Chapter 64🌼

بسم الله الر حمن الر حيم

🌼

 

   ALIF dan Zahra kini hanya tersenyum-senyum membayangkan sesuatu di otak mereka. Mereka diam, tapi pakaiannya mengelana mendalami sebuah pikiran.

"Mm, Za" Zahra langsung mengalihkan atensinya pada Alif.

"Ada apa, Mas?"

Alif benar-benar bingung bagaimana cara menyampaikannya pada Zahra. Bayang-bayang kejadian sebelumnya masih menghantui dirinya. Kejadian yang membuatnya tersenyum.

"Kamu mau nggak dansa lagi sama Mas?"

Zahra langsung membulatkan matanya. Bayangan saat rok mukenahnya sobek saja sudah menggelikan. Ia takut kejadian serupa terjadi untuk kedua kalinya.

"Mau kan, Za?" Zahra sungguh ingin tertawa saat membayangkan kejadia beberapa saat lalu. Sungguh menggelitik perutnya.

"Ya udah, Mas"

Alif pun menuntun Zahra memasuki kamar mereka. Alif sengaja tidak menutup pintu balkon agar suasana lebih romantis. Diputarnya lagu yang begitu romantis yakni lagu Perfect dari Ed Sheeran. Lagu yang Alif sukai.

Mereka berdua mulai berdansa diawal lagu. Zahra dan Alif pandai membawa diri saat berdansa. Manik mata mereka saling mengunci. Senyuman dari keduanya tidak luntur. Lagu Perfect benar-benar menggambarkan perasaan Alif pada Zahra. Siapapun yang melihat dansa mereka malam ini pasti menyangka mereka tak memiliki masalah perasaan. Mereka terlihat begitu harmonis dan romantis.

Ah, Zahra sungguh merekam momen ini di kepalanya. Momen indah yang digoreskan Alif dalam hidupnya.

Deg.. deg.. deg..

Tubuh Zahra membeku ketika tiba di akhir lagu dan sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Matanya membulat sempurna menyiratkan keterkejutan dan kebahagiaan tentunya.

Alif membisikan suatu kalimat yang membuat degup jantung Zahra lebih cepat berkali-kali lipat dari sebelumnya. Kalimat yang tak pernah Zahra sangka akan Alif ucapkan kepadanya. Walau Alif belun secara gamblang bicara soal perasaannya pada Zahra, tapi dengan hal yang Alif ucapkan barusan sudah cukup jelas jika Alif sudah mulai mencintainya dan menganggapnya sebagai seorang istri.

Zahra tersenyum tipis lalu mengangguk, mengiyakan.

🌼

 Zahra sibuk menata makanan di meja makan. Sarapan kali ini istimewa. Ada suaminya yang satu meja makan dengan dirinya nanti. Hanya saja, ada yang kurang. Biasanya mereka makan bertiga, tapi sekarang hanya berdua. Harusnya mereka makan jadi berempat dengan janin yang ada di dalam perut Azira. Ah, Zahra rindu dengan wanita keturunan Aceh itu.

Momen semalam... Ah, sudahlah. Zahra merasa malu saat memikirkannya kembali hingga pipinya berubah menjadi merah merona.

"Pagi, Za" sapa Alif lalu duduk di sebuah kursi yang Zara siapkan.

"Pagi juga, Mas" balas Zahra dengan senyum manisnya.

"Wih, masakan siapa nih?" Alif mulai memenuhi piring dengan sarapannya.

"Masakannya Bi Neneng ama Za, Mas" Zahra pun duduk di sebelah Alif.

Alif memulai sarapannya dengan membaca basmalah disusul oleh Zahra.

"Mas, boleh nggak Za nanti ke rumah Mbak Zira?" Zahra membangun percakapan di sela-sela sarapan mereka.

"Boleh dong, Za. Zira juga kayaknya kesepian tanpa kamu" Alif tidak apa jika Zahra ingin bertemu.

"Mm, sambil bawa motornya Za, Mas" cicit Zahra.

UKHUK!

Alif tiba-tiba saja terbatuk mendengar perkataan terakhir Zahra. Dengan cepat Zahra menyodorkan segelas air putih.

"Apa, Za? Ambil motor?" Alif kembali melanjutkan sarapannya.

"Iya, Mas. Za rindu pake motor saat berangkat kuliah. Itung-itung ngehemat ongkos kendaraan online. Boleh kan, Mas?" Zahra mulai memperlihatkan wajah penuh pengharapan.

Alif melanjutkan sarapannya dengan sanai tanpa menggubris permintaan Zahra.

"Nggak boleh ya, Mas?" Zahra cukup sedih karena tidak diperbolehkan membawa motornya.

"Gini, Za. Kamu nggak inget kejadian yang pulang kuliah itu? Mas cuma takut nanti kamu ngalamin hal yang sama" Alif masih santai melahap sarapannya.

"Yah, Mas. Za mau belajar hemat aja. Lagian kan sayang motor Za gak dipake" Zahra tetap kekeuh dengan permintaannya.

"Dipake kok" Zahra mengernyit bingung.

"Sama siapa?"

"Pak Iryo"

Zahra mengernyit bingung sambil menahan tawanya saat mendengar jawaban Alif. Iryo tidak mungkin bukan memakai motor matic Zahra sedangkan Iryo saja mempunyainya?

"Mas yakin?" Zahra sungguh tak percaya.

"Iya, beneran kok. Jadi kalo dia mau keluar, pake motor dia pas hari Senin ampe Rabu aja. Nah, kalo keluar rumah pas hari Kamis sampe Minggu, beliau pake motor kamu" Zahra tersenyum aneh dengan pemaparan Alif. Ia bahkan menahan tawanya saat Alif menceritakan hal itu dengan lempengnya.

"Kok bisa dijadwal gitu sih?" Zahra masih menahan tawanya dengan hanya menampakan senyum geli.

"Orang kaya mah bebas kali, Za" Zahra mengangguk mengiyakan. Ada-ada saja kelakuan Iryo.

"Tapi, kalo kamu mau ambil motor, ya udah ambil aja dengan catatan boleh naik motor saat Mas jadwal di rumah Zira" Zahra langsung menganggukan kepalanya, bahagia.

"Iya, Mas. Makasih"

"He'em"

🌼

Azira menatap kursi-kursi kosong itu. Biasanya dirinya akan melihat Zahra dan Alif disana. Dirinya merindukan mereka berdua. Mungkin ini ujian dari Allah. Mungkin saja Zahra merasakan kesepian yang lebih dari ini. Mungkin terluka terus menerus karena pernikahannya.

Sungguh Azira ingin menjauh dari Alif sejauh-jauhnya, tapi Allah berkehendak agar Azira bertemu dengan Alif di rumah sakit waktu itu. Jika Alif bukanlah penolong ayahnya, maka Azira bisa hidup tenang tanpa rasa bersalah seperti ini. Bagaimana pun dirinya tetaplah wanita biasa yang ingin menjadi istri dari seorang lelaki yang akan menjadikannya istri satu-satunya. Tapi, ini semua kembali lagi kepada Allah. Walaupun Azira menangis darah, tetap saja ini takdir Allah yang tak akan pernah bisa ia ubah.

Cerai? Untuk saat ini Azira tak bisa. Nyatanya hatinya masih saja egois dengan mempertahankan Alif di dalamnya. Alasan lain adalah dirinya tengah mengandung anak dari Alif. Tidak diperkenankan bukan dirinya bercerai dari Alif saat tengah mengandung?

Azira ingin menangis karena takdir ini, tapi apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Azira tinggal menunggu bom waktu meledak dan semua fakta terpapar di umum.

Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Azira. Dia baca notifikasi tersebut. Senyum bahagia mereka di wajah ayunya.

"Arkan akan pulang"

🌼

Z

ahra. Gadis itu. Entahlah, takdir Tuhannya terlalu rumit untuk dirinya pikirkan. Perubahan sikap Alif yang menurutnya terlalu cepat membuat Zahra agak sulit mencerna alasan utama Alif bersikap manis padanya.

Apakah Zahra terlalu mendambakan cinta Alif? Zahra ingin menjauh dari Alif hingga dirinya siap atas segalanya, tapi hatinya lagi-lagi memberontak. Dirinya bukanlah muslimah lemah. Jika dirinya lemah, dia akan mundur dari poligami seperti ini. Zahra bersyukur atas takdir ini. Zahra yang dulunya berpikir tak akan mencapai titik ini, akhirnya dirinya bisa kuat menghadapi hubungan poligami. Semuanya masalah waktu dan ego. Waktu telah berjalan memutarkan hati satu sama lain untuk tak egois.

"Kita ke kantor Mas dulu, ya. Sebentar buat nemuin sekretaris Mas. Mau reschedule" Zahra mengangguk saja. Pikirannya melayang entah kemana.

Alif. Lelaki berahang tegas itu entah kenapa merasakan suatu rasa yang aneh saat bersama Zahra. Apa lelaki itu sudah menaruh hati pada Zahra? Jika memang iya, Zahra telah berhasil meluluhkan hati Alif yang sempat membeku dan tak bisa Zahra masuki. Alif merasa nyaman bersama Zahra walau ia tau bahwa semua luka yang Alif tancapkan pada Zahra tak akan bisa diobati. Luka Zahra pastilah terlalu dalam.

Sekarang Alif terjebak perasaannya sendiri antara mempertahankan Azira dan menahan Zahra pergi. Apa dirinya bisa adil?

Mobil hitam milik Alif memasuki area perkantoran dengan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.

Deg!

Dua jantung itu terasa dipompa dengan cepat. Ada sebuah rasa sesak saat melihat seorang pria paruh baya berjas hitam tengah keluar dari sebuah mobil berwarna putih.

Setelah mobil Alif berhenti, dengan cepat Zahra keluar mobil dengan rasa rindu membuncah. Air mata harunya siap tumpah tak terkendali.

Alif keluar mobil dengan cepat menyusul Zahra. Ia memiliki firasat jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada Zahra saat ini.

"Ayah!!"

Perasaan Zahra mengharu biru. Seketika semua rindu yang ia redam menguap melihat sosok pahlawannya. Ia peluk lelaki paruh baya itu dengan erat seolah tak mau sesuatu memisahkan mereka. Air mata kebahagiaan Zahra mengalir dengan derasnya. Tak peduli tatapan orang-orang atau reaksi lelaki paruh baya yang dipeluknya.

Jantung Alif dipompa semakin cepat ketika melihat sang istri memeluk seorang lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah itu. Firasatnya semakin kuat.

"Kamu apa-apaan sih?!"

Deg!

Jantung Zahra langsung terasa sesak. Serasa ada bongkahan batu besar yang meindih dadanya, sakit. Sakit sekali rasanya saat ayah yang dirindukannya malah memberikan reaksi tak terduga seperti ini. Ayahnya sendiri mendorong tubuhnya agar melepaskan pelukannya. Jika saja Alif tak sigap menangkap Zahra, mungkin Zahra sudah terduduk di lantai.

"Ayah.." air mata haru pun berubah menjadi air mata kehancuran hati. Lirih. Begitu lirih dan bergetar suara yang Zahra keluarkan. Hatinya hancur saat mendapatkan reaksi seperti ini dari ayahnya yang dulu selalu menjadi hero baginya.

Perasaab Alif langsung mencelos ketika melihat perlakuan ayah mertuanya pada istrinya, Zahra. Seketika emosi tersulut ketika dirinya melihat air mata yang Zahra teteskan. Entah mengapa hati Alif hancur saat melihat Zahra menangis seperti ini. Setidaknya sekarang tidak terlalu miris. Beberapa waktu ke belakang, Zahra menangis seperti ini dan itu karenanya. Lebih miris bukan?

"Jangan pernah kamu memanggil saya 'ayah'! Ingat Zahra! Saya bukanlah ayah kamu lagi"

Deg!

Hati Zahra seketika terasa di tancap ribuan anak panah, sakit sekali. Ayahnya seakan tak menginginkan Zahra lagi. Anak mana yang tak hancur saat ayahnya sendiri bersikap demikian? Pastilah sakit nan hancur.

Zahra melangkah kecil mendekati sang ayah, berharap hati Dito akan mencair dengan air mata beningnya.

"Ayah... Za rindu.."

Hati Alif tersayat ketika mendengar Zahra begitu lirih dengan suara bergetar mengutarakan kerinduannya pada sang ayah.

"Dengar! Jangan pernah panggil saya 'ayah'! Sudah saya tegaskan saya bukan ayah kamu dan kamu bukan anak saya!"

Hati Zahra terasa begitu remuk. Semua kepingan hati melayang terbawa angin kekecewaan. Entah kemana angin itu akan membawanya.

"Pak Alif, saya putuskan kerja sama kita. Kita bukan lagi rekan bisnis!" Alif tersenyum miring menanggapi perkataan Dito. Tak peduli dirinya dengan uang, tapi apakah Dito tak tersentil hatinya dengan air mata Zahra?

"Silahkan jika itu memang kehendak bapak. Saya tinggal tanda tangan pemutusan kerja sama" sinis Alif.

"Baiklah, sekretaris saya akan menguruskan suratnya. Permisi" Dito berjalan meninggalkan Zahra yang menangis mengharapkan dirinya kembali seperti dulu.

"Ayah" Zahra memegang pergelangan tangan Dito dengan erat meminta agar Dito yang dulu kembali.

Deg!

Hati Zahra semakin terasa pilu saat sang ayah menepis tangannya dengan kasar. Dito tak pernah seperti itu dulu saat masih ada Laras. Apa semarah itukah Dito pada dirinya karena insiden itu? Mengapa Dito mudah mempercayai Silvi tanpa mendengar penjelasannya?

Hati Alif meradang melihat perlakuan Dito yang menurutnya terlalu lancang. Bagaimana pun Zahra adalah istrinya. Dengan langkah panjangnya, Alif menghampiri Dito untuk memperingatkan Dito atas perlakuan buruknya pada Zahra. Tapi, sebuah tangan menghalangi. Tangan itu memegang pergelangan tangan Alif dengan erat, mengisyaratkan tak lerlu diperpanjang lagi.

Zahra tersenyum getir ke arah Alif. Bagaimana pun Zahra tak bisa menyembunyikan senyum penuh luka itu. Zahra melangkahkan kakinya meninggalkan Alif yang mematung melihat mobil Dito yang telah berlalu pergi. Percuma jika sang ayah telah berspekulasi seperti itu tentangnya. Zahra tak bisa mengubah dugaan ayahnya yang salah.

Di depan lobby, ada beberapa orang berlalu lalang. Mereka sempat-sempatnya memperhatikan drama gratis yang barusan terjadi. Mereka kembali melanjutkan aktivitas mereka yang terjeda. Beberapa orang diantara mereka tak asing dengan wajah Zahra karena beberapa bulan lalu Zahra sempat menyambangi kantor mereka. Itu pun lebih dari setengah tahun yang lalu.

Hancur. Perasaan Alif kini hancur dan ditambah hancur dengan masa lalu. Hati Alif terasa remuk ketika melihat sang istri diperlakukan seperti itu oleh ayah sendiri, tapi inilah yang menjadi tamparan keras baginya. Harusnya Alif bisa sadar jika beban hidup Zahra sudah sangatlah berat. Mengapa ia memberi beban yang lebih berat dengan tak bersikap adil? Ini adalah sentilan yang begitu menyadarkan Alif.

Alif memasuki mobilnya lalu melajukannya menuju kampus Zahra. Di sepanjang jalan, Zahra hanya terdiam, hanya membisu, tanpa suara. Alif tau betul jika ini semua bukan hal yang mudah dicerna hati Zahra.

Apakah aku seburuk itu di mata ayah?

Pertanyaan itu bagaikan kaset yang terus berputar mengelilingi kepala Zahra. Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Hatinya terasa sesak saat mencoba mencari jawabannya. Percuma. Hati ayahnya terlalu beku untuk Zahra cairkan. Fitnah itu begitu membekas pada hati ayahnya. Ah, apakah Zahra masih bisa menyebut itu semua dengan fitnah sedangkan dirinya memang terlibat salah? Zahra rasa itu adalah salahnya sendiri.

Zahra rindu Dito yang dulu sering membawakannya mawar putih walau itu hanya setangkai, tapi bagi Zahra kini itu semua berarti. Dulu dirinya sering mengeluh lebih baik tidak diberi satu tangkai bunga mawar putih pun daripada hanya diberi satu. Nayatanya, dirinya menginginkan bunga mawar putih itu walau hanya setangkai sekarang. Zahra rindu.

🌼

Assalamu'alaikum

Pasti aku mau nanya gimana feelnya di chap 64 ini? Feelnya dapet ndak? Ya Allah, kayaknya ini mah tembus ampe 100 chap😰😩. Gimana dong? Sanggup gak?

Jazakumullah khairan katsiiran💕

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top