Chapter 61🌼
بسم الله الر حمن الر حيم
🌼
LELAKI berperawakan jangkung itu keluar mobil dengan tergesa. Kaki panjangnya dilangkahkan memasuki sebuah rumah bercat putih gading.
"Assalamu'alaikum"
Lelaki itu masuk ke rumah besarnha tersebut. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju sebuah kamar di lantai 2, tapi langkahnya terpaksa terhenti karena sebuah suara.
"Tuan Alif, Non Zahranya udah berangkat kuliah."
Alif memutar arah ke meja makan. Disana Neneng sedang berdiri. Pasti majikannya akan tanya-tanya soal Zahra.
"Dari tadi berangkatnya bi?" tanya Alif agak putus asa. Ia juga kesal dengan jalanan yang macet sepagi ini dan menghambat dirinya.
"Udah 45 menit lalu, tuan." Alif mengusap wajahnya frustasi. Ia gagal bertemu Zahra. Ia sudah sangat merindukan sosok wanita itu dalam hidupnya.
Alif terduduk di meja makan dengan pikiran kalut. Ia marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia sebodoh ini telah membuat berkali-kali Zahra jatuh dalam kekecewaan?
"Tuan mau kopi?" tawar Neneng yabg dibalas gelengan Alif. "Ya udah, saya pamit ke belakang ya tuan" Alif mengangguk.
Menyesal. Satu kata itu yang mewakili perasaannya saat ini. Perasaan yang datang saat semuanya telah terlambat. Alif tak tau harus berbuat apa sekarang. Zahra kecewa? Sudah pasti.
Mata Alif tertarik pada sebuah benda kecil di bawah meja makan. Alif meraih benda itu yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah flashdisk berwarna marun.
"Zahra?" Alif membaca sebuah nama di gantungan flashdisk itu. Matanya membulat ketika sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana jika Zahra membutuhkan ini sekarang?
🌼
Zahra menutup pintu loker merah di depannya lalu menguncinya. Ia memasukan buket bunga dari Amar. Tidak mungkin rasanya jika ia membawa buket bunga itu ke kelas.
Zahra berjalan menuju kelas yang sebentar lagi akan dimulai. Ia khawatir pada Nani yang belum kembali dari tempat fotocopy. Semoga Nani dan Feni tepat waktu.
Zahra mengecek isi tasnya sambil berjalan. Jangan sampai ada yang tertinggal di rumah. Bisa gawat jika tertinggal. Tak ada waktu lagi untuk mengambilnya ke rumah.
Deg!
Zahra terhenyak ketika sebuah benda penting tak ditemukan di tasnya. Ia acak-acak isi tasnya untuk mencari benda kecil itu, tapi nihil. Tak ada.
Zahra menutup resleting tasnya dan dengan cepat ia akan segera kembali ke rumah untuk mengambilnya. Semoga deadline diundur.
Deg!
Zahra kembali terhenyak ketika melihat sosok Nurman berjalan ke arah kelasnya. Itu tandanya deadline tidak diundur. Matilah dia. Tugasnya ada di flashdisk marun miliknya.
Pikiran Zahra kalut. Ia sudah bingung harus bagaimana. Tak ada waktu untuk kembali ke rumah dan membawa flashdisk itu. Perasaan dia telah memasukannya ke dalam tas tadi.
Dengan langkah terpaksa, Zahra berjalan memasuki kelas. Ia sudah siap diberikan tugas setinggi Gunung Jayawijaya dari Nurman. Zahra berharap ada malaikat yang akan menolongnya. Siapapun dia.
Zahra duduk di sebuah kursi di belakang. Ia sudah sangat bingung harus bagaimana. Zahra merutuki kecerobohannya. Bagaimana bisa benda sepenting flashdisk bisa tidak terbawa?
Zahra sedikit bernapas lega saat Nani datang bersama Feni ke kelas. Setidaknya mereka berdua tidak telat masuk kelas.
"Pagi, semuanya" sapa Nurman dengan nada khasnya. Tegas.
"Pagi, pak" sahut para mahasiswa.
Ya Allah, jantung Zahra rasanya mati rasa saat ini. Matilah dia saat akan presentasi di depan kelas.
Zahra sungguh tak fokus dengan yang diucapkan Nurman di depan. Fokusnya kini hanya pada flashdisk. Presentasi di dalamnya sudah Zahra kerjakan dengan susah payah.
Zahra seakan tak peduli dengan yang di sekitarnya. Ia sudah sangat takut dengan tak terbawanya flashdisk.
Teman Zahra satu per atu presentasi di depan kelas. Bagaimaa ini? Matilah Zahra? Maukah Allah menolongnya? Semoga saja Allah menolongnya saat ini.
"Untuk selanjutnya, Zahra Maisya Limah"
Deg!
Ah, ya Allah. Inilah kehancuran bagi Zahra. Ia siap-siap kena omelan dosennya itu plus tugas menumpuk. Zahra harus siap. Bagaimana pun harus. Ia tak boleh lari. Ia harus jujur pada Nurman soal ini. Soal omelan, urusan nanti.
"Pak, ma-"
"Maaf pak. Saya izin ke toilet" Nani berdiri sambil memotong perkataan Zahra. Itu menambah ketegangan bagi Zahra. Jantungnya serasa dipompa. Ya Allah, tolong bantulah Zahra.
"Ya sudah, silahkan"
Nani langsung ngacir ke kamar mandi sedangkan Zahra sudah sangat mati rasa saat ini. Dada Zahra sudah naik turun. Ia sudah pasrah saja.
"Maaf, pak. Maaf say-"
"Assalamu'alaikum"
Semua pasang mata terarah pada pintu kelas yang menampilkan seorang lelaki berperawakan profosional dengan pakaian casual tengah berdiri dengan napas memburu.
"Wa'alaikumussalam"
Zahra menghembuskan napasnya lega saat melihat sosok Alif di pintu itu. Ada sebuah kerinduan yang menguap saat melihat sosok Alif. Ada sebuah kerinduan yang terpendam kini telah meluap. Zahra tersenyum bahagia melihat sosok Alif disana. Darahnya berdesir hangat. Ya Allah, Zahra sangat bahagia.
Saat ini, memori beberapa bulan lalu terputar di otak Zahra. Kenangan beberapa bulan lalu yang mengesankan bagi Zahra. Kenangan yang selalu membekas di ingatannya. Kenangan yang tak akan ia lupakan.
"Pak Alif? Ada apa?" Nurman berjalan ke arah Alif yang tengah berdiri di ambang pintu kelas.
Mata kaum hawa tak terlepas dari Alif. Bagaimana tidak? Sosok Alif yang begitu mempesona seakan ingin mereka miliki selamanya.
Zahra menunduk tidak berani menatap Alif. Ia sembunyikan kebahagian yang hadir setelah adanya Alif.
"Ahm, permisi, Pak Nurman. Saya mau mengantarkan sesuatu untuk Zahra"
Semua pasang mata beralih pada sosok Zahra yang kini mengangkat kepalanya karena kaget namanya disebut.
"Sesuatu? Sesuatu apa, pak?" Nurman tak akan pernah lupa kejadian beberapa bulan yang lalu. Bagaimana bisa ia lupakan? Kejadian itu membuatnya malu.
Alif mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku celananya. Zahra terhenyak ketika Alif tengah memegang sebuah benda yang membuat jantung Zahra copot.
"Zahra, ambilah" dengan langkah ragu Zahra berjalan mendekati Alif seperti instruksi dari Nurman.
Zahra melirik sekilas ke arah Alif. Mata mereka bersirobok seperkian detik hingga Zahra putuskan untuk menundukan kepalanya lalu meraih flashdisknya dengan tangan sedikit gemetar.
"M-makasih, kak"
Deg.. deg.. deg..
Ingin rasanya Alif tertawa bahagia sambil loncat-loncat ketika mendengar suara lembut Zahra. Dirinya gemas saat Zahra memanggilnya dengan sebutan 'kakak'. Sebutan yang digunakan gadis itu beberapa bulan lalu. Rasanya jiwa Alif bergetar saat mendengar kembali sebutan itu. Ah, rindunya.
Entah bagaimana bisa saat bertemu Zahra, Alif bisa sebahagia ini. Ia sudah sangat-sangat bahagia. Sungguh, rindunya yang dipendam sudah meluap ke permukaan. Tidak berjumpa dengan Zahra 1 minggu saja sudah membuat Alif rindu, bagaimana jika Zahra dipisahkan beberapa waktu yang sangat lama. Alif tak bisa bayangkan.
Dengan mati-matian Zahra menumpu tubuhnya. Ingin sekali Zahra luruh di lantai saat ini. Antara bahagia, lega, dan malu-malu, semuanaa campur aduk pada diri Zahra.
Zahra memutar tubuhnya untuk kembali duduk di bangkunya. Di tatapnya Alif sekilas setelah dirinya duduk. Alif tersenyum manis ke arahnya membuat jantung Zahra ingin lompat keluar. Masya Allah, perasaan indah apa ini?
"Kenapa Pak Alif bisa mengenal Zahra?" Nurman sedikit kepo.
Zahra menatap ke arah Alif dengan mata membulat. Alif malah tersenyum jahil membuat Zahra semakin takut jika Alif membeberkan status mereka. Mengapa sekarang jadi Zahra yang takut? Padahal sebelumnya Alif yang tak mau membeberkan status mereka. Ah, Zahra takut jika mereka akan mencaci Azira karena jadi istri kedua.
"Mm, dia adalah sepupu dari teman saya. Kebetulan saya ke rumah sepupunya barusan dan meminta saya mengantarkan flashdisk pada Zahra"
🌼
Assalamu'alaikum
Gimana chap ini? Yang mau join, masih bisa kok. Disana rame banget sama member-membernya.
Aku akan update kalo followers udah nyampe angka 500.
Tania Ridabani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top