Debaran Halus (10)

"Dimana ada cinta, disitu ada kehidupan"

(MOHANDAS K. GANDHI)

☆☆☆☆☆

Cuaca malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Langit tampak membersihkan wajahnya dari bintang-bintang.   Desau angin yang berembus membelai wajah Hilya yang tengah berdiri dengan tenang. Matanya terpejam dan membiarkan angin malam membelai lembut wajahnya serta menerbangkan rambutnya yang terurai.

Hujan mulai turun dengan ritmis, mencumbu alam dengan romantis. Hilya menengadahkan wajahnya ke langit. Dibiarkan tangannya terulur, menikmati percikan tetes air langit. Gerimis dan hujan memang selalu menyenangkan. Selalu punya cerita untuk dikisahkan. Seperti kisah tentangnya, mungkin. Kisah di mana dia pernah merasakan bahagia ketika mengagumi seseorang dalam diam, meski akhirnya harus patah hati sebelum jatuh cinta.

Di mana dia, apa kabarnya sekarang?

Tanya batin Hilya tatkala wajah dari masa lalu tiba-tiba melintas sepersekian detik dalam ingatannya.

Astagfirullah...

Hilya menggeleng pelan demi  mengenyahkan segala kenangan yang baru saja mengusiknya. Menormalkan laju jantungnya tiap kali dia rindu pada sosok yang seharusnya tidak ada lagi di hatinya. Dia sadar ini salah, tapi juga bingung bagaimana bisa dia teringat lagi pada sosok yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah dia lihat lagi. Entah harus bagaimana agar dia bisa segera melupakan lelaki yang justru tak pernah melihat keberadaanya.

Ya Allah, ampuni hamba dan segala kekhilafan hati ini. Pintanya.

"Ngapain kamu di situ? masuk!"
suara Adam seketika membuyarkan lamunannya.

Hilya tersentak, tidak tahu sejak kapan lelaki itu sudah ada di belakangnya. Hilya hanya menoleh sebentar tanpa mau bergeser dari tempatnya. Dia tetap memilih menikmati gerimis sambil berharap pada setiap tetes air langit yang turun, Allah curahkan rahmat-Nya bagi seluruh alam dan kehidupan.

Lagi-lagi Adam berkata, "Hilya, masuk! Nanti kamu masuk angin. Kalau kamu sakit, saya juga yang disalahkan."

"Nggak ada yang bakal nyalahin, Mas. Lagian, aku juga nggak bakalan kenapa-kenapa. Kenapa, Mas?" selidik Hilya, Adam menghindar tatapannya, Hilya tersenyum, "Udah mulai khawatir sama aku?"

"Ge-er banget kamu." Adam melangkah mendekati wanita yang masih setiap berdiri di tepi balkon. "Saya cuma menjalankan amanat Abi kamu buat jagain kamu. Udah itu aja.  Nggak lebih," lanjut Adam seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Hilya tersenyum, "Makasih, tapi tenang aja, aku nggak bakalan kenapa-kenapa. Lagian, cukup Mas tegur dengan baik kalau aku salah. Nggak harus ketus gitu, kan? Punya suami, kok galak banget."

Galak? Mana ada. gumam Adam dalam hati.

Apa benar yang dikatakan Hilya? Betulkan dirinya terlalu galak kepada wanita yang baru dua minggu ini jadi istrinya? Kata-kata Hilya jadi membuat Adam teringat lagi nasihati Umi sebelum dia  diantar menuju gerbang pernikahan bersama Hilya.

"Adam, ingat nasihat Umi. Umi tahu, pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Tapi jangan kamu jadikan pernikahan ini sesuatu yang bisa kamu mainkan karena sebatas keterpaksaan. Nanti, kamu harus belajar untuk bisa mencintai istrimu. Sebab, ketika mau bisa mencintai seorang istri, saat itu pula dia akan memberikan cinta dan rasa hormatnya kepadamu. Hormati dan muliakan dia seperti kamu menghormati dan memuliakan Umi. Berlemah lembutlah kamu menghadapinya, maka dia juga akan memberikan semua ketaatan dan baktinya untukmu.

"Kamu tahu, Dam?" Umi menatap putranya, menjeda sebelum melanjutkan lagi kata-katanya. Adam hanya diam tertunduk, "Istri itu ibarat jantungnya rumah tangga. Ketiadaan seorang istri, rumah pasti akan menjadi mati. Istri juga ibarat purnama, dia mampu menjadi cahaya dalam gelapmu. Tanpa dia, kamu akan melalui malam panjang dalam kegelapan." Umi membelai rambut putra bungsunya.

"Insyaa Allah, Adam paham, Umi."

"Kamu masih ingat? Rasulullah  berpesan dalam salah satu hadistnya bahwa, sebaik-baiknya akhlak seorang yang beriman adalah orang yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya. Jadi terapkanlah semua nasihat Umi ini. Insyaa Allah, kalau kamu ingat selalu ajaran dan anjuran Rasulullah dalam membina rumah tangga, niscaya kamu akan bahagia."

Dia masih ingat sekali semua kata-kata itu. Tetapi lamunan Adam pecah tatkala Hilya mulai bersin-bersin.

Ck!

Adam berdecak kesal

"Saya bilang juga apa. Kamu itu ngeyel kalau dibilangin. Masuk!"
Ditariknya Hilya secara paksa hingga wanita itu tak mampu melakukan penolakan.

Keegoisan yang dia punya untuk tidak peduli, tidak mau ambil pusing soal istrinya, ternyata tak bisa terus dia kedepankan. Termasuk malam ini. Adam tahu
Perlakuannya pada Hilya tentu saja membuat wanita itu terkejut sekaligus tak mengerti. Sebab inilah kali pertama Adam mau menyentuhnya meski hanya dengan menggenggam tangan demi memyeret paksa dirinya. Sebelumnya? Tidak pernah.

Adam selalu menjaga jarak. Menciptakan dinding tebal antara dirinya dengan Hilya. Adam tahu ada kewajiban yang harus dia lakukan untuk bisa menjadikan Hilya istri seutuhnya. Tapi, dia tidak ingin melakukannya hanya karena sebatas penggugur dari statusnya. Ya, status suami istri yang sebenarnya. Adam ingin, andai semua harus dilakukan, dia mau semua atas dasar cinta dan keikhlasan. Bukan keterpaksaan. Entah itu darinya atau bahkan mungkin dari Hilya-nya sendiri.

Kedua netra Hilya mengamati Adam dengan segala gerak geriknya. Dari mulai mengamati wajah kesal suaminya, lalu mengambil handuk dari dalam lemari sampai akhirnya, berdiri lagi di hadapannya.

"Keringkan wajahmu, ganti baju. Saya nggak mau disalahkan kalau kamu kenapa-kenapa, apalagi sampai sakit. Bikin repot!" ketusnya seraya menyerahkan handuk ke tangan Hilya.

Hilya sampai tak berkedip. Antara senang dan ngeri-ngeri sedap melihat ekspresi lelaki di depannya. Hilya jadi tersenyum. Dia tahu, meski caranya yang salah, setidaknya itu adalah bentuk kepedulian Adam kepadanya. Ya, walau pun dasar dari semua itu adalah menjaga amanat abi perihal dirinya yang diserahkan pada Adam. Dari situ Hilya jadi tahu, kalau Adam adalah seorang yang bertanggung jawab.

"Makasih, Mas." Hilya tersenyum manis tatkala menerima handuk pemberian Adam.

Merasa ditatap sedemikian rupa, Adam memangkas tatapan itu dan memilih menghindar dengan berjalan menuju tempat tidur. Mengambil selimut dan bantal dari ranjang. Jam sudah menunjukan pukul 21. 30, masuk akal bukan jika cara dia meredam kegugupannya dengan memilih merebahkan diri di sofa?

Lelaki berhidung mancung itu mencoba memejamkan mata sipitnya setelah merebahkan tubuhnya di sofa. Ya, sofa. Sama seperti malam sebelumnya. Tidur terpisah meski berada dalam satu kamar. Adam tahu jika wanita bermata indah itu masih memerhatikannya sambil memgulas senyum di bibirnya.

Adam bisa melihat dari matanya yang setengah terpejam. Tapi demi menyamarkan perasaan juga penglihatan Hilya, Adam pun beranjak mematikan lampu kamar. Sebagai gantinya Adam nyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Menjadikan cahaya temaram penerang malam ini.

Cerdas, kan?

Adam tersenyum dalam keremangan cahaya. Hilya tidak akan bisa melihatnya dengan begitu jelas kan? Dia pikir, seandainya masih bisa pun tidak akan sejelas tadi. Lagi pula, kalau begini kan, dia masih bisa melihat diam-diam gerak-gerik Hilya dari ekor matanya. Tanpa harus Hilya tahu bahwa dia tengah mencuri-curi pandang dalam baringnya.

Tak lama, Hilya pun ke kamar mandi. Selang waktu lima menit wanita itu keluar lagi setelah mengenakan piyama panjang berbahan satin lembut, warna putih. Adam mengira wanita itu akan langsung tidur, tetapi dugaannya salah. Istrinya itu menggelar sajadah di samping tempat tidur, mengenakan mukena dan seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya, dia mendirikan salat Witir yang menjadi ritual sebelum tidurnya. 

Dari mulai salat, dzikir dan membaca surat Al Mulk, Adam masih terus mengamati semua ritual ibadah istrinya. Entahlah, mengapa Adam jadi merasa betah mengamati setiap gerak gerik wanita itu selama berada di rumahnya. Tak apa, bukan kah lusa dia tidak akan bisa mengamatinya selama beberapa hari karena harus mulai bekerja. Saking asyik mengamati Hilya, tanpa terasa istrinya  sudah merebahkan tubuh di atas ranjang dengan posisi mengadap ke arahnya.

Sialan! Kenapa juga pake ngadep sini, sih?!

Meski berbeda tempat tidur dan dipisah jarak dua meter darinya tapi, tetap saja membuat Adam merasa kurang nyaman. Memaksa Adam harus pura-pura tidur

Dengan posisi miring kanan, sebagai mana tidur yang disunahkan Rasul, Hilya melipat kedua tangan lalu menindihnya di bawah pipi. Hilya tak tidur, melainkan mengamati wajah lelakinya dengan saksama.  Berusaha menatap Adam agar dia bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatnya jatuh cinta.

"Kamu itu sebenernya ganteng," akunya. "Tapi ...." Hilya menjeda.

Emang, aku kan udah ganteng dari lahir. Tapi kenapa? Batin Adam saat mendengar celotehan Hilya.

"Tapi sayang, kamu tuh, galak. dikit-dikit, marah. dikit-dikit, marah. Harusnya, tuh, ya ... marahnya yang sedikit. Dikurangi, biar enggak cepet tua." Hilya terkikik. "Tapi ... Nggak apa-apa, sih. Mendingan segitu juga. Daripada enggak mau ngomong sama sekali, kan? Kaya hantu. Cuma liatiiin aja. Nggak mau ngomong. Bener kan, kaya hantu." Hilya berceloteh sesukanya. Mumpung Adam sudah terlelap, kan? Kalau lelaki itu tidak tidur, mana bisa Hilya leluasa meluahkan apa yang ada dalam pikirannya. Bisa melotot Adam kalau mendengar kata-katanya barusan.

Hantu? Enak aja, ganteng begini disamain sama hantu. Awas aja, besok aku balas kamu. Adam menggerutu saat mendengar celotehan Hilya.

"Hmm ... Coba aja kamu baik, nggak usah anggap aku istri deh kalau kamu belum siap. Tapi ...  seenggaknya anggap aku ini sahabat yang numpang tidur di rumah kamu. Ya, anggap aja kita satu kos-an gitu. Aku pasti nggak bakal sedih karena ada teman berbagi cerita di sini. Abi sama Umi jauh ... Lagi pula enggak  mungkin kan, aku cerita soal kamu yang galak bin judes sama aku. Biar gimana pun aku tahu kok, kalau aku harus menjaga kehormatanmu. Tapi, aku jadi merasa kesepian, Mas. Pernah kan, kamu ngerasa terasing di keramaian? Ya, begitulah aku sekarang." Hilya menjeda, sementara Adam tetap pura-pura tidur.

"Iya sih, aku tahu kok, kalau pernikahan ini bukan keinginan kita. Aku juga tahu kalau kamu belum bisa nerima kehadiran aku. Sama, aku juga. Cuma bedanya, aku sedang belajar untuk bisa nerima kamu di hidup aku dan kamu nggak. Jujur aja, kamu juga masih asing buat aku. Tapi, biar begitu, bukan berati aku nggak serius sama pernikahan ini. Bagiku, pernikahan bukan sebuah hal yang bisa dijadikan permainan. Kita sudah diikrarkan dihadapan Allah. Tapi, kalau Mas nggak bisa nerima, aku maklum, kok." Ada jeda di sela-sela suara wanita itu yang mulai parau. Adam tahu wanita yang terbaring di depannya itu sedang menahan tangis.

Adam tetap bergeming membiarkan wanita itu meluahkan unek-uneknya tanpa dia tahu jika Adam masih tengah mendengarkan. 

"Tapi, bisa nggak, sih ... kamu jangan bersikap seolah-olah benci banget sama aku? Apa emang segitu bencinya ya, kamu sama aku? Aku salah ya, kalau aku menerima pernikahan ini?" suara Hilya mulai serak. Sebuah tangis lirih pun lolos dari bibirnya dengan nada yang tertahan.

Hati Adam mulai dilanda rasa bersalah. Benar yang dikatakan Hilya, mengapa dia tidak bisa menganggap wanita itu sebagai teman? Adam jadi merasa bukan seorang lelaki yang baik karena telah membuat Hilya yang saat ini bersamanya tidak bahagia.  Padahal tak ada niat sedikit pun di hati Adam membuat Hilya sakit hati atas perlakuannya. Bahkan menangis seperti malam ini.

Dalam remang cahaya, dia masih bisa melihat Hilya tenggelam dalam tangisnya. Lalu berbalik posisi membelakangi Adam. 

"Abi... Umi, Hilya kangeeen," ucapnya pilu.

Adam terdiam. Pikirannya tidak karuan. Ditambah cuaca di luar sedang tidak bagus. Hujan makin deras di sertai angin dan petir.  Jam digital pada ponselnya sudah menunjukan pukul 23.00 WIB. Dilihatnya Hilya sudah tampak sedikit lebih tenang walau pun isaknya masih bisa sesekali dia dengar.   

Hilya menutup tubuhnya dengan selimut. Suara petir dan kilatan cahaya membuatnya takut. Dia suka hujan, tapi tidak pada kawan-kawan hujan yang menyertai hujan itu sendiri. Jeda suara petir semakin rapat. Kilatan peristiwa dari masa kecil mulai terlintas. Pecahan kaca dan darah juga jerit tangis nan histeris mulai bermain dan berkelebat dalam ingatannya. Hilya gemetar, ketakutannya semakin memuncak. 

Lep! Gelap gulita.

Rupanya hujan besar telah mematikan aliran listrik malam ini. Adam masih bisa melihat bayangan Hilya dari kilatan cahaya yang masuk ke dalam kamar di susul suara petir yang sangat dahsyat terasa seperti melintas di atap rumah tepat di kamarnya.

"Aaarrgghh! Umi! teriak Hilya, tangisnya pecah makin histeris.

Adam terkejut sekaligus panik.  Dia bangun lalu menghampiri wanita yang histeris bergelung di bawah selimut.

"Hilya, kamu kenapa?!" Hilya tak menjawab melainkan hanya isak tangisnya yang terdengar. "Hilya, kamu kenapa?" Adam semakin bingung.

Adam melihat tubuh istrinya gemetar hebat, basah oleh keringat dingin. 

Ada apa ini?

Adam mulai merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Apakah itu, Adam tidak tahu. 

#########

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top