Chapter 54🌼
🌼بسم الله الر حمن الر حيم🌼
Happy Reading🌼
Vote»Read»Coment»Share
🌼
HARI ini terasa seperti hari-hari sebelumnya. Hari yang terasa menyedihkan bagi Zahra. Bantinnya tertekan. Apakah ia harus stay or go away?
Zahra bersimpuh di atas sajadah sambil mengangkat tangannya ke atas. Ia ceritakan segaka kegundahan hatinya. Apakah ia harus mengalah? Apakah ia harus mulai mengikhlaskan dan berdamai dengan takdir? Merasa egois selalu menghujam hatinya pilu.
Zahra menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia harus kuat. Ia tidak boleh membuat setan tertawa melihat perpisahannya dengan Alif hanya karena rasa sepihak. Tapi apakah memang benar Zahra egois dengan mempertahankan pernikahan ini? Apakah di hati Alif masih belum tumbuh cinta untuknya karena Allah? Ah, pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan membuat kepaaa Zahra terasa pening. Pertanyaan lama pun belum terjawab olehnya. Ah, semua terasa makin pelik dengan permainan perasaan ini.
Zahra membereskan perangkat shalatnya setelah melaksanakan shalat Ashar yang diakhiri doa dengan pelengkap air mata. Zahra mesti menambah kecintaannya pada Allah dan menggantungkan segala harap pada Allah.
Terbesit di otak Zahra untuk mengajak Azira jalan-jalan sore hari ini yang cukup cerah. Sangat pas untuk jalan-jalan. Zahra ingin mencairkan suasaaa canggung yang sering terjadi diantara dirinya dan Azira.
Zahra menapaki anak tangga menuju kamar Azira. Ia yakin perempuan itu ada disana.
Zahra menghentikan langkahnya sejenak. Ia melihat Alif berjalan cepat menuju kamar Azira dengan wajah yang tampak cemas. Ada apa?
Zahra berlari kecil menuju kamar Azira. Alif telah memasuki kamar Azira dan tak menyadari Zahra juga akan menyusul dirinya masuk kamar Azira.
Zahra menghentikan langkahnya di depan kamar Azira. Salahkah ia jika ikut masuk ke kamar Azira? Apakaj ia tidak akan mengganggu Azira dan Alif?
Zahra yang telah memegang gagang pintu kamar Azira untuk membuaka lebih lebar pintu itu pun hanya membeku di tempatnya.
"Ada apa, Zira? Ada apa meminta Mas untuk pulang secepatnya?" Alif tampak cemas, tapi tidak dengan perempuan di depannya yang tampak sumringah.
"Mas Alif akan segera menjadi seorang ayah"
Deg!
Kening Zahra berkerut. Hatinya terasa ditusuk beribu sembilu yang menyebabkan kesesakan. Ada sesuatu yang keras menghantam dadanya keras. Air mata menembus begitu saja, refleks. Dosakah ia menangis diatas kebahagiaan orang lain? Tepatnya kebahagiaan suami dan madunya.
Tangan Zahra hanya tergantung di gagang pintu. Pintu yang hanya menyisakan sedikit celah.
Wajah cemas Alif mendadak berubah menjadi raut kebahagiaan. Ia sangat bahagia.
"Kamu hamil, Zira?" anggukan Azira begitu membuat Alif meloncat-loncat bahagia layaknya anak kecil yang diberi lolipop oleh ibunya. Azira turut bahagia melihat ekspresi Alif.
Zahra tersenyum getir. Inikah perasaan kecewa baru yang harus ia pendam? Bolehkah Zahra kecewa? Zahra menatap nanar ke arah pintu kamar Azira. Dibalik pintu ini ada dua orang yang tengah berbahagia. Harusnya Zahra pun berbahagia. Harusnya ia ridho dengan semua ini. Tapi, salahkah ia merasa sakit saat madunya hamil sedangkan dirinya belum tersentuh? Ah, hati Zahra terasa remuk saat ini. Mengingat hal itu... Ah, sudahlah. Ia hanya akan membuka luka lama yang susah payah diikhlaskan.
Zahra berlari cepat ke kamarnya. Ia tak mau semakin hancur denga kebahagiaan orang lain. Harusnya Zahra bisa bahagia juga atas kebahagiaan Alif dan Azira. Harusnya Zahra ikhlas atas takdirnya. Harusnya Zahra bisa mengerti jika Alif ingin melakukan hal itu padanya saat Alif mencintainya dengan tulus. Harusnya.. harusnya.. ah sudahlah. Zahra terus saja mengorek-ngorek luka lama.
Pantas saja Azira ingin segera keluar rumah. Rupanya ingin ke dokter untuk memastikan.
Alif dan Azira berpelukan. Mereka sebentar lagi akan menjadi ayah dan ibu.
"Ah, paggilannya nanti adalah Abi-Umi, ya." ucap Alif antusias. Azira hanya terkekeh melihat Alif yang begitu semangat.
"Terus kalo anak laki-laki namanya siapa, ya? Kalo perempuan namanya juga siapa?" Azira terkekeh dengan tingkah Alif.
"Masih kejauhan, mas" Azira terkekeh.
Deg!
Berdosakah Alif? Berdosakah ia bahagia bersama Azira karena kehamilan Azira sedangkan istri pertamanya belum pernah tersentuh? Sungguh Alif ingin melakukannya di dasari cinta bukannya keterpaksaan. Berdosakah Alif? Jelas berdosa! Zahra pun wanita yang dapay hancur hatinya. Wanita mana yang rela seperti itu? Jangan sampai Zahra seperti Asiyah istri Fir'aun yang sampai ajal menjemput masih tetap perawan. Jika Zahra tau soal ini bagaimana perasaannnya? Jelas hancur dan itu pun karenanya.
Keadaan semakin pelik. Zahra yang dulu saja masih belum datang kembali, bagaimana jika Zahra tau hal ini? Jiwa Zahra yang dulu semakin menjauh.
Azira yang melihat perubahan ekspresi Alif, keheranan. Baru saja suaminya itu berbahagia dan sangat antusias tapi begitu cepat suaminya jadi berdiri mematung seperti memikirkan sesuatu.
"Mas" tegur Azira. Alif sedikit tersentak kaget.
"Ah, iya, Zira?"
"Kok bengong?" tanya Azira meminta penjelasan.
"Ahm, nggak" elak Alif. "Mas mau hubungin bunda dulu, ya"
Azira cemberut layaknya anak kecil seperti akan menangis.
"Nggak bisa nanti gitu?" tanya Azira merajuk.
"Cuma sebentar kok" Azira berbalik membelakangi Alif sambil melipat tangan di dada dengan wajah di tekuk.
"Ya udah sana tinggalin aja Zira" Alif tersenyum kecil. Istrinya merajuk mungkin karena bawaan bayi.
"Bentar ya. Nanti mas kesini lagi kok buat temenin anak kita" jeda beberapa detik. "dan uminya"
Alif mencubit gemas Azira. Azira hanya ingin ditemani suaminya, apa itu sulit dilakukan?
Alif berjalan ke arah kamar Zahra. Semoga Zahra sudah pulang kuliah.
Di sebuah kamar bernuansa ungu putih itu terduduk seorang perempuan berusia 21 tahun. Ia terduduk di lantai dengan kepala ditenggelamkan ke tangannya diatas kasur.
Hatinha hancur, pilu. Ia tak bisa apa-apa lagi selain menangis dalam diam. Ia tidak mau ada yang tau jika dirinya menangis atas kebahagiaan orang lain. Manusia macam apa dirinya yang menangis pilu diatas kebahagiaan orang lain? Ralat. Bukan orang lain, tapi suami dan madunya.
Luka kepergian bu'denya saja masih belum kering betul, kini muncul samurai yang menancap ulu hatinya yang menciptakan luka baru. Apa yang harus ia lakukan?
Alif. Laki-laki itu begitu dicintai Zahra. Laki-laki yang terlalu nyaris sempurna baginya walau kadang memberi luka pada setiap inchi di hidupnya. Apa ia bodoh dengan terperdaya cinta pada suaminya? Jelas tidak! Ia mencintai Alif karena Allah. Zahra. Perempuan darah Yogya itu terpana saat Alif melantunkan ayat suci-Nya, saat Alif diam-diam memberikan sebagian dari uangnya pada orang yang membutuhkan, Alif yang.. Ah, entah kenapa Zahra begitu menambatkan hati pada lelaki itu walau mungkin lelaki itu belum mencintainya. Belum ataukah tidak akan pernah?
Alif yang sudah mendorong pintu kaaar Zahra tertegun. Pintu kamar Zahra dikunci. Selama menikah dengan Zahra, Alif tidak pernah mendapati kamar Zahra terkunci sedangkan pemiliknya tidak ada. Itu berarti Zahra ada di dalam. Jika saat biasa-biasa saja, kamar Zahra tidak akan terkunci, itu berarti...
Menangis
Alif sekali Zahra telah mengetahui kabar kehamilan Azira. Rasa bersalah itu semakin menguasai. Berulang kali Alif mencoba membuka pintu terkunci itu, tapi tetap saja yang dilakukannya adalah sebuah kesia-siaan.
"Za, kamu di dalam?"
Zahra langsung mengangkat kepalanya kala mendengar suara Alif memanggilnya. Dada Zahra naik turun. Alif tidak boleh melihatnya sedang sekacau ini. Zahra harus bisa menyembunyikannya.
"Za, kamu lagi apa di dalam?"
Zahra langsung berlari ke kamar mandi lalu membasuh mukanya. Zahra melihat wajahnya begitu kacau dengan mata sembab dan hidung memerah. Setelah membasuh mukanya, Zahra meraih cadar di lemarinya untuk menutupi hidung sembabnya sedangkan ia menutupi mata sembabnya dengan kacamata hitam. Ia tidak punya waktu banyak untuk menutupi mata sembabnya dengan make up.
Zahra membuka kunci pintunya lalu membuka pintu itu. Zahra dapat melihat Alif yang tengah berdiri dengan keheranan.
"Za... ini kam-mu?" Alif tampak keheranan melihat tampilan Zahra yang sedikit.. aneh? Bukan cadarnya yang aneh, tapi kacamata hitamnya. Di dalam rumah pakai kacamata hitam? Untuk apa?
"I-iya, ini Za kok" Zahra menetralkan suaranya agar Alif tidak curiga. Tetal saja Alif merasa curiga.
Alif pun memasuki kamar Zahra. Zahra menutup pintu kamarnya. Apa yang harus ia lakukan saat ini?
"Za, kenapa pake kacamata hitam?" Alif yang duduk di tepian kasur, bertanya.
Zahra harus memutar otak mencari alasan yang tepat.
"Z-za selfie, mas" cicit Zahra.
"Selfie? Sejak kapan kamu selfie sampai totalitas kayak gini? Pake cadar pula" Alif semakin memancing Zahra untuk menyerah menutup-nutupi.
"Ahm, ini, itu, Za.. Za sekalin cobain cadarnya, mas. Menurut Za lebih bagus kali ya kalo pake kacamata hitam" Zahra mengucap berkali-kali istigfar di dalam hati.
Alif berjalan mendekat ke arah Zahra. Zahra terus berdzikir semoga suaminya percaya. Ia tidak mau jika suaminya melihat dirinya sekacau ini dan sehancur ini karena kebahagiaan Alif dan Azira.
Alif menarik lembut cadar Zahra lalu membuka kacamata hitam milik Zahra. Nampaklah semua wajah Zahra setelah menangis. Zahra menunduk dalam tidak mau menatap suaminya. Ia takut Alif kecewa karena Zahra bukannya ikut bahagia malah menangis.
Alif tak bisa berkata-kata lagi. Ia jelas salah pada Zahra. Alif menarik lembut tubuh Zahra dalam dekapannya. Pecahlah tangis Zahra dalam pelukan Alif. Ia tidak sanggup menyembunyikan semaunya seorang diri lagi. Ia butuh suaminya.
"Ma-maaf" lirih Zahra begitu pilu. Hati Alif teriris ketika Zahra mengucap maaf saat dirinyalah yang salah.
"Nggak, Za. Kamu nggak salah. Saya yang salah"
Mereka berpelukan begitu erat seakan banyak kelukaan yang menguap ketika mereka berpelukan. Begitu erat dan Zahra pun tidak ingin melepasnya. Ia ingin seperti ini hingga ajal menjempit dirinya. Bolehkah angan itu terwujud?
🌼
Assalamu'alaikum
Lumayan panjang deh ya gak seribu-seribu amat. Hayo yang suka ngamuk-ngamuk manasin Zahra buat minggat siapa😂. Tenang deh ya kalian. Gimana nih reaksi kalian saat Azira hamil?
VOMENT??
Alhamdulillah, aku udah tau gimana cara ngurutin chap biar bener lagi. Makasih buat yang udah kasih ilmunya. Bener-bener bermanfaat.
Tania Ridabani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top