalau tahu kelakuan Adam, ndak yakin aku."

"Sudah, ndak usah mikirin itu, biar itu jadi urusan belakangan. Lebih baik sampean buat Adam manut untuk dinikahkan. Nanti saya coba bantu... Di sini banyak santriwati yang sudah siap nikah. Itu bisa diatur. Namanya beriktiar, Man. Niatkan saja semata-mata jihad karena Allah agar bisa menjadi jalan Adam untuk bisa lebih baik.

Sulaiman menoleh. "Semoga saja ada yang bersedia jadi istrinya ya, Far. Dan saya juga berdoa... Semoga jalan ini mendapat ridha dari Allah."

"Aamiin."

Sulaiman mengangguk, "Matur suwun, yo, Far..."

Muja'far menggaguk, "Iya, Maaan... Sama-sama." Muja'far tersenyum tulus pada sahabatnya. "Ingatlah, Man. Dalam salah satu firman Allah, telah digambarkan tentang kedudukan istri dan anak-anak, bahwasanya di antara mereka ada yang menjadi musuh kita sebagai suami, atau kita sebagai ayah dari anak-anak kita. Jadi, sebagai pemimpin rumah tangga kita harus berhati-hati. Kita berkewajiban menjaga mereka dari api neraka. Begitu pun yang kamu alami saat ini. Itu semua ujian dari Allah. Maka bersabar dan bertakallah selalu kepada Allah. Insya Allah, apa yang terjadi di balik setiap ujian-Nya, akan ada hikmah yang besar," papar Muja'far, memberikan semangat pada sahabatnya.

"Ya, sampean benar. Semoga ini akan menjadi jalan awal bagi Adam untuk bisa memperbaiki dirinya, Far. Bagaimana pun, Adam juga mengerti hal ini. Hanya saja saat ini hidayah itu belum menyentuh kelembutan hatinya," papar Sulaiman.

Ya Allah, semoga ikhtiar hamba bisa menjadi jalan membawa kembali anaku ke jalan-MU. Mencintai-MU, dan lebih dekat kepada-MU. Aamiin.

Sulaiman berdoa penuh harap dalam hati.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top