Chapter 56🌼

بسم الله الر حمن الر حيم

🌼

     1 minggu terasa singkat. Monoton. Ujian seakan membuat hubungan Zahra dan Alif monoton. Hati Zahra yang dulu mungkin tak akan pernah kembali, tapi cinta untuk suaminya masih menetap di sisa-sisa kepingan hatinya. Hubungan yang sempat membaik, kembali terguncang dan menjadi datar.

1 minggu sudah Zahra laui di istana barunya. Terasa sepi. Ia terbiasa hidup dengan adanya Iryo yang menyambut di gerbang dengan senyum ramahnya, Ulo yang tak pernah jemu untuk mengobrol, serta Alif dan Azira yang seakan tak pernah ia lalui hari tanpa mereka.

"Iya, bun."

[...]

"Za disini kan sama Bi Neneng. Bunda Yati gak usah khawatir, ya."

[...]

"Iya, Za ngerti kok kekhawatiran bunda. Bunda di London baik-baik ya. Jangan sampai bunda sakit lho"

Zahra terkekeh pelan saat Aryati bicara panjang lebar di telpon. Aryati tak pernah berubah. Jiwa keibuannya selalu tercurahkan untuk Zahra.

"Hehe, udah dulu ya, bun. Za mau cuci muka dulu. In syaa Allah, besok Za telpon lagi"

[...]

"Iya, iya. Za pamit dulu ya. Assalamu'alaikum"

[...]

Zahra memutuskan sambungan telponnya dengan Aryati. Ia selalu merasa lebih lega kala mengobrol dengan wanita itu. Zahra yang sering merasa rindu pada Laras pun sering terobati dengan adanya Aryati. Aryatilah yang membuat Zahra mampu bertahan dan tidak goyah dengan ujian.

Zahra berjalan menuju kamar mandi lalu mencuci mukanya agar lebih segar. Aktivitas hari ini cukup membuat tubuhnya lelah. Kegiatan kuliah adalah kegiatan utamanya.

Benar saja. Setelah Zahra membasuh wajahnya dengan air, ia merasa lebih segar. Zahra mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil lalu tangannya meraih ponsel yang semula diletakan diatas nakas. Ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk.

Zahra menatap sejenak layar ponselnya yang dihiasi nama 'Suamiku💕'. Zahra sebenarnya bimbang untuk menjawab atau tidak panggilan Alif. Hatinya masih kacau, tapi apakah benar jika ia menolak panggilan Alif?

"Assalamu'alaikum, Mas. Ada apa?" akhinya Zahra mengangkatnya.

[Wa'alaikumussalam. Za, malam ini saya di rumah kita, ya. Sebentar lagi saya pulang. Kamu jangan makan malam tanpa saya]

"Ya udah, Za tunggu Mas Alif pulang"

[Harus ditunggu. Saya secepatnya pulang. Wassalamu'alaikum]

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati, mas"

Panggilan terputus, tapi tak elak membuat Zahra tersenyum. Alif. Lelaki sedikit berbeda sikap beberapa hari ini. Hanya saja yang berbeda adalah Zahra. Ia tak lagi seperti dulu yang begitu berharap mendapat cinta Alif. Zahra kini sadar akan satu hal mengapa ia selalu menangis.

Berharap pada manusia. Rasanya sakit saat harapan itu tak terpenuhi. Harusnya nalar mengerti jika manusia tidak akan bisa memenuhi semua ekspektasi manusia lain. Harusnya mengerti. Harusnya sejak awal Zahra iringi hubungan ini dengan keikhlasan bukannya dengan ego. Harusnya Zahra tidak boleh merasa bahwa ia yang paling tersakiti.

Zahra kini hanya mampu menyembunyikan senyumnya. Zahra kini hanya bisa khawatir pada Alif secara diam-diam. Ia terlalu takut untuk kembali berharap pada Alif. Ia takut jika ia kembali jatuh pada harapan semu manusia. Zahra terlalu takut jika nanti keikhlasan yang baru ia bangun hancur lebur begitu saja hanya karena berharap pada manusia.

Kini Zahra sadar diri untuk tidak terlalu mengharap cinta Alif walau jauh, jauh sekali di dasar hatinya Zahra masih berharap Alif bisa mencintainya karena Allah. Hanya saja, Zahra lebih berusaha ikhlas menjalani ini semua. Ia yakin Allah membantunya. Ia yakin dirinya tak sendiri. Ia yakin Allah tak ingin membuatnya terjebak dalam keegoisan dan berharap pada manusia.

Mungkin jika orang lain mengetahui kisah Zahra dan cintanya pada Alif, mereka akan menganggap Zahra bucin dan mau-maunya berjuang sendiri. Entahlah. Hati tak bisa dikendalikan ke arah mana mereka akan berlabuh. Ada yang lebih berkuasa untuk mengatur hati.

🌼

Alif membelah jalanan ibu kota yang nampak lebih lengang dari siang hari. Ibu kota di malam hari lebih sedikit pengendara jika dibanding jam-jam masuk kerja dan pulang kerja.

Alif sudah bilang pada Zahra jika ia akan ke rumah mereka malam ini. Alif telah memutuskan jika jadwal untuk rumah akan sesuai jadwal tidur yang disusun beberapa waktu lalu. Sisa satu hari untuk Zahra tidur di rumah Azira atau Azira tidur di rumah Zahra.

Zahra. Pemilik nama itu kini menghiasi benak Alif. Bagaimana tidak? Keikhlasan gadis itu patut Alif puji. Alif mulai luluh dengan keikhlasan istri pertamanya. Entahlah. Alif tetap merasa jika ia sangat-sangat membutuhkan Zahra, tapi ia belum mengakui jika ia mulai mencintai Zahra.

Ponsel Alif berdering tanda ada panggilan masuk. Segeralah Alif tepikan mobilnya lalu mengangkat panggilan.

"Assalamu'alaikum, Mbok Tati. Ada apa?" Alif bertanya-tanya kala ART barunya menelpon yang tak lain juga adalah kakak dari Iryo.

[Den, itu, anu, mm]

Alif mengernyit bingung ketika Tati sepertinya ingin memberi tau sesuatu, tapi nampaknya ragu.

"Ada apa, mbok?"

[Non Zira muntah-muntah. Gak mau makan juga katanya sebelum Den Alif bawain sate meranggi]

Alif mengucapkan istigfar dengan lirih sambil menepuk jidatnya pelan. Ia lupa jika tadi pagi Azira meminta Alif membawakan sate meranggi saat pulang kerja. Alif sungguh lupa.

"Iya, mbok. Saya segera pulang"

Alif langsung ke resto sate meranggi untuk membeli pesanan Azira. Sungguh merepotkan memang saat Azira ngidam seperti ini, tapi itulah masa-masa indah saat masa kehamilan istri.

Alif segera menginjak gas mobil menuju kediamannya dan Azira. Ia harus cepat sebelum Zahra menunggu terlalu lama. Ia yakin Zahra pasti sudah lapar.

Alif memarkirkan mobil di pekarangan rumah kala ia masuk ke area rumah megahnya. Ia segera menyambar 20 tusuk sate meranggi di kresek lalu ia bawa ke dalam rumah.

"Mbok, mana Zira?" tanya Alif ketika melihat Tati membawa minyak kayu putih di tangannya.

"Ada di kamarnya, den. Non Zira nolak pakai minyak kayu putih buat ngurangin mualnya. Katanya makin mual kalo pakai minyak kayu putih" jelas Tati yang diangguki Alif.

"Nggak papa, mbok. Mbok istirahat aja, ya. Saya mau temui dulu Azira"

"Nggih, deh. Kalo butuh apa-apa, Den Alif bisa panggik mbok di dapur, ya" Alif mengangguk lalu melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamarnya dan Azira.

"Zira? Ini sate pesanan kam—"

Alif langsung menaruh sate itu di atas nakas kala mendengar suara Azira yang muntah-muntah di kamar mandi. Alif langsung berlari ke arah kamar mandi.

"Zira, kamu kenapa?" Alif nampaknya begitu cemas walau ini bukan kali pertama Azira muntah-muntah, tapi tetap saja rasanya ia cemas.

Azira yang tengah memuntahkan makanan yang sebelumnya ia makan sedikit, tidak merespon Alif. Tubuhnya terasa lemas. Peluh mengguyuri tubuhnya. Bibirnya mulai pucat. Ia belum makan apa-apa sejak makan siang tadi. Seharian ini ia baru sarapan saja. Itupun denga. sepotong roti. Entahlah, rasanya Azira tidak mau makan. Sarapan pun ia makan karena Alif yang memaksa.

Azira membasuh wajahnya ketika ia rasa ia telah berhenti muntah. Azira tersenyum tipis ke arah Alif.

Kini Alif dibuat khawatir dengan wajah Azira yang nampak pucat. Pasti Azira belum makan lagi. Alif memapah Azira keluar kamar mandi. Nampaknya Azira begitu lemas. Terlihat dari wajahnya yang pucat.

"Kamu pasti belun makan lagi kan? Kamu ini kenapa sih Zira keras kepala? Harusnya kamu makan untuk kesehatan kamu dan anak kita. Sekarang kamu pasti lemes kan?"

Azira malah terkekeh mendengar omelan suaminya. Kini Alif lebih protective. Bagi Azira itu wajar karena ini adalah anak pertama mereka. Alif pasti tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada Azira dan calon anak mereka.

"Malah ketawa lagi" Alif rasa tak ada yang lucu disini. Alif sungguh khawatir, tapi Azira nampaknya santai-santai saja.

"Udah ah jangab ketawa terus" Alif jadi aneh sendiri karena Azira malah tertawa kecil. "Mas udah bawain sate merangginya. Ayo makan"

Kening Alif berkerut ketika Azira merespon dengan gelengannya.

"Lho, kenapa?" Alif jadi heran. Tadi pagi Azira terus merengek layaknya anak kecil karena ia ingin sate meranggi. Sekarang?

"Nggak ah, Zira nggak mau makan" Alif menghembuskan napasnya berat. Semenjak Azira hamil, memang seperti ini keadaannya. Jika Azira menginginkan sesuatu, setelah ada Azira tidak lagi menginginkannya. Pernah beberapa hari lalu saat setelah shalat tahajud jam 03:00, Azira menginginkan nasi goreng dadakan yang dibeli. Tapi, setelah Alif berjuang mencarinya, Azira malah sudah makan nasi goreng buatan Mbok Tati.

"Sayang lho, Zir. Ayo makan" Alif membujuk Azira dan bisa ditebak jawabannya apa.

"Nggak. Zira pengin diceritain kisah perang Badar sama Mas Alif"

Alif tertegun. Bagaimana bisa ia memberi Azira waktu sebanyak itu sedangkan ia sudah sangat telah untuk menepati jadwal makan malamnya bersama Zahra? Ini masalah besar.

"Zira, maafin Mas, ya. Mas ad—"

"Udah-udah. Ayo ceritain gimana terjadinya perang Badar" Azira menarik lembut tangan Alif ke atas ranjang agar mereka bisa duduk disana.

"Zira, Mas harus—"

"Harus apa?" nada bicara Azira berubah menjadi mode nyaris ngambek.

Alif diam saja. Ia rasa Azira akan mengerti alasannya walau dirinya diam saja.

"Ini juga buka kemauannya Zira kok. Debaynya aja yang pengen dengerin suara Abinya" Azira cemberut sambil mengelus-elus perutnya yang masih datar.

"Ya udah, setelah itu Mas harus ke rumah Za" wajah Azira berubah sumringah lalu ia mengangguk antusias.

Di sebrang sana. Ada seorang gadis yang hampir menginjak usia 22 tahun tengah menatap masakannya yang mulai mendingin. Menyedihkan sekali dirinya yang terus saja masuk dalam lubang yang sama. Ia tersenyum getir. Hampir 1 jam dirinya menunggu seseorang. Seseorang yang terus menjatuhkan dirinya pada pengharapan semu.

Setitik air mata menembus mata indahnya yang telah lelah menangis. Mengapa ia harus berharap setinggi Sidratul Muntaha padahal dirinya tau setelah itu ia akan dijatuhkan ke dalam perut bumi terdalam?

Zahra merasakan dadanya sesak. Ia tak bisa keluar dari permainan takdir. Ia tak pernah bisa berdamai dengan takdir dan akhirnya air mata sebagai bukti luka yang tak pernah kering.

Zahra terisak pelan di meja makan. Dirinya sendiri. Hanya Allah yang menyaksikan betapa rapuh dan hancurnya dirinya. Harusnya Zahra tak perlu berharap sedemikian rupa jika ia sudah tau hasilnya.

Mungkin makan malam terdengar biasa, tapi yang tak biasa bagi Zahra adalah saat Alif memintanya menunggu Alif. Zahra terus jatuh dalam cintanya pada Alif. Lelaki yang ia anggap sebagai orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengeluarkan dirinya dari air mata. Nyatanya tak seindah yang dibayangkan.

Menikah, saling mencintai karena Allah, punya anak, memerankan tugas sebagai orang tua, tetap harmonis, menikmati hari tua bersama sampai ajal menjemput. Setidaknya itulah yang Zahra catat dalam pikirannya jika ia menikah. Nyatanya semua tak semudah itu.

Zahra, kini ia terjun dalam jurang kefanaannya berharap pada manusia dan kini tengah mendaki dinding-dinding jurang agar bisa keluar walau dengan perjuangan yang keras. Setelah berjuang dengan sekuat tenaga, akhirnya gadis itu kembali terjun pada jurang itu. Berulang kali hingga hatinya sendiri letih berharap pada manusia.

🌼

Assalamu'alaikum

Makin pelik aja nih kisahnya Zahra😴. Siapa yang masih suka, tetep stay, ya. Bertahanlan jika kalian masih ingin bertahan. Sebentar lagi aja. Akan fast update kalo vote tembus 70 dan coment tembus 50 coment, oke? Kalo gak tembus, aku update sepengennya aja deh, hehe.

Sengaja chap ini panjang kayak gini buat mengobati kerinduan kalian sama Zahra. Chap khusus buat Kak Ditadela❤. Readers pertama yang chat aku di whatsapp dan terus minta cepetan update. Aku terharu banget. Dia yang support aku buat nulis terus cerita ini. Dia supporter buat aku❤🌌. Buat Kak Didel, syukron udah support aku.

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top