Chapter 49🌼
🌼بسم الله الر حمن الر حيم🌼
Happy Reading🌼
Vote»Read»Coment»Share
🌼
ALIF mengusap pucuk kepala Zahra. Ia sungguh berharap Zahra akan segera siuman dan Alif akan minta maaf pada Zahra atas kejadian ini. Janji.
"Mau apa kamu kesini?" Alif mengalihkan pandangannya pada pintu. Suara itu. Suara yang Alif tak pernah dengar sedingin itu. Bundanya.
"Bun, Alif kan suaminya Zahra" lirih Alif. Ia sungguh terluka saat sikap bundanya sedingin itu. Tak pernah dalam hidup Alif, Aryati bersikap sedingin itu.
Aryati berjalan ke arah Alif tanpa menutup pintu terlebih dahulu.
"Kenapa Alif? Kenapa kamu pilih kasih pada Zahra? Kenapa?" air mata Aryati luruh. Air mata seoranf ibu.
Alif spontan berdiri menghadap sang bunda.
"Apa bunda salah dalam mendidik kamu menjadi seorang suami? Iya, Alif? Apa bunda gagal menjadi seorang ibu yang bisa mendidik putranya dengan baik sebagai nahkoda di rumah tangganya? Apa benar, Alif? Apa benar?" air mata itu sungguh menyayat hati Alif. Alif tidak menyukai saat Aryati menangis. Alif selalu menginginkan Aryati tersenyum bahagia.
Aryati tidak salah dalam mendidik Alif. Justru Alif pun tidak mengerti dengan hatinya. Ia selalu bertanya kenapa hatinya tidak mencintai wanita sebaik Zahra yang jelas-jelas mencintainya dengan tulus.
"Nggak, bunda. Bunda gak salah dalam mendidik Alif, cuman Alif aja yang salah, bun. Alif gak ngerti sama hati Alif" Alif sungguh tidak suka saat bundanya menangis. Apalagi itu karena ulahnya.
"Apa yang dilakukan saat seseorang mengetahui kesalahannya, Alif?" kini tangis Aryati mereda.
"Memperbaiki kesalahannya"
"Tepat sekali. Begitu pun dengan kesalahan yang kamu buat sama Zahra. Kamu pun harus memperbaikinya. Perbaiki kesalahan yang ada dalam hubungan kalian. Jangan biarkan kesalahan itu dan menjadi penyebab dari kesalahan lainnya.
" Bunda harap kamu bisa berlaku adil kepada istri-istri kamu. Jika tidak.." Aryati menjeda perkataannya.
"Jika tidak, bunda?" Alif sudah penasaran dengan kalimat yang akan diucapkan Aryati.
"Jika tidak, lebih baik kamu berpisah dengan Zahra"
Deg!
Dada Alif terasa sesak kala mendengar kata demi kata yang bundanya ucapkan. Entah kenapa ada satu bagian di hatinya yang tak terima dengan pernyataan sang bunda.
"Alif gak akan pernah lakukan itu, bunda!" ucap Alif begitu tegas.
"Kamu gak akan lakukan? Jadi kamu lebih memilih untuk menyiksa batin Zahra dengan segala keromantisan-romantisan kamu itu, Alif? Jawab bunda!" entah apa yang harus Aryati lakukan sekarang. Ia mulai menyerah dengan semua ini.
Alif cukup tertohok dengan perkataan Aryati. Akhirnya Alif memutuskan untuk pergi dari ruang Zahra setelah mencium punggung tangan Aryati lalu mengucap salam dan pergi.
"Za, kamu lihat sikap suami mu itu? Bunda mulai menyerah mempertahankan kamu di keluarga kita"
🌼
S
etelah kejadian di ruang rawat Zahra kemarin, Alif belum ke rumah sakit lagi. Ia malah sibuk memikirkan perkataan Aryati. Ada benarnya juga perkataan bundanya. Ia akan terus menyiksa batin Zahra jika tidak segera mencintai Zahra. Bagaimana cara Alif untuk mencintai Zahra?
"Mas, ada masalah?" tanya Azira yang membuyarkan lamunan Alif. Sejak tadi Azira perhatikan Alif malah melamun dan melupakan sarapannya.
"Mm, nggak, Zira. Nggak ada masalah" Alif mengelak lalu melanjutkan sarapannya.
"Zira rasa Mas Alif ada masalah. Mas gak mau cerita sama Zira?" Azira sangat yakin jika Alif memiliki sebuah masalah yang cukup menyita perhatiannya.
"Gak ada" Alif tidak mau membebani pikiran Azira dengan hal ini. Cukup ia yang pusing memikirkan bagaimana ke depannya.
"Mas Alif, Zira mau ketemu sama Zahra, ya. Zira kangen sama Za." ucap Azira begitu tulus.
"Mm, ya udah. Kamu beresin sarapannya, abis itu kita langsung berangkat ke rumah sakit" Azira mengangguk semangat.
Sebenarnya Alif ragu untuk mengajak Azira kesana. Alif takut jika mereka akan bertemu Aryati dan masalah akan semakin runyam.
Di rumah sakit, Aryati melantunkan ayat suci dengan merdunya. Ia sengaja menginap di ruang rawat Zahra. Selepas shalat Subuh tadi, Aryati terus melantunkan ayat suci. Semoga saja tersampaikan di telinga Zahra.
Air mata menitik tak bisa berhenti dari mata Aryati. Sungguh pilu kala mengingat kejadian naas yang menimoa Zahra beberapa hari lalu.
"Za, cepet sembuh, sayang. Bunda rindu sama kamu. Kamu harus sembuh, ya" ucap Aryati sambil menatap lekat ke arah Zahra.
Aryati menaruh perangkat ibadahnya ke tempat biasa lalu kembali duduk di kursi sebelah bed Zahra.
"Sholatullah salamaullah ala thoha rasulillah sholatullah salamullah ala yaasin habibillah" Aryati melantunkan shalawat dengan merdu. Ia langsung berdiri dengan wajah tidak percaya ketika melihat mata Zahra berkedip. Ia langsung berlari memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Zahra.
Mata itu. Mata yang sudah 3 hari tertutup itu akhirnya mulai terbuka. Ia telah melewati masa-masa kritisnya. Tubuh itu masih lemah tak berdaya apalagi di perutnya ada bekas tusukan yang telah dijahit.
Zahra dapat melihat Aryati datang dari luar ruangan bersama dokter perempuan. Dokter itu memeriksa keadaan Zahra dengan beberapa cara yang Zahra sendiri tidak mengerti.
"Dokter, bagaimana keadaan Zahra?" tanya Aryati dengan rasa bahagia bercampur dengan kekhawatiran.
"Alhamdulillah, kondisi Zahra membaik dan mulai stabil. Luka di perutnya jangan sampai kenapa-napa karena masih basah juga. Tolong Bu Aryati jaga, ya" ucap dokter itu.
"Iya, dok. Terima kasih" ucap Aryati mengerti.
"Saya pamit dulu, ya. Kalo ada sesuatu, ibu bisa panggil saya di ruangan"
Aryati mengangguk lalu dokter itu pun berlalu meninggalkan Aryati dan Zahra berdua. Aryati tidak bisa mendeskripsikan betapa ia bahagia melihat mata indah Zahra kembali terbuka walau sayu dan lemah. Aryati sungguh lega tak ada sesuatu yang sangat serius dengan keadaan Zahra.
"Za, kamu udah sadar, sayang" Aryati duduk di sebelah Zahra dengan air mata menetes dari pelupuk matanya. Air mata kebahagiaan.
Zahra yang masih lemah memaksakan untuk tersenyum walau tipis.
"Al-hamdulillah, bun" sahut Zahra sambil senyum kecil masih menggantung di wajah pucatnya.
Bekas tusukan di perutnya cukup membuat Zahra tak berdaya. Tubuhnya pun masih lemah.
"Kamu butuh apa, sayang? Bunda ambilin, ya" Aryati benar-benar tak bisa membendung kebahagiaannya saat melihat Zahra sadar.
"M-mas Al-lif"
Aryati terdiam di tempatnya sambil menunduk. Ia tak tau harus menjawab apa. Aryati lebih baik membisu.
"Bun, Ma-mas Al-lif mana? Za mau ketemu" Zahra sungguh melihat wajah itu saat ini. Ia bahkan berharap saat pertama kali ia membuka mata lagi, orang pertama yang ia lihat dan suaranya ia dengar adalah Alif. Nyatanya, Zahra tidak mendapati Alif disini. Disini untuk menemaninya barang sebentar.
"Bunda ke toilet dulu" Aryati beranjak dari kursinya. Entah apa yang sedang Aryati renungi. Zahra tidak tau. Ia benar-benar tidak tau. Zahra hanya berharap Alif datang saat ini juga.
Zahra menengok ke arah nakas. Ia mendapati setangkai mawar putih yang nampaknya mulai layu. Mawar favoritnya. Mawar yang sangat ia sukai. Zahra dengan susah payah menggapai mawar itu lalu ia hirup dalam-dalam harumnya mawar tersebut. Zahra yakin saat pertama kali mawar itu ada disini harumnya sangat terasa. Zahra bertanya-tanya siapa pemberi mawar ini.
Mungkin bunda
Zahra yakin Alif menjenguknya, tapi hanya sebentar lalu pergi lagi. Menurutnya bukan Alif yang memberinya mawar putih ini. Alif tidak tau jika Zahra menyukai mawar putih.
Pintu kamar rawat Zahra yang sempat tertutup pun kini terbuka menampilkan dua anak Adam berjalan mendekat ke arah Zahra.
"Mas Alif? Mbak Zira?"
Zahra sangat bahagia mereka menjenguk dirinya. Ia merasa diperdulikan terutama oleh Alif. Ah, hatinya tak akan bisa terdefinisikan bahagianya jika saja Alif memberinya mawar putih.
"Assalamu'alaikum" salam Alif dan Azira bersamaan. Zahra tersenyum tipis dengan wajah pucatnya.
"Wa'alaikumussalam" sahut Zahra.
Deg.. deg.. deg..
Suara itu. Suara yang telah beberapa hari Alif tak mendengarnya. Suara yang Alif ingin dengar. Ah, suara itu. Mungkinkah Alif merindukannya?
"Gimana kondisi kamu sekarang?" Azira sungguh bahagia melihat Zahra bisa siuman. Ia baru bisa jenguk sekarang karena sebelumnya Alif melarang dirinya untuk menjenguk Zahra. Alif beralasan Zahra belum boleh dijenguk, tapi Azira tau alasan sebenarnya. Bunda. Itu alasannya.
"Alhamdulillah, lebih baik. Cuman bekas tusukannya aja yang masih sedikit sakit kalo banyak gerak" sahut Zahra dengan nada ceria walau wajahnya masih pucat.
"Ya udah, kamu jangan terlalu banyak gerak, ya" Zahra mengangguk sebagai balasan nasihat Azira.
Azira menoleh ke arah Alif. Nampaknya Alif ingin bicara empat mata dengan Zahra.
"Mm, Mas, Za. Zira mau permisi dulu ya ke kantin. Nanti Zira bawain makanan. Kalian bicara aja dulu berdua" nampak dari wajah Alif dan Zahra yang agak tersentak kaget. Azira ingin memberi ruang untuk Zahra bicara dengan Alif tanpa dirinya. Walau tidak sesesak dulu, tetap saja rasa sesak saat mengetahui Alif berduaan dengan Zahra masih tetap terasa. Entah kenapa begitu sulit hilang dari Azira.
"Tapi, mbak nan-"
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam" ucap Alif dan Zahra kompak membalas salam dari Azira. Baru saja Zahra akan menahan Azira pergi, tapi perempuan itu sudah pamit duluan.
Kini tinggal Alif dan Zahra di ruangan itu. Suasana sedikit canggung. Mereka bingung harus memulai obrolan dari mana. Alif saja masih berdiri padahal ada kursi kosong di sebelah bed Zahra.
Alif pun akhirnya menempati kursi kosong itu. Kakinya tidak mau berhenti menghentak-hentakan kecil di lantai saking canggung dan gugupnya.
Zahra sebenarnya penasaran dengan satu tangan Alif yang ada di belakang. Apa Alif menyembunyikan sesuatu?
"Mm, Za" Alif menelan salivanya dengan susah payah. Ia terlalu gugup.
Zahra langsung memfokuskan diri pada Alif. "Iya, Mas Alif?"
Harusnya Alif tau jika disini yang gugup dan canggung bukan hanya dia yang merasakannya, tapi Zahra juga. Zahra menelan saliva saja susah.
"Maafin saya ya" Zahra menautkan kedua alisnya sambil menatap Alif yang juga menatap dirinya.
"Untuk apa, mas?"
"Untuk semua yang terjadi sama kamu saat ini. Andai saat itu saya gak berangkat, mungkin kamu gak akan kayak gini" Zahra tersenyum mendengar permintaan maaf Alif yang terdengar begitu tulus.
"Mas, ini semua qodarullah. Mas gak perlu berandai-andai seperti ini. Za yakin dibalik ini semua pasti ada hikmah. Za gak salahin siapa pun kok." Zahra tersenyum tulus. Ia ikhlas dengan kejadian ini. Zahra merasa tidak perlu menyalahkan siapapun disini karena tak ada yang salah di matanya.
Hati Alif berdesir kala mendengar pernyataan Zahra yang tulus. Ia merasa lebih lega dari sebelumnya.
"Untuk kamu, Za" Zahra terbengong-bengong saat melihat Alif menyodorkan setangkai mawar putih yang indah. Raut wajah bahagia sudah tidak bisa Zahra sembunyikan lagi. Ia sangat bahagia.
Terima kasih, Ya Allah
Zahra meraih bunga mawar tersebut dengan perasaan bahagia. Alif tidak menyangka Zahra sebahagia itu. Ah, ternyata melihat Zahra bahagia saja sudah membuat hatinya menghangat dan ia juga ikut bahagia.
"Jazakallahu khairan, Mas Alif" ucap Zahra sumringah.
"Afwan"
Sweeti
Alif meneruskan kalimatnya di dalam hati.
🌼
Assalamu'alaikum
Puanjang ya chapter ini? Aku usahain buat bisa lebih panjang dari cahpter sebelumnya. Ah, maaf ya kalo ngebosenin😩. Apalagi kalo mirip bahkan sama dengan sinetron😞. Kalo kalian masih suka, aku siap lanjut. Kalo nggak, nggak papa kok kalian kalo mau hapus cerita ini dari library/reading list kalian.
Jazakumullah khairan katsiiran😍
Cukup update 3 chapter aja ya untuk hari ini. Chapter ini aku panjangin buat kalian🌼.
Tania Ridabani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top