Awal dari Sebuah Akhir (1)

"Jangan risaukan apa yang tidak kita miliki. Tapi, risaukanlah hati saat tak bersungguh-sungguh mensyukuri setiap pemberian Nya."

★★★★★

"Jangan bergerak!" teriak seorang pria sambil menodongkan senjata. "Diam di tempat dan jangan ada seorang pun yang keluar dari sini!" serunya lagi.

Kilas balik kejadian semalam masih terus berputar-putar dalam ingatan Adam. Sebelum akhirnya ia harus meringkuk di dalam ruangan bersama beberapa orang lainnya. Tapi tidak dengan ketiga sahabatnya yang semalam berusaha membujuk untuk ikut menikmati hiburan di sebuah club malam di kota Semarang.

Mampus. Pikirnya, setelah ia sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Dia masih ingat bagai mana Dimas dan dua orang teman lainnya menjadikan Adam bahan taruhan. Tentu saja ia tak terima dan lebih memilih menerima tantangan mereka untuk berani menyentuh minuman yang sebenarnya sama sekali belum pernah ia nikmati. Alhasil, baru dua gelas saja minuman itu melintasi tenggorokannya, Adam sudah di dera oleh rasa pusing hingga membuatnya oleng.

"Adam Fabian!" tiba-tiba suara seseorang menyebutkan namanya.

"Saya, Pak?" Adam menoleh seraya berusaha menegakkan tubuhnya, melihat ke arah lelaki berseragam yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Ada seseorang yang mau jemput kamu."

Adam pun mengangguk seraya berdiri, berjalan mengikuti ke mana orang itu membawanya. Tanpa diberitahu pun Adam sudah yakin, siapa orang yang kini datang menjemputnya.   Dengan langkah gontai, Adam berjalan melewati beberapa ruangan lainnya, mengikuti petugas jaga yang saat ini berjalan tepat berada di depannya.

Tiba di sebuah ruangan utama, Di sana, Adam melihat sosok lelaki paruh baya tengah duduk di kursi kayu sedang berbicara dengan salah seorang pria bertubuh tegap lengkap dengan seragam kepolisian. Lelaki itu tampak bercengkerama penuh hormat, menjabat tangan abahnya.

Sadar akan kehadirannya, tampak Abah berbalik menatap tajam penuh kemarahan ke arahnya. Adam membeku. Ia merasakan seolah aliran darah dalam tubuhnya seakan berhenti hingga mengentikan denyut jantungnya. Adam bisa melihat, bahkan menyaksikan, bahwa hanya dengan tatapan mata saja, Abah sudah bisa menunjukkan kemarahannya.

Bagi Adam, tatapan Abah sudah cukup melumpuhkan seluruh kerja sel saraf tubuh dan otaknya. Abah memang terlihat sangar, tetapi Beliau tidak pernah kasar. Adam akui, sepanjang ia hidup, Abah adalah orang yang terbilang tidak mudah marah hanya karena persoalan kecil. Tapi, tidak murah marah bukan berarti tidak pernah marah, kan? Jika Abah tidak marah karena hal sepele, berbeda lagi urusannya jika sudah menyangkut agama.  Adam hapal betul prinsip Abah yang akan marah dan benci semata-mata karena Allah.

Menurut Abah, dalam hidup setiap manusia tidak akan bisa menghilangkan rasa marah, melainkan harus manusianya lah yang harus pandai me-manage emosi agar kemarahan tidak melebihi batasannya. Mengelola rasa marah agar tetap pada jalur, tempat, dan waktu yang tepat.

Dibalik sosoknya yang berwibawa, ada ketegasan yang selalu ia tunjukkan. Wajah boleh sangar, tetapi hati Abah lembut pada setiap orang. Santun, sopan dan penyayang juga peduli pada sekitar, yang tidak pernah membedakan miskin dan kaya. Dalam pandangannya. Menurut Abah, pembeda manusia hanya ada pada akhlak dan ketaqwaan setiap hamba pada Tuhannya. Itulah keistimewaan yang Adam lihat dari Abah. 

"Baiklah, Pak, terima kasih."

"Sama-sama Pak Haji," jawab lelaki berseragam seraya menjabat tangan Abah, yang pada akhirnya tatapan itu mengarah pada putra bungsunya.

Tanpa banyak bicara, setelah ia membaca isyarat mata dari Abahnya yang seakan berkata, ayo pulang! Adam pun berjalan, mengekor tepat satu meter di belakang Abah. Memasuki sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di sana.

Sepanjang perjalanan pulang, atmosfir di dalam mobil begitu mencekam. Sepanjang itu pula Adam sama sekali tidak membuka suara. Meski usia Adam sudah tak lagi muda, tetapi pada Abah, ia tak ubahnya seperti anak berusia sepuluh tahun yang masih terlalu takut untuk menghadapi orang tuanya ketika marah.

Adam baru saja memasuki ruang tengah. Ia pikir, begitu ia masuk, ia bisa langsung menuju kamar. Tapi salah, pemandangan di depannya justru membuat Adam seketika tak berkutik. Uminya menangis. Kedua matanya bengkak dengan kedua tangan sibuk menyeka air mata dengan ujung jilbabnya.

Maafkan aku, Umi... bisik Adam dalam hati yang dipenuhi rasa bersalah.

Adam membeku, berdiri di tempatnya. Ia yakin Abah tidak akan melepasnya seperti sebelumnya. Jika dihitung, jelas Adam tahu ini bukan kali pertama ia berbuat hal yang sama. Terlebih lagi tidak sekali saja umi memperingatkan dalam hal memilih kawan.

Belum sempat Adam beranjak dari tempatnya, suara benda yang sengaja dilemparkan  terdengar hingga membuat Adam dan umi ikut tergemap.

"Lihat!" tuding Abah tepat tertuju pada Umi yang masih sibuk menghapus air matanya. "Apa hasil dari kelakuanmu, Adam?!" bentak Abah, lagi.

Adam tak menjawab. Ia tahu bukan kali ini saja ia melakukan kesalahan. Maka dari itu, tak ada celah sedikit pun bagi Adam untuk bisa mengelak apalagi berdalih bahwa dirinya tak bersalah. Merasakan suasana tidak kondusif, Adam bermaksud untuk segera naik menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tetapi, baru saja ia berpijak pada anak tangga ketiga, Abah lebih dulu menginterupsi langkahnya.

"Mau ke mana kamu? Urusanmu belum selesai, Adam. Duduk dan jangan pergi sebelum Abah selesai bicara!" hardik Abah saat melihat Adam beranjak pergi.

Adam mengembuskan napasnya perlahan, memjamkan mata sejanak dan kemudian ia pun berbalik. Tanpa melihat ekspresi Abah, Adam memilih untuk manut dan menduduki sofa tepat di depan uminya. Firasatnya sudah tidak enak. Tak lama, Abah menyusul. Duduk berseberangan tepat di depannya. Untuk sesaat suasana menjadi hening, sebelum akhirnya Abah kembali bersuara.

"Berapa usiamu, Dam?" tanya Abah mulai menurunkan oktaf suaranya.

Lagi-lagi, Adam dibuat kagum. Tidak salah jika banyak orang mengklaim bahwa Abah memang orang yang pandai mengendalikan hawa napsu dan kemarahan. Adam akui itu. Tapi jangan salah, di saat seperti ini, bukan berarti Adam terbebas dari rentetan kemarahan Abah.  Apalagi sekarang Adam benar- benar bersalah. Mengenal prinsip hidup abahnya, jelas ia tahu. Jika sudah ada perbuatan anak-anaknya yang  melanggar hukum agama, Abah pasti akan segera menegur tegas tanpa ada toleransi.

Bagi Adam, untuk sekarang abahnya tak ubahnya seperti seekor singa. Pendiam dan kerap bersikap tenang, tetapi jika satu hal saja mengusiknya, maka auman dan setiap geraknya akan mampu mengintimidasi penghuni rimba raya.

Tak dipungkiri, semalam Adam memang menenggak sesuatu yang seharusnya tak boleh ia nikmati. Meskipun tidak banyak, tetapi haram tetaplah haram. Sedikit–banyak, tetap saja tidak akan bisa mengubah hukum itu sendiri. Dari situlah ia dapat menarik kesimpulan, bahwa apa yang ia lakukan merupakan kesalahan fatal bagi seorang Adam di mata Abah. Tentu saja itu akan ada konsekuesi yang harus terima.

"Jawab Adam, apa kamu tuli sampai-sampai kamu tidak bisa mendengar apa yang baru saja Abah tanyakan?" tanya Abah mengulangi dengan nada geram.

Adam tetap diam. Ia tahu, tak perlu bertanya pun sebenarnya Abah jelas tahu berapa usianya saat ini. 

"Adam?!" tegur Abah lagi.

"Dua puluh delapan, Bah."

"Dua puluh delapan." Abah tampak mengamati putra bungsunya. "Batas usia manusia itu paling banyak sampai 60 tahun, Dam. Kalau usia 28 kamu masih ndak punya target, apa yang mau kamu bawa buat pulang?"

Adam tetap membisu.

"Kamu sadar, kalau kamu itu sudah gak muda lagi, Dam? Kamu itu sudah bukan lagi remaja tanggung yang masih labil dan bersumbu pendek."  

Adam bergeming.

"Kamu harus sadar diri, Dam. Kamu itu sudah bukan remaja lagi. Sudah sepantasnya kamu itu berpikir jauh lebih dewasa. Abah tidak minta kamu lebih memikirkan kami, tapi coba pikirkan diri kamu sendiri. Pernah ndak kamu mikir, bagaimana nanti kamu berkeluarga, dengan siapa kamu berumah tangga?

"Sudah sepantasnya kamu berpikir ke sana. Seperti apa nanti kamu membimbing mereka. Asal kamu tahu, kewajiban dan tanggung jawab seorang suami itu berat, Dam. Jangan kamu kira cuma sebatas  perihal nafkah lahir batin. Salah kalau kamu cuma mikir sebatas itu tok."

Adam masih tertunduk.  Mencoba merenungi apa yang saat ini Abahnya katakan.

"Seorang suami itu imam dalam rumah tangga. Kalau kamu begitu terus, bagaimana kamu bisa bertanggung jawab sama keluargamu? Wong sama diri sendiri saja kamu masih seperti itu. Pernah terpikir semua itu? Apa jangan-jangan kamu itu cuma mengharapkan abahmu ini cepet mati, Dam?!" suara Abah kembali meninggi.

Adam mendongak, menggeleng keras, "Nggak, Bah! Mana bisa Adam berpikir sampai begitu?" tepis Adam tak habis pikir dengan apa yang baru saja abahnya katakan.

Adam melirik pada wanita yang duduk di samping abah—umi— masih setia mendampingi abah, duduk walau dengan derai air matanya. Melihat semua itu hati Adam seperti dicubit nyeri. Ada sesal yang mendera saat ia melihat ada kekecewaan yang tergambar begitu nyata di mata keduanya.

"Bagus kalau kamu nggak sampai berpikir dan berharap demikian, Dam. Ingat pesan Abah, dari sekarang sampai kapan pun kamu hidup, ketika kamu hendak berbuat apa saja, ingatlah pada satu hal, bahwa manusia dimatikan sesuai dengan kebiasaannya. Kalau kamu terus dengan kelakuanmu, apa kamu ndak takut kalau Allah mencabut nyawamu saat kamu dalam keadaan berbuat hal yang sama seperti yang kamu lakukan tadi malam?" 

Abah mulai sedikit tenang. Beliau tahu jika anak bungsunya sudah mulai merenungkan kata-katanya.

"Bersyukur kamu masih punya Abah sama Umi yang selalu mengingatkan kamu. Biarpun kamu menganggap kami itu rewel, tapi itulah bentuk kasih sayang Abah dan Umi sama kamu. Kalau kamu tidak bisa membuat Abah dan Umimu ini senang, cobalah untuk ndak membuat hisab kami makin susah kelak saat abah menghadap Allah hanya gara-gara kelakuanmu, Dam.

"Kalau ada suatu kekecewaan menimpamu yang abah dan umi ndak tahu, ada dua pilihan yang bisa kamu ambil. Yaitu, antara sabar untuk maju atau keputus-asaan yang membuat kamu mundur. Mana yang mau kamu pilih, semua terserah kamu. Apakah kamu mau maju dengan bersabar atau mundur sampai kamu tenggelam karena putus asa dan membuat Allah murka?"

Astagfirullah...

Adam beristigfar dalam hati. Kata-kata Abahnya benar. Kenapa ia bisa lupa pada dua hal itu? Dan mengapa ia justru tenggelam dalam keputus-asaan yang justru membuatnya terpuruk lebih jauh? Rasa kecewa dan luka dari masa lalu seharusnya tidak membuatnya lupa.

"Terima kasih, Bah. Nasihat Abah akan selalu Adam ingat."

Sulaiman sering mendengar hal serupa dari bibir putra bungsunya. buktinya pelanggaran itu bukan hanya sekali dua kali terjadi. sepertinya untuk kali ini ia harus bisa lebih tegas.

"Abah bosan terus dijejali janji-janji penyesalanmu, Adam. Karena kesalahanmu sudah semakin parah, kali ini Abah tidak akan tinggal diam. Abah mau kamu berubah. Abah tahu, kamu tidak akan berubah kalau Abah terlalu lemah. Kamu masih jadi tanggung jawab Abah. Jadi Abah akan berikan hukuman terbesar untuk kamu. Abah rasa, kelakuanmu kali ini sudah melampaui batas. Kamu sudah melukai Abah dan Umi.

"Kali ini tidak ada pemakluman.  Terserah kamu mau terima atau tidak, Abah tetap akan berikan kamu konsekuensi atas apa yang kamu lakukan."

"Tapi, Bah... Aku kan—."

"Tidak malam ini. Tenang saja. Apa hukuman yang tepat buat kamu, akan Abah pikirkan. Jadi... bersiaplah!" ancam Abah kepadanya.

Adam terdiam. Jika sudah begitu,  Adam tahu ia tak akan bisa lagi membantah. Dilihat Umi pun hanya diam. Tidak sedikit pun membelanya. Mungkin Umi masih marah dan kecewa atas kelakuannya. Dan, itu Adam anggap wajar, karena ia memang sudah keterlaluan.

Suasana kembali hening. Atmosfer di dalam rumah tidak sepanas tadi. Abah pun sudah mulai tenang. Adam tahu Abah tidak akan memakai kekerasan dalam mendidik semua anak-anaknya. Beliau tidak pernah membabi buta melampiaskan kemarahan pada semua anak-anaknya. Sebab Abah sendiri pernah mengatakan, dulu ketika dia masih remaja, bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang berani dan kuat dalam berduel, melainkan orang yang kuat menahan marah saat ia bisa melampiaskannya.

Ketika seseorang menahan marah, akan ada satu malaikat yang mendampingi serta mendoakannya.

Laa taghdhob wa lakal jannah.

Jangan marah, maka surga bagimu, katanya.

Namun, jika seseorang tidak bisa menahan lalu melampiaskannya maka malaikat akan pergi dan membiarkan setanlah yang menjadi temannya. Bertepuk tangan, bersorak gembira mentertawakan kelemahannya.

Tapi itu Abah.  Sayang sekali, Adam belum bisa seperti Abah  yang selalu bisa menjadikan marah sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan dihilangkan atau pun juga dilampiaskan. Abah akan marah, jika ia harus marah. Abah marah ketika siapa pun melanggar agama dan syariat-Nya. Tanpa kecuali, termasuk dirinya. Tidak memandang siapa yang berbuat, Jika urusannya sudah perkara keyakinan, agama dan pelanggaran aturan Allah, Abah akan marah besar.

Setelah hampir satu jam berlalu, Adam yang sudah merasa tidak nyaman, berpamitan ke kamar. Menghindar dari Abah dan Umi adalah hal yang ia butuhkan saat ini. Menenangkan diri dan merenungi semua yang terjadi.

Begitu sampai di depan pintu kamar, didorong pintu itu, bergegas ia ke kamar mandi untuk meluruhkan semua kotoran yang melekat di tubuhnya. Usai mandi, Adam merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sejak semalam tidak ia tempati. Terbaring dengan tatapan menerawang, menatap langit-langit kamarnya. Adam tetap diam, merenungi setiap kalimat dan alur kehidupan dari masa ke masa. Sampai pada akhirnya ia teringat pada sebuah ancaman Abah. Kemudian hati Adam pun bertanya-tanya.

Hukuman apa yang bakal abah siapkan besok?

*****

Hanya up ulang setelah sebagian banyak yang aku penggal karena Merasa masih banyak sekali kekurangan. Sayang aja sih kalau cerita gak dibagikan untuk dibaca... Semoga dengan banyak yang membaca, semakin banyak pula hal positif  yang tersirat bisa tersampaikan. Aamiin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top