Chapter 53🌼

🌼بسم الله الر حمن الر حيم🌼

Selamat Membaca🌼
Vote»Read»Coment»Share

🌼

Salahkah aku? Kelirukah aku? Apa aku salah sejak awal karena menerima pinangan Mas Alif yang mungkin karena di dasari rasa iba semata? Kelirukah aku mempertahankan keegoisanku ini dan membiarkan banyak orang terdzalimi?

Zahra membatin. Apa benar ini semua kesalahannya? Jelas ini kesalahannya. Harusnya ia mundur sejak awal dan poligami ini tidak terjadi. Semua orang tidak akan merasakan luka. Kedzaliman mungkin terasa oleh banyak orang. Bolehkah ia menyebut luka semua orang sebagai kedzaliman?

Mungkinkah dengan saling memahami dan mengikhlaskan semuanya akan kembali baik-baik saja?

Bolehkah Zahra lari saat ini? Ia ingin sekali beristirahat dari masalah-masalah hidupnya terasa pelik. Baru saja ia mencicipi sedikit kemanisan hubungan yang semakin membaik bersama Alif, tapi ujian mulai menghampiri lagi. Egoiskah Zahra mempertahankan pernikahannya bersama Alif?

Pertanyaan demi pertanyaan terus tercatat di otaknya. Pertanyaan yang menuntut akan jawaban. Jawaban yang tak bisa Zahra dapat dengan jelas. Bolehkah Zahra untuk bertahan sebentar saja? Ah, lagi-lagi keegoisan menggerogoti jiwa Zahra. Jika saja Zahra tidak egois mempertahankan hubungannya dan memilih mundur, mungkin kejadian 3 hari lalu tidak akan terjadi. Kejadian dimana keluarganya begitu kecewa padanya akan ketidakjujuran dirinya dan mungkin mereka sangat kecewa.

Ah, kepala Zahra berdenyut sakit. Kepalanya terasa pening. Ujian terus menghampirinya, tapi ia yakin inilah bukti cinta Allah padanya. Bukti cinta untuk menjadikannya sebagai hamba yang lebih baik dengan ujian-ujian yang cukup menguras air mata dan perasaan.

Pagi ini terasa lebih dingin dari pagi-pagi sebelumnya. Dinginnya angin serasa menusuk hingga ke tulang-tulang Zahra. Langit nampak mendung seakan merasakan kesedihan dan kemurungan Zahra.

Zahra sengaja berdiri di tepi balkon untuk merasakan angin pagi yang ternyata terasa dingin. Sebulir cairan hangat menerobos pelupuk mata indah milik Zahra. Ia ingin menangis, tapi ia ingin berusaha untuk kuat menghadapi cobaan dari-Nya. Ini hanya segelintir dari cobaan besar yang dirasakan para nabi yang berdakwah di masanya. Hanya cobaan kecil yang Zahra hadapi. Tak ada apa-apanya dengan cobaan yang dihadapi para nabi.

Zahra menarik napas panjang. Ia harus kuat. Ia tidak boleh hanya berpura-pura kuat karena hidup dalam kepura-puraan berarti hidup dalam ketidaknyataan yang menyakitkan dan menambah daftar panjang luka hatinya.

Zahra menyambar tas kuliahnya dan tas laptopnya. Hari ini ia berangkat kuliah walau cuaca tidak mendukung untuk keluar rumah karena dingin yang semakin menusuk menembus poti-pori kulitnya.

Zahra memperlambat langkahnya kala ia semakin mendekati posisi Alif dan Azira yang ada di meja makan. Mereka telah duduk disana tanpa sarapan. Mungkin mereka menunggu Zahra.

"Pagi" sapa Zahra dengan senyum tipis. Azira dan Alif membalas dengan senyum tipis pula. Kejadian 3 hari lalu cukup membuat mereka canggung satu sama lain.

Zahra hanya meminum air putih satu gelas saja. Ia tidak nafsu makan. Lagipula ia harus segera ke kampus. Syukurnya kuliahnya tidak lagi bermasalah setelah ia tidak masuk kuliah selama 1 bulan akibat tragedi tusukannya dan kepergian Hartati. Ia telah membereskan 3 hari lalu. Soal perampok yang menusuknya, Zahra tidak mempermasalahkannya. Zahra mengikhlaskannya. Jika tidak di dunia, akan ada pembalasan di akhirat.

Zahra mengulurkan tangan untuk meraih tangan Alif. Ia ingin mencium punggung tangan suaminya sebelum berangkat ke kampus.

"Lho, Za. Kamu gak sarapan dulu? Nanti kamu sakit kalo gak sarapan dulu" ucap Azira kala melihat Zahra hendak berangkat ke kampus tanpa sarapan terlebih dahulu.

"Iya, Za. Kamu lebih baik sarapan dulu" tambah Alif. Zahra tersenyum getir. Mereka layaknya kakak dan kakak ipar yang menasehati adiknya. Sangat pas. Zahra bagaikan seorang adik yang hadir di tengah-tengah kehidupan kakak dan kakak iparnya.

"Za lagi nggak laper. Kalo nanti Za laper, Za bakal beli di kantin aja." Zahra langsung meraih tangan kanan Alif lalu menciumnya.

"Kamu berangkat naik apa, Za?" entah kenapa Alif mendadak kepo.

"Naik ojeg online." sahut Zahra.

"Saya anter, ya. Sekalian ke kantor juga" saat Alif akan beranjak dari kursinya, Zahra langsung angkat bicara.

"Nggak usah, mas. Za udah terlanjur juga pesen ojeg online." Alif kembali terduduk di kursi. Entah kenapa belakangan ini setelah kejadian 3 hari lalu, Zahra seakan memberi sedikit sekat antara dirinya dan Alif.

"Oh" hanya itu yang mampu Alif ucapkan.

Azira yang menyimak interaksi tersebut hanya termenung. Ia dapat melihat batas yang diciptakan Zahra untuk Alif.

"Za pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum" Zahra melangkahkan kakinya keluar dari rumah dengan berbalut gamis dan sweeter  berwarna marun.

Azira mengalihkan penglihatannya pada Alif. Nampaknya Alif merasa kecewa atas penolakan Zahra. Tampak jelas Zahra sedikit menghidari Alif.

Alif. Ya, lelaki itu merasa ada sekat yang Zahra sengaja bangun antara mereka berdua. Alif memakluminya. Barangkali Zahra hanya ingin sendiri saat ini. Alif harus mengerti itu.

Waktu berjalan begitu cepat tanpa disadari oleh banyak orang. Waktu tidak menunggu siapa saja yang menyia-nyiakan dirinya. Waktu terus bergulir walau banyak orang ingin waktu berhenti sekejap saja.

Sudah 1 bulan semenjak datangnya keluarga Zahra. Sekat yang Zahra ciptakan nampaknya masih terasa oleh Alif. Zahra sering termenung sendiri. Ia bahkan tidak pernah melihat Zahra dari sisi itu. Zahra yang ditemui Alif awal pernikahan mereka adalah Zahra yang periang dan begitu perhatian. Jelas tampak rasa perhatian Zahra pada Alif. Tak terhalang suatu apapun. Kini? Rasa perhatian Zahra mungkin hanya bisa dipendam.

Salahkah aku menyembunyikan pernikahan Mas Alif dan Mbak Zira demi kebaikan keluargaku?  Aku hanya takut keluarga ku benar-benar kecewa.

Buliran air dari mata bening milik Zahra menembus keluar. Zahra hanya duduk di balkon sambil memandangi langit yang nampak gelap. Matahari telah berjam-jam lalu ditelan kegelapan malam. Sudah 2 jam selepas mengerjakan shalat Isya Zahra terduduk di balkon seorang diri. Mengapa ia bisa berlarut-larut dalam pertanyaan yang menggerogoti pikirannya? Sedangkan jawaban tak ia dapatkan.

Alif memasuki kamar Zahra. Zahra tak sedikit pun menoleh ke arah pintu. Ia sibuk menatap langit malam.

Alif duduk di sebelah Zahra yang menengok ke arahnya sekilas.

"Malam, Za" Alif sedikit canggung dengan keadaan ini.

"Malam, mas" Zahra menunduk sengaja tidak ingin beradu pandang dengan Alif. Ia takut pertanyaan dan pernyataan dirinya egois semakin menguasai pikirannya.

"Mm, kenapa belum tidur?" basa-basi! Alif tidak tau lagi harus berucap apa. Ia mengigit pelan bibir dalam bagian bawahnya untuk menutupi kegugupannya.

"Belum ngantuk, mas" Zahra tersenyum tipis. Ia masih tetap menunduk. Ia tetap tidak mau menatap Alif. Semakin ia menatap wajah Alif dan mengingat Azira, semakin besar pula rasa bersalah dalam dirinya. Rasa bersalah karena egois tetap bertahan diantara anak Adam yang saling mencintai.

Hening. Beberapa saat mereka dalam keadaan hening. Satu bulan lebih beberapa hari mereka bersikap seperti ini. Canggung dan keheningan pelengkap saat mereka berdua.

"Mas, Za boleh minta sesuatu?" tanya Zahra sambil tetap menunduk. Alif langsung terfokus pada Zahra.

"Minta apa, Za?"

"Za ingin bicarakan lagi soal pisah rumah itu" ah, topik klasik ini kembali menguap ke permukaan. Sebenarnya Alif ingin melupakan topik ini.

"Udah deh, Za. Saya gak mau bicarain soal ini" Alif bimbang antara menyetujui lagi atau tidak.

"Tapi, Za tetap ingin ini terwujud. Mbak Zira pun setuju kan waktu itu. Za nggak mau semakin menyakiti hati banyak orang" lirih Zahra diakhir kalimat.

"Za, siapa yang kamu sakiti?" Alif kesal jika Zahra bersikap seperti ini. Seakan-akan semua salah Zahra.

"Kita semua. Kita semua disakiti atas keegoisan Za" jeda beberapa detik. "Za mohon, Mas Alif. Za mohon wujudkan keinginan Za."

Entahlah Alif bingung, bimbang, dilema. Entah kenapa hatinya masih ingin Zahra disini. Bersama-sama membangun rumah tangga sakinah mawadah warahmah dalam satu atap.

Apa yang harus dilakukan?

🌼

Assalamu'alaikum

Alhamdulillah walau update gak sepanjang chapter sebelumnya, tapi syukurlah atas izin Allah aku bisa update hari ini. Readers yang demen voment, yo merapat sini. Sider juga yo merapat buat belajar membahagiakan orang dengan voment. Simpel kan?

Maaf ya kalo makin kesini chapter makin gak jelas. Maaf banget atuh🙏. Yang tetap mau stay, tunggu cerita ini selesai, ya.

Untuk readers yang dapet chap nya gak urut, maafin atas ketidaknyamanan kalian saat membaca cerita ini. Sebenarnya aku gak berpengalaman dalam problem seperti ini. Jadi, yang tau solusinya mohon segera hubungi 0831-6927-7119, ya. Aku minta tolong banget sama yang mau bantuin.

Sebenernya teh mau update minggu depan aja, tapi ada kendala lagi. Aku gak tau kapan update dalam 2 minggu ke depan ini. Daripada aku gak update terus aku publish deh chap ini walau mungkin feelnya kurang dapet. Maaf, ya. Aku harus fokus latihan dan ninggalin WP selama 2 minggu😭. Aku bakal buka WP sih tapi tetep gak tau kapan update lagi.

Oh ya, satu lagi deh, ya😅. Kalo chap gak urut terus, aku akan unpub dulu beberapa waktu. In syaa Allah gak akan lama kok. Di unpub sambil direvisi juga ya kan?

Udah deh sekian. Maaf pengumumannya panjang plus lebar😅🙏.

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top