Chapter 65🌼

بسم الله الر حمن الر حيم

🌼

   BEBAN hidup Zahra rasanya tak ada apa-apanya dengan beban hidup saudara-saudara seimannya yang ada di Palestina, Suriah, dan wilayah-wilayah lain yang senasib. Ujian untuk Zahra ini hanya secuil saja, tapi mengapa Zahra begitu rapuh?

Ayah. Dulu setiap pagi, Zahra akan mengusik ketenangan ayahnya dengan mencampur kopi dengan susu miliknya. Alhasil, ayahnya harus meminum minuman berasa aneh itu. Yang istimewa bagi Zahra adalah ayahnya selalu meminum minuman itu walau rasanya pasti aneh. Bagaimana tidak aneh? Kopi hitam ditambah susu. Anehkah? Zahra sendiri tidak tau bagaimana rasanya.

Ah, ayahnya dulu sering lomba lari dengannya saat hari minggu pagi. Zahra selalu jadi pemenangnya. Mereka bahkan pernah lari pagi sambil dikejar anjing buldog  tetangga karena Zahra yang usil melempar kerikil kecil pada anjing itu. Alhasil, anjing buldog yang tidak diikat pun mengejar mereka.

Zahra tersenyum kecil mengingat memori masa lalunya. Dulu, ayahnya tak seperti sekarang. Dulu ayahnya adalah tipe ayah yang humoris padanya dan romantis pada bundanya. Saking romantisnya pada Bunda, Zahra pernah cemburu dan ngambek.

"Za, kamu kenapa sih?"

Zahra tersadar dari lamunannya. Sebuah guncangan kecil di tangannya menariknya ke alam nyata. Zahra tersenyum tipis ke arah Nani.

"Ndak papa kok, Nan. Cuma pusing mikirin tugas aja"

Mereka berdua baru saja keluar kelas dan sekarang berjalan menuju kantin. Itu adalah tempat favorit mereka.

"Santuy aja kali" komentar Nani tanpa beban. Kadang Zahra berpikir enaknya hidup Nani. Sudah dimanja, orang tua yang sangat baik, mempunyai saudara, nah Zahra? Sudah orang tua tinggal sebelah, ayahnya membenci dirinya, dan dirinya pun tak mempunyai saudara.

Astagfirullah

Zahra beristigfar. Jika sudah membanding-bandingkan, maka hanya akan memberi rasa perih di hati. Cukup mensyukuri yang dimiliki tanpa mengulik apa yang orang lain punyai.

"Za, beli boba yuk!" Nani mengajak dengan begitu semangatnya.

"He'em" kejadian tadi masih saja terngiang di kepala Zahra.

"Assalamu'alaikum, Za"

Zahra dan Nani memberhentikan langkah kaki mereka ketika melihat seorang lelaki berparas tampan itu berdiri dekat mereka sambil tersenyum manis.

"Wa'alaikumussalam" sahut Nani dan Zahra.

"Eh, beruang kutub ada disini juga" ucap Amar ketika melihat Nani tengah berdiri diantara dirinya dan Zahra.

"Eih, enak aja lo bilang gue beruang kutub! Lo Rabbit Invation!" Nani langsung ngegas. Entah kenapa Amar bersikap begitu menyebalkan padanya.

"Santuy kali, Zik. Kagak usah ngegas juga" Amar terkekeh dengan reaksi Nani.

"Bodo!" Nani melipat tangan di depan dada sambil membuang muka ke sembarang arah.

Zahra hanya menggelengkan kepalanya kecil melihat pertengkaran Nani dan Amar. Dirinya sudah mulai terbiasa dengan pertengkaran Nani dan Amar.

"Udahlah, Zika. Gue kesini gak mau debat ama lo" Amar pura-pura serius dan Nani tetap bersikap masa bodo.

"Nih buat lo, Za. Jangan lupa dateng, ya" Amar memberika sebuah undangan. Amar akan menikah?

"Ya ampun, Za. Ini undangan acara ulang tahun gue bukan undangab nikahan" Anar tertawa renyah diakhir kalimat. Amar seakan bisa membaca pikiran Zahra.

Zahra meraih undangan itu sambil berterima kasih pada Amar.

"Buat gue mana?" Amar tertawa dengan pertanyaan Nani yang ngegas.

"Lo mah nggak usah pake undangan. Lo kayak jelangkung. Datang gak diundang pulang tak diantar, wkwk" Nani langsung membuang mukanya, gedek.

"Amar" Amar langsung mengalihkan atensinya pada Zahra. "Maaf, aku kayaknya nggak bisa dateng"

"Kenapa?" Amar mengernyitkan dahinya.

"Mm, aku nggak bisa aja. Banyak tugas juga" sahut Zahra apa adanya. Memang akhir-akhir ini tugas menggunung.

"Nggak bisa ditinggal gitu buat satu malem aja?" Amar sangat berharap Zahra datang. Entah kenapa hati Amar masih saja terpaut pada Zahra.

"Maaf" itu artinya Zahra benar-benar tidak bisa. Lagipula itu acara malam dan Zahra tidak terbiasa keluar rumah malam-malam kecuali hal yang mendesak.

"Ya udah nggak papa" Amar melukiskan senyuman tipis.

"Ya udah, aku mau pulang dulu, ya" Zahra rasa suasana hatinya sedang tak baik. Zahra sedang ingin menyendiri dan menyepi.

"Nggak jadi nih beli bobanya?" Nani angkat bicara. Acara minum boba pun hancur karena Amar datang. Menyebalkan!

"Maaf ya, Nan. Aku mau pulang aja" berhubung tidak ada kuliah lagi, Zahra lebih baik pulang dan menenangkan diri.

"Makasih Amar udah ngundang aku. Maaf ya nggak bisa dateng. Aku permisi dulu. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Zahra melangkahkan kakinya menuju gerbang kampus. Hatinya berteriak pilu dengan reaksi ayahnya. Mungkinkah ia terlalu lancang kepada ayahnya? Ingin Zahra berteriak pada dunia bahwa Zahra sakit. Batinnya tertekan. Baru saja kemarin dirinya mencicipi kemanis bersama suaminya, tapi Dito telah menghancurkan hatinya. Kehidupan Zahra mulai membaik, tapi hatinya kembali remuk seketika.

Zahra berdiri di depan gerbang kampus untuk menunggu ojeg onlinenya datang. Setelah kelas beres, Zahra langsung pesan ojol. Saat Na i mengajaknya ke kantin, Zahra asal jawab saja padahal dirinya mau pulang. Pikirannya terlalu kalut.

Tidak berselang lama, seorang driver perempuan datang dengan motornya.

Mata itu. Mata tajam itu menghujam ke arah Zahra. Seorang wanita paruh baya yang masih cantik dan fashionable itu tersenyum miring. Begitu sinis. Sorot matanya menyiratkan kebencian yang amat dalam. Saat ojeg online yang Zahra tumpangi melesat membelah jalanan, wanita itu semakin tak sabar.

"Kejar dia!"

🌼

Azira menuntaskan ngajinya. Perasaannya mulai tenang. Azira. Perempuan yang terjebak dalam kesalahannya itu dihantui rasa bersalah yang amat terasa. Jika saja dirinya tidak egois dari awal, mungkin Zahra tak perlu banyak tersakiti. Tapi, bolehkah Azira bertanya balik? Kala itu, Azira telah dilamar oleh Alif walau belum secara resmi. Beberapa hari berikutnya, Alif tak ada kabar. Tidak masuk kantor. Yang mengenaskan adalah ternyata Alif telah menikah sedangkan Alif telah melamarnya. Alif tak memberinya kabar soal pernikahannya. Sekarang, Azira ingin bertanya siapa yang telah merebut Alif? Dirinya ataukah Zahra? Semuanya memilukan jika harus dipikir lebih dalam. Toh, sekarang mereka mulai merintis rumah tangga. Semoga Allah meridhoi mereka bertiga untuk tetap bersama.

Azira segera bersiap untuk ke rumah Zahra. Tak lupa dirinya memasukan sebuah map yang amat penting. Ia tau Alif pasti juga akan menyusul ke rumah Zahra dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk Azira meminta tanda tangan Alif di map tersebut. Azira telah memasukan map merah itu dalam tasnya.  Tadi dirinya telah meminta izin pada Alif untuk menemui Zahra. Syukurnya Alif mengizinkan. Setelah siap, Azira berjalan keluar rumah. Tati sudah tau jika dirinya akan keluar sebentar, jadi sekarang berangkat bersama Ulo.

"Pak Ulo, anterim saya ke rumah Zahra ya"

🌼

Pulpen berwarna hitam itu terus diketuk-ketukan pada meja jati di depan pria yang tengah duduk itu. Pikirannya panas. Harusnya tadi pagi dirinya langsung antar Zahra ke kampus daripada ke kantor dulu. Ah, mungkin takdirnya Zahra bertemu ayahnya.

Alif rasa Zahra sudah hancur. Hati anak mana yang tak hancur saat ayahnya sendiri membencinya? Secarik kertas yang ia siapkan beberapa hari lalu itu masih belum siap untuk diberikan kepada si penerima. Mungkin akan terkesan seperti anak SMA yang cemen jika surat itu diberikan. Tapi, itu adalah pelampiasan isi hati Alif pada Zahra.

Alif meremas kertas di hadapannya itu lalu melemparnya ke tong sampah. Sudah berbelas-belas kertas atau mungkin berpuluh-puluh kertas ia habiskan untuk menulis secarik surat yang tak tersampaikan pada Zahra. Semua berakhir di tong sampah. Ah, seperti baru merasakan apa itu jatuh hati saja.

Dulu saja Alif sering memberikan surat semacam itu pada seorang gadis saat dirinya mondok. Walaupun kebanyakan suratnya tidak dibalas, setidaknya satu surat di balas. Surat dari hatinya untuk hati wanita itu. Ah, itu kejadian dulu. Mana mungkin gadis itu masih ingat dengan hubungan mereka dulu. Mana mungkin wanita itu menganggap hubungan mereka bisa sampai jenjang pelaminan saat mereka saja sudah tak bertemu sedari Alif keluar dari pondok pesantren. Alif pun kini tidak tau kabar gadis shalihah itu.

Kembali lagi pada Zahra. Alif yakin suasana hati gadis 21 tahun itu hancur. Zahra pasti mengurungkan niat untuk ke rumah Azira, maka dari itu Alif mengizinkan Azira menemui Zahra. Semoga mood Zahra kembali bangkit.

"Aku gila karena Zahra" Alif pun tersenyum sendiri membayangkan wajah istri pertamanya.

Alif menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa heran dengan dirinya sendiri. Rambut hitamnya yang masih basah dengan air wudhu itu menambah kadar ketampanannya. Senyumnya merekah membayangkan senyuman Zahra. Apalagi wajah Zahra saat rok mukenanya robek. Masya Allah, begitu menggemaskan.

"Lif?"

"Astagfirullah" Alif tersentak kanget ketika sebuah suara menyadarkan dirinya. Suaranya memang tidak keras tapi mampu membuat Alif terhenyak kaget.

"Lo, Wan. Dateng-dateng udah kayak jelangkung aja" komentar Alif sambil pura-pura sibuk pada laptop di depannya.

"Ya elah, Alif. Gue udah ngucap salam ampe tiga kali, lo aja yang budeg" Alif mengerlingkan matanya.

Irwan masih terheran dengan sahabatnya ini yang senyum-senyum sendiri. Ada apa?

"Lo kenapa? Kesambet setan mana lo?" tanya Irwan dengan wajah menampakan sedikit kengerian. Alif malah tertawa.

"Udah ah, jomblo mana paham" Alif meledek.

"Tega lu!" Alif malah puas mengatai sahabatnya.

"Udah ah, gue sibuk." Alif pura-pura sibuk.

"Ya elah, sibuk ngebayangin Zira kali lo mah"

Meleset!

Ruang pikiran Alif sibuk memikirkan Zahra. Ah, Azira memang masih menempati hatinya, tapi ruang pikirannya masih Zahra yang menguasai. Labil kan dirinya?

🌼

Z

ahra memasuki rumahnya. Baru saja dirinya mendapat telpon dari Neneng dan Ujang jika mereka mendadak harus kembali ke Cililin, Bandung Barat untuk menemui ibu mereka yang tengah sakit. Pantas saja mereka pergi dengan mendadak.

Zahra sekarang bisa menangis dimana saja tanpa khawatir ada orang lain yang lihat. Biarkan Allah dan dirinya yang tau sakit hatinya Zahra.

Kaki Zahra menapaki anak tangga dengan gontai. Perasaannya masih diselimuti luka. Kapan luka hatinya akan sembuh?

Deg!

Tiba-tiba langkah Zahra terhenti kala pendengarannya menangkap sebuah suara tepukan tangan.

Jantungnya dipompa berkali-kali lipat kala pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya dengan setelan ala sosialita kelas kakap tengah berjalan dengan angkuh memasuki rumahnya.

Ketakutan kembali menyergapnya. Untuk apa wanita itu kembali datang? Sudah cukup untuk hari ini, jangan lagi.

"Ibu?" Zahra berjalan mendekati Silvi walau masih terasa rasa takut pada wanita paruh baya itu. Trauma pada hari pernikahan Alif dan Azira masih membenamkan dirinya. Trauma pada saat Silvi menganiaya dirinya.

Zahra berusaha berhusnudzon. Jangan sampai dirinya diliputi prasangka buruk pada ibu tirinya itu.

"Rumah yang cukup mewah ya" ucap Silvi dengan kesombongannya. "Pinter juga kamu morotin si Alif"

"Astagfirullah" Zahra beristigfar dengan suara kecil.

Saat akan mencium punggung tangan Silvi, Zahra terhenti. Silvi menarik tangan Zahra dengan begitu kasar untuk mendekat ke arahnya.

"Dengar, Zahra. Suatu saat rumah ini akan menjadi milik saya! Saya pastikan itu!" mata Zahra dan Silvi bersirobok. Mata Zahra yang memancarkan penuh kelembutan ditusuk tajam oleh iris mata Silvi yang menyiratkan penuh emosi.

Zahra menggeleng lemah. "Ini semua bukan milik Zahra. Ibu harus ingat jika harta hanyalah titipan dari Allah. Harta adalah penguji keimanan kita. Kita tidak akan membawa semua harta kita saat mati. Jannah tidak bergantung pada banyaknya uang"

Silvi tersenyum miring lalu mendorong tubuh Zahra dengan kasar. "Munafik!"

"Bu, ibu sadar. Kendaraan terakhir kita adalah keranda. Pakaian terakhir kita adalah kain kafan. Mobil-mobil mewah produksi luar negri tidak akan masuk ke liang lahat bersama kita. Pakaian-pakaian branded tidak akan kita pakai untuk menemui Allah. Ibu jangan buta harta, Bu"

PLAK!

Pipi mulus Zahra memanas hingga berubah warna menjadi kemerahan. Zahra sebisa mungkin menelan semua emosinya yang membuncah. Ia tahan sekuat tenaga air matanya.Ia netralkan degup jantungnya.

"Bu, kalo kita masuk surga tergantung jumlah harta yang kita punya, maka Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam akan menjadi orang terkaya yang pernah ada. Bu, kita muslim. Kit—"

"Dengar, Zahra! Kamu pikir saya merestui pernikahan kamu dan Alif karena apa kalo bukan karena harya?! Al Qadri Group adalah perusahaan besar dan suami kamu memegang kendali. Jika dia mati, harta turun sama kamu! Dan ingat satu hal" jeda beberapa detik. "Saya akan membunuh Azira"

Deg!

"Astagfirullah, ibu. Istigfar, bu. Ibu jangan pernah menyakiti Mbak Zira" suara Zahra menegas. Ia tidak akan ridho orang disayanginya disakiti karena keluarganya.

Silvi tertawa sumbang. Di telinga Zahra terdengar begitu mengerikan. Firasat buruk menyelusup ke hati Zahra saat Silvi tertawa seperti itu sambil berjalan ke arahnya.

"Dengar, anak tau diri!" hijab Zahra dijambak dari belakang oleh Silvi. Tangan Silvi yang lain mencengkram kuat kedua pipi Zahra.

"Alif itu tambang emas. Anak bodoh sepertimu perlu disingkirkan. Tapi, sebelum itu, kita singkirkan Alif dan madumu, paham?" suara Silvi terdengar lebih rendah, tetapi nadanya begitu mengerikan seakan dirinya akan melahap Zahra hidup-hidup.

Ketakutan Zahra lenyap. Ia tidak akan membiarkan Silvi melaksanakan niatnya.

"Cukup Ayah yang jadi korban keserakahan wanita seperti ibu. Jangan yang lain"

PLAK!

PLAK!

Zahra meringis kesakitan saat Silvi menampar kedua pipinya dengan keras, sakit. Darah segar nampaknya keluar dari sudut bibir kanan Zahra. Terasa perih.

"Anak bodoh!"

Silvi mendorong tubuh Zahra ke dinding hingga punggung Zahra merasakan cukup rasa sakit. Mengapa ibu tirinya dengan tega menganiaya dirinya seperti ini hanya karena harta?

"Harusnya Alif menikah dengan Amia saja jika kamu akan membakangkan seperti ini, Zahra!!" Silvi menarik leher Zahra hingga gadis itu merasakan sulit bernapas.

"HENTIKAN!!!"

Atensi Zahra dan Silvi teralihkan pada seorang wanita 25 tahun yang berlari mendekati mereka dengan wajah merah padam.

Seketika cekikan di leher Zahra melemah. Silvi tersenyum miring ke arah Azira yang baru datang membuat semua menjadi lebih seru.

Zahra langsung menghadang Silvi yang mendekati Azira dengan senyum sinis.

"Bu, Za mohon hentikan niat ibu" Silvi mendorong tubuh Zahra ke samping hingga tubuh lelah Zahra terhuyung walau tidak sampai jatuh.

Ya Allah, Zahra mulai takut jika ibu tirinya itu akan melaksanakan niatnya. Silvi tak akan pernah main-main dengan ancamannya.

Azira sama sekali tidak gentar ataupun takut. Ia berdiri tegak dengan tatapan tajam ke arah Silvi yang mendekat ke arahnya. Azira tidak tau siapa wanita paruh baya di depannya ini hanya saja Azira tau jika Silvi bukan orang baik-baik. Ia telah melihat bagaimana Silvi mencekik Zahra. Sudah cukup baginya untuk tau sifat Silvi. Azira tidak akan membiarkan wanita paruh baya itu menyakiti Zahra.

Azira tersenyum kecut ketika iris matanya menangkap sebuah benda tajam yang digenggam Silvi. Sayang sekali wanita kasar itu membuat Azira melihat benda yang dipegang olehnya.

"Azira Najusma" Silvi tersenyum miring, sinis. "Cantik, sayangnya..."

Dengan seperkian detik Azira menangkap pergelangan tangan Silvi yang mencoba menusuk perutnya dengan pisau dapur yang digenggam erat. Azira mengangkat tangan Silvi yang masih menggenggam pisau yang mengkilap itu.

"Sayangnya apa, Tante?" Azira tersenyum kecut ke arah Silvi.

Silvi sama sekali tidak menampakan wajah takut. Dirinya malah tertantang dengan kecerdasan Azira. Menarik.

"Sayangnya kamu cerdas"

Zahra diam berdiri. Kakinya terasa sulit untuk menumpu berat tubuhnya. Kepalanya terasa sakit. Tubuhnya terasa lemah.

Azira melentingkan kelingking Silvi yang masih menggenggam erat pisau dapur itu. Azira lentingkan ke belakang.

"Tante lepaskan pisau ini atau kalau tidak, tante akan kehilangan satu jari tante" ancam Azira dengan sorot mata mengintimidasi Silvi.

Silvi malah tersenyum miring. "Jika itu mau mu untuk tinggal di penjara"

"Tentu saja bersama tante atas kasus penganiayaan. Kita bisa tinggal dalam satu sel, tante" Azira tersenyum kecut.

"Tak ada bukti" Silvi meremehkan.

"Zahra korbannya, Tante pelakunya, saya dan Allah saksinya." Azira tetap mencengkran erat pergelangan tangan Silvi dengan tangan kirinya. Telunjuk kirinya kini digunakan untuk melentingkan kelingking Silvi sedangkan tangan kanannya yang semula melentingkan kelibgking Silvi kini merogoh ponsel dari dalam tas.

"Dan ini buktinya" Azira menunjukan layar ponselnya yang menunjukan foto dimana Silvi tengah mencekik Zahra.

"Sudah jelas, Tante?" Azira tersenyum puas.

"Cerdas" Silvi melepaskan pisau dapur yang sebelumnya ia genggam.

Bersamaan dengan melepaskan tangan Silvi, Azira overkan pisau itu ke belakang tubuhnya dengan kakinya.

Silvi tersenyum miring ke arah Azira. Tentu Azira balas dengan senyum tak kalah sinis dengan tatapan tajamnya.

"Za" Azira berjalan cepat ke arah Zahra yang terduduk di lantai sambil memejamkan matanya. Zahra pun berdiri lalu memeluk erat tubuh madunya.

"Mbak.." Zahra menangis dalam pelukan Azira yang erat. Azira tenangkan Zahra dengan usapan lembut di kepala Zahra.

Zahra takut dengan kejadiab barusan. Ia ingin melerai. Hanya saja tubuhnya tak bisa berkompromi. Tubuhnya begitu lemah. Zahra menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Azira.

Zahra buka perlahan mata indahnya. Seketika mata itu membulat sempurna.

"NGGAK!!!"

JLEB!

"Selamat tinggal Zahra dan Azira"

🌼

Assalamu'alaikum

Gimana? Gimana? Tegang gak? Tegang gak? Ih, aku tuh deg-degan nulis chap ini tuh. Puanjaang banget ya kan? Sengaja biar ndak banyak chap plus biar kalian seneng bacanya. Apa sih yang nggak buat readers setia WK😍. Sebelumnya aku nggak pernah tuh nulis 1 chap sampe 2500 kata lebih. Cuma di chap 65 nih kalo sampe sekarang mah😍. Ayo yang mau ikutan gc gak usah chat di akun WP ini ya. Chat aja langsung ke 0831-6927-7119. Karena aku ndak stay terus di WP, tapi kalo di WA kan lebih mudah dan notif selalu datang.

Yo tungguin dan chap 66 nya😍

Jazakumullah khairan katsiiran💕

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top