Dejavu (5)


"Cinta adalah suatu kondisi di mana kebahagiaan orang lain menjadi penting bagi kebahagiaanmu"

(ROBERT A. HEINLEIN)

☆☆☆☆☆☆

Hilya duduk terpaku di depan cermin seraya menatap separuh pantulan dirinya. Hijab putih tulang  telah membingkai cantik wajahnya berpadu gamis dengan corak bunga-bunga kecil berwarna senada. Riasan simple tak memudarkan sedikit pun kecantikan yang Hilya miliki. Keanggunannya sebagai wanita shaliha seolah terlihat begitu memukau siapa pun dia yang melihatnya.

Hari ini adalah hari pertama dirinya akan diperkenalkan dengan seorang lelaki yang sama sekali belum pernah ia jumpai. Maka wajar jika kali ini Hilya lebih sibuk menata debaran di dadanya. Mungkin orang akan berpikir bahwa yang merasakan hal seperti itu hanya pasangan yang melalui waktu bersama dan sudah saling kenal saja. Tapi, buktinya kali ini Hilya pun tengah merasakan hal yang sama. Mungkin, seandainya debaran itu bisa didengar, suara itu pasti sudah gaduh hingga membuat siapa pun yang mendengarnya akan terganggu. 

Di tengah sibuknya Hilya menormalkan debaran di dadanya, tak pelak sebuah ketukan pintu kamar membuat ia tergemap. Padahal, bunyinya tidak terlalu kencang, tapi tetap  saja berbeda bagi Hilya yang tengah dilanda perasaan tak menentu. 

Mata bulat nan indahnya itu langsung bergerak, melihat gerak pintu yang perlahan mulai terbuka. Hilya melihat pantulan seseorang yang muncul dari balik pintu menatap ke arahnya, mendekat seraya tersenyum.

"Umiii." Hilya berbalik badan menyambut Umi yang menghampirinya.

Husna tersenyum mendapati raut terkejut dan gugup di wajah putrinya,"Sudah siap, Nduk?"

"Insyaa Allah, sudah Umi."

Umi tersenyum menatap wajah cantik puterinya, "Alhamdulillah. Ya sudah, ayo ikut Umi, calonmu sudah menunggu."

Hilya pun manut, menyambut uluran tangan sang ibu dengan perasaan tak menentu. Berjalan menuju ruangan di mana orang-orang itu telah menunggunya. Tepat di satu ruangan yang sama, tampak dua orang sepantaran abi dan uminya melihat ke arah Hilya berada. Tapi, entah mengapa ia merasa bahwa sepasang suami istri teman abinya itu seperti setengah terkejut saat melihat kehadirannya. Kendati demikian, senyuman tulus tetap menyambut pertemuan Hilya untuk pertma kalinya. Kecuali, lelaki yang tengah duduk bersila di samping keduanya. Lelaki berkulit putih itu tertunduk tanpa mau sedikit pun melihat ke arahnya. Hilya tidak tahu, apakah enggan atau memang benar-benar tidak menyadari akan keberadaanya.

Tepat di hadapan Sulaiman beserta istri, Hilya langsung menyalami tangan mereka berdua sebagai rasa hormat  layaknya seperti kepada abi dan umi. Tetapi tidak kepada Adam. Hilya memilih bergerak mundur, ikut duduk bersimpuh antara abi dan uminya. Setelah Hilya duduk di dekat umi, abinya langsung memanggil nama pemuda yang berada di depannya. 

"Nak Adam?"

Adam tak merespon. Melihat hal itu, Muja'far terdiam sejenak sambil tersenyum merasa maklum atas sikap putra sahabatnya itu. Sekali lagi, Muja'far memanggil, masih juga tidak merespon. Melihat hal itu tentu saja Sulaiman jadi turun tangan. Ia pun berbisik di telinga putra bungsunya itu. Seketika itu Adam langsung beralih tatap pada Muja'far dan sekilas  melirik ke arah gadis yang duduk beberapa meter tanpa melihat ke arahnya.   

Muja'far melihat jelas ekspresi Adam yang sekilas melirik pada putrinya itu pun hanya bisa mengulum senyum sebelum akhirnya kembali membuka suara.

"Baiklah Nak Adam ... Kenalkan, ini Hilya. Hilyatul Aulya nama kepanjangannya, panggil saja, Hilya," sambung  Muja'far.

Seketika itu Adam memangkas tatapannya dan mengangguk seraya tak bisa untuk tidak melirik pada perempuan berhijab syar'i itu lagi. Sulaiman dan sang istri hanya saling tersenyum melihat ekspresi putranya. Ada haru, bahagia sekaligus tidak sabar dengan banyaknya pertanyaan di hati mereka atas perkataan Muja'far tadi.

Gadis berkulit cerah itu tetap duduk bersimpuh dengan tenang tanpa merasa terusik. Adam hanya menduga gadis itu pasti malu akan keadaan dirinya sendiri karena memiliki banyak kekurangan seperti yang dikatakan—Abi Muja'far— teman abahnya. Melihat perempuan itu tak berkutik sejak pertama kali ia melihatnya membuat Adam jadi semakin  yakin kalau apa yang dikatakan teman Abah itu benar adanya.

"Nduuk ... kenalkan, ini Adam, calon suamimu."

Sambil mengumpulkan keberanian di hatinya, mau tak mau Hilya mulai mengangkat sedikit wajahnya. Matanya bergerak dan terkunci pada Adam yang sama-sama tengah mengarahkan pandangan ke arahnya. Detik itu pula, entah mengapa Hilya merasakan ada degup yang cukup kencang membuat debar di dadanya makin berfluktuasi. Tak mau berlama-lama, Hilya hanya memberi seulas senyum dengan anggukan kecil sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.

Adam membalas hal yang sama meski tak ada senyuman sama sekali di bibirnya. Mungkin merasa tidak nyaman dengan ekspresi Adam, dengan cepat Hilya memangkas tatapannya. Ia langsung langsung menundukan pandangannya seraya menata debaran hati yang tak karuan saat mengingat kilat mata lelaki di depannya.

Jujur, sebenarnya Adam pun tak jauh berbeda. Sempat sesaat ia terpukau saat melihat wajah Hilya yang seperti bulan dadari. Alisnya yang hitam berbaris rapi bak' semut seiring membingkai kelopak matanya yang indah. Hidung yang mungil, bibir tipis berisi membuat calon istrinya itu terlihat cantik. Tapi sayang, semua yang tersaji di depan mata tak sesuai dengan harapannya. Perempuan di depannya tidak lah sempurna, pikir hati  merasa Adam tak suka. Bagi Adam, kejadian hari ini tak ubahnya seperti takdir hidup yang tengah ingin bercanda. Sesaat Adam di bawa terbang oleh pesona seorang Hilya, sesaat kemudian ia dijatuhkan dari ketinggian ke dasar jurang paling dalam.

Dirasa cukup, Muja'far meminta Hilya untuk kembali ke dalam.
Hilya mengangguk seraya  berdiri setelah menyalami kedua orang tua Adam. Tak ayal  seketika itu pula Adam jelas merasa terkejut sekaligus penuh tanda tanya dalam hatinya.

Melihat ekspresi tatapan Adam saat melihat Hilya, Muja'far tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. 

Ada apa ini sebenarnya? Hati Adam penuh tanya.

***

Begitu di kamar, Hilya langsung memastikan debaran di dadanya tak secepat tadi. Bersandar di pintu seraya sebelah tangan ia letakkan di dada sebelah kiri.

"Ya Allah, ujian apa lagi ini? Lindungi aku ya Allah ... Dari menyalahi syariatmu. Kenapa harus inget dia sih?" pinta Hilya bergumam sendiri setelah ia menyadari mengapa saat melihat mata Adam, malah membuat Hilya justru teringat pada cinta pertamanya.

Demikian pun dengan Adam yang dipenuhi prasangka dan tanya di dalam hati dan pikirannya. Ada apa sebenarnya? Apa tujuan Hilya mau dinikahi olehnya? Adam merasa, tidak mungkin gadis seperti Hilya sertamerta mau saja dinikahi olehnya jika tidak ada tujuan di belakangnya. Hilya cantik, tidak mungkin jika tidak ada yang menginginkan gadis itu, pikir Adam. Jika awalnya Adam tak berprasangka apa pun saat mendengar Hilya cacat, tapi lain untuk kali ini yang justru ia jadi meragukan semuanya.

Pertanyaan demi pertanyaan itu muncul begitu saja dan menjadi sebuah tanda tanya besar dalam hati Adam. Dan lagi, mengapa tadi Abi Muja'far mengatakan bahwa Hilya itu tak melihat, mendengar, dan berjalan, apa maksudnya? Adam tak mengerti.

Muja'far yang melihat ekspresi Adam dan Sulaiman juga Khadijah pun seolah mengerti tatapan bingung mereka. Tapi kali ini Muja'far akan menjelaskannya lebih dulu pada Adam apa maksud dari perkataannya. Ia berpikir urusan dengan Sulaiman akan ia bicarakan setelah bicara dengan Adam.

"Nak Adam, kenapa?" tanya Muja'far, membuyarkan lamunan Adam.

Adam terperanjat, ia menoleh pada Abah dan Uminya yang hanya tersenyum melihatnya.

"Eh ... Eeh ... anu. Tadi Pak haji bilang, bahwa...." Adam kikuk menanyakan apa yang tersirat dalam pikirannya.

"Panggil Abi saja. Abahmu itu sudah Abi anggap seperti kakak Abi, Dam. Jadi kamu juga sudah Abi anggap seperti anak sendiri."

"Ya, Bi. Terima kasih."

Muja'far mengerti apa yang hendak Adam tanyakan. Dengan santai, Muja'far tersenyum menatap tepat pada manik mata hitam milik pemuda di depannya.

"Abi hanya ingin mengujimu, Nak. Sekadar ingin tahu, seberapa kuat pendirian dan tekadmu memegang janji pada Abah dan Umimu. Abi tahu, tidak mudah bagi kamu menerima pernikahan yang bukan atas dasar pilihanmu.  Tapi sekarang Abi yakin, kamu adalah seorang anak lelaki yang bisa bertanggungjawab terhadap segala keputusan yang kamu ambil."

Adam terdiam. Ia tidak tahu mengapa Abi Muja'far begitu yakin dengan kata-katanya sendiri sedangkan Adam saja tidak tahu seperti apa dirinya itu. Ya, walau pun Adam tahu, bagaimana pun juga, ia harus menjadi seseorang yang memegang komitmen untuk bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Bukan tanpa alasan Adam mau menerima tawaran untuk menikah, melainkan karena yang dia pikirkan saat ini adalah hanya Abah dan Uminya. Ia tahu, bagaimana kedudukan orang tua dalam hidup dan agamanya. Berpegang pada satu hadis dan Al-quran, bahwa keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tuanya.

Jangankan membantah titahnya, menentang dengan berkata, 'ah' saja, itu sudah merupakan larangan yang jelas tercantum dalam Alquran. Sebuah perkataan 'ah' yang tak lain adalah merupakan perkataan buruk yang dinilai paling rendah. Perkataan yang akan mampu membukakan pintu neraka ketika air mata dari keduanya itu menetes karena terluka.

Karena alasan itulah sekarang Adam hanya bisa pasrah dengan pernikahan yang diatur Abah untuknya. bukankah ini adalah konsekuensi dari perbuatannya belum lama ini?

"Hilya adalah anak Abi satu-satunya. Dari kecil Abi menjaganya. Dia adalah harta Abi yang paling berharga. Abi mengibaratkan... dia adalah mutiara yang tersimpan rapi dalam cangkang dan berada di dasar lautan.

"Buat Abi, hanya orang yang mau memperjuangkannyalah, yang pantas mendapatkan mutiara itu. Hanya orang tertentu yang bisa merawat dan menjaganya agar mutiara itu bisa tampak kilaunya. Dan itu tidaklah mudah, Adam. Seperti itulah Hilya bagi Abi. Nanti, di saat Hilya sudah resmi menjadi istrimu, itu artinya kamu adalah orang yang Abi percaya. Jagalah dia seperti Abi menjaganya." 

Muja'far menyampaikan amanatnya pada Adam dan memberikan kepercayaan itu tanpa keraguan. Tapi, tidak demikian dengan Adam. Mau tak mau, Adam terpaksa harus mau menikahi gadis pilihan Abahnya. Sebab, dia juga tidak ingin disebut sebagai lelaki pengecut yang lari dari tanggung jawab. Ya walau pun hanya sekadar menjalani hukuman Abah. Dengan begitu, setidaknya ia bisa tetap mengugurkan janji dengan menepatinya bukan? Kendati demikian, meskipun begitu, Adam tetap bertekad, bahwa ia tidak akan membuka hati sedikit pun untuk semua wanita, termasuk Hilya.

"Dengarkan itu, Adam. Tidak lama lagi, insya Allah akan ada tanggung jawab yang akan kamu pikul di pundakmu. Apa yang kamu lakukan dan apa yang istrimu lakukan kepadamu, tidak lain, adalah hasil tempaan, didikan dan bimbinganmu," timpal Sulaiman ikut menasiahati putranya.

Adam hanya mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Untuk saat ini, ia hanya cukup menerima pernikahan ini apa adanya. Dia tidak terlalu memikirkan bagaimana  hubungannya nanti setelah menikah. Tapi satu yang pasti, Adam akan tetap menjaga jarak demi melindungi hatinya dari sesuatu yang ia anggap sebagai penyakit yaitu, jatuh cinta. Kali ini, tidak ada yang ingin Adam anggap ribet. Apalagi oleh perkara hati. Sekali pun dalam pernikahannya dengan Hilya, jangan harap ia akan menerima Hilya sepenuhnya.

Adam terlalu takut kecewa untuk kedua kali. Jika Adam banyak melewati panjangnya waktu demi menyembuhkan luka lama, maka tak akan ia biarkan ia merasakan luka baru. Apalagi hanya karena dia membuka hati, lalu jatuh cinta pada perempuan yang menjadi istrinya. Tidak, itu tidak akan ia biarkan. Hilya tidak boleh memasuki kehidupannya. Tekad Adam semakin kuat.

Sedangkah Hilya? Dia sadar, bahwa ia harus ikhlas menerima semua takdir yang Allah tentukan. Melepaskan cinta masa kecilnya demi menerima Adam yang tidak lama lagi akan menjadi suaminya. Menguatkan tekad, sebisa mungkin ia akan mengabdikan diri dan hidupnya yang akan datang. Walau ia tahu, jalan yang akan dilalui tidak akan seindah pernikahan yang dilandasi karena cinta. Semoga Allah ridha atas jalan dan keputusan yang diambilnya. Semua baktinya pada orang tua, demi keridhaan Allah semata.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top