Chapter 48🌼

🌼بسم الله الر حمن الر حيم🌼

Selamat Membaca🌼
Vote»Read»Coment»Share

🌼

   PIPI Alif terasa panas. Cukup perih. Selama ia hidup 26 tahun, baru kali ini Aryati menamparnya. Ini kali pertamanya ia ditampar bunda sendiri dan ternyata terasa sangat sakit. Tidak hanya di pipi, tapi juga di hati. Alif juga sadar diri jika dia pantas mendapatkan ini.

Azira dan Alika menutup bibirnya tak percaya. Mereka tercengang dengan reaksi Aryati yang begitu cepat dipengaruhi emosi.

"Bunda, sabar.." Alika mengusap-usap lengan atas Aryati agar sedikit tenang.

"Apa maksud kamu Alif?! Jelaskan pada bunda sekarang juga!!" Aryati tersulut emosi. Dadanya naik turun. Ia tak bisa lagi bersabar atas kelalaian putranya ini. Jiwanya sebagai seorang ibu tersayat ketika ia merasa salah mendidik putranya hingga Alif seegois ini.

"Bunda, tolong bunda dengerin dulu penjelas—" Alika sebenarnya akan melerai kemurkaan bundanya ini, tapi Aryati cepat memotong perkataan putrinya yang belum genap.

"Cukup, Alika!" Alika menunduk ketika mendengar suara Aryati begitu tegas pertanda ia tak mau dibantah.

"Alif, sungguh bunda kecewa pada diri bunda sendiri. Bunda kecewa karena telah gagal mendidik putra bunda dengan baik. Bunda gagal menjadikannya seorang suami yang adil." setiap kata yang Aryati ucapkan penuh penekanan. Sungguh Alif tak pernah melihat bundanya semarah ini padanya. Alif cukup sadar diri akan kesalahannya, tapi menurut Alif ini bukan saat yang tepat untuk mereka berdebat.

"Bunda, biar kita urus semua ini di rumah aja nanti. Sekarang Zahra kenapa? Kenapa dia bisa masuk rumah sakit?" Aryati menarik satu sudut bibirnya mendengar perkataan Alif.

"Ternyata kamu masih peduli ya sama Zahra. Bunda gak nyangka lho" Alif semakin frustasi dengan sikap bundanya yang seperti ini. Menurutnya ini akan menambah masalah.

"Bunda, Alif mohon. Alif ingin tau keadaan Zahra. Kenapa dia bisa masuk rumah sakit?" Alif saat ini sudah sangat khawatir dengan keadaan Zahra. Sudah tertebak olehnya Zahra masuk rumah sakit dan bodohnya ia tidak mengetahui hal itu dengan pasti.

Azira hanya terdiam sambil menunduk dalam. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Perasaan bersalah hinggap pada dirinya. Kenapa ia begitu egois? Jika saja ia tidak berangkat, mungkin keadaan Zahra tak akan seperti ini.

"Zahra, dia" Aryati menunjuk ruang UGD. "Dia ditemukan tergeletak tak berdaya di rumah kalian! Kemana kalian saat itu?! Kemana kalian saat Zahra butuh kalian?! Apa kalian nggak sadar bahwa ia cukup menderita dengan pernikahan kalian dan hidupnya?! Kalian seharusnya mikirin juga Zahra! Kenapa kalian begitu egois?" suara Aryati melemah di akhir kalimat. Ia tidak bisa membendung air matanya. Ia tak peduli dengan beberapa orang yang kebetulan lewat menatap mereka dengan aneh.

"Bunda, udah. Kita bisa selesain semua ini di rumah" Alika terus menenangkan bundanya. Ia tak mau membuat keributan disini.

Aryati malah sibuk menangis. Emosinya meluap-luap. Ia tidak sanggup dengan penderitaan yang terus Zahra alami akibat kelakuan putranya sendiri.

Hati Azira sungguh tersayat dengan kata-kaya Aryati yang semakin memperbesar rasa bersalahnya pada Zahra. Andai saja ia tidak pergi, maka mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa Zahra.

Alif sekarang bingung harus berbuat apa. Ia tak tau bagaimana keadaan Zahra di dalam UGD. Ia tidak tau hal buruk apa yang menimpa Zahra saat ini. Rasa takut kehilangan mulai kembali muncul. Pikiran Alif sudah melayang kemana-mana.

Bagaimana jika Zahra pergi sekarang?

Tidak! Alif tak bisa untuk sekedar membayangkan bagaimana jika Zahra dipanggil saat ini oleh Allah. Sungguh Alif belum siap kehilangan perempuan itu saat ini.

"Puas kamu, Alif, puas?! Puas kamu menyakiti Zahra?! Selamat atas kemenangan kamu!" Aryati langsung pergi dari tempat ia berdiri barusan untuk keluar dari rumah sakit. Jika ia dalam kondisi seperti ini dan bertemu dengan Alif, ia akan terus menyalahkan putranya.

Alika pergi mengejar Aryati. Ia tau saat ini hati bundanya sedang hancur lebur. Ia tidak mau sesuatu yang buruk menimpa bunda tercintanya.

Kini di depan ruang UGD menyisakan Alif dan Azira yang sama-sama membeku di dalam posisi masing-masing. Mereka terus menyalahkan diri mereka atas kejadian buruk ini. Mereka terus berandai-andai kejadian ini tak terjadi.

Alif duduk di kursi tunggu dengan rasa frustasi membumbung tinggi menyelimuti hatinya. Azira menyusul Alif untuk duduk di sebelah lelaki itu. Azira mengusap-usap bahu suaminya untuk memberikan sedikit ketenangan. Alif mengacak rambutnya frustasi. Ia mulai bingung dengan keadaan ini.

"Mas, sabar.." hanya itu yang bisa Azira ucapkan. Ia tau posisi Alif saat ini tidak mudah dan ditambah lagi dengan sikap Aryati. Pasti saat ini Alif sangat frustasi.

"Mas bukan suami yang baik buat Zahra, Zira" ucap Alif begitu frustasi.

"Istigfar, mas. Istigfar" Azira terus menenangkan Alif. Alif tidak boleh lemah seperti ini. Alif harus kuat.

"Mas, jaga Zahra dalam doa. Minta Allah agar Zahra nggak papa. Kamu gak boleh lemah, mas. Kamu harus kuat demi.." jeda beberapa detik. "Zahra"

Alif menoleh ke arah Azira. Alif jelas melihat kelukaan perempuan di sampingnya ini. Bukan perkara mudah untuk menyemangi suami untuk lebih dekat dengan istri yang lain.

"Mas harus kuat demi Zahra" sorot mata Azira begitu sendu dengan senyum kecil tergantung di bibirnya.

Alif memeluk tubuh Azira agar perempuan itu juga kuat. Ia kuat selama seseorang yang menguatkannya juga kuat.

"Aku mencintaimu karena Allah, Zira.."

🌼

Sudah 2 hari Zahra ada di rumah sakit. Bertepatan dengan hari pertama Alif kembali masuk kerja. Rumah terasa sepi tanpa Zahra. Itu Alif rasakan saat ini. Pihak rumah sakit untungnya bisa menyelamatkan Zahra. Dan syukurnya stok darah golongan O untuk Zahra masih ada di rumah sakit. Sikap Aryati tidak berubah pada Alif. Masih tetap marah. Alif memaklumi hal itu. Aryati pasti marah karena ia menganggap bahwa semua ini terjadi karena Alif. Alif mengakui kesalahannya.

Alif mengendarai mobil menuju kantornya. Ia berangkat lebih pagi hari ini. Alif memberhenti mobilnya di sebuab toko bunga.

Bel berbunyi ketika pintu toko bunga. itu dibuka oleh Alif. Ia jadi ingat masa kecilnya kala ia sangat menyukai masuk ke toko bunga karena lonceng diatas pintu. Ah, menurut Alif hal itu selalu menyenangkan.

"Alif? Tumben ngunjungin tante" seorang wanita paruh baya berhijab berjalan mendekat ke arah Alif yang sedang melihat-lihat bunga yang cantik dan segar. Alif mencium punggung tangan perempuan itu.

"Tante Dian GR banget dikunjungin sama Alif. Karena Alif ganteng dan ngangenin ya?" Dian memukul tangan Alif pelan karena gemas dengan candaan Alif.

"Kamu mau beli bunga, Lif?" ucap Dian berbasa-basi.

"Iya dong tante. Kan nggak mungkin Alif bawa penjualnya" Alif terkekeh melihat ekspresi wajah Dian yang gemas pada Alif.

"Mau beli bunga apa?" kini pertanyaan Dian serius.

"Beli bunga bangkai, tan. Ada?" Alif kembali terkekeh sedangkan Dian kesal dengan Alif.

"Iih, Alif. Serius" Dian mencubit pelan Alif karena greget. Lelaki 26 tahun itu meringis sambil menahan tawa.

"Iih, adiknya ayah galak juga ya" Dian cemberut dengan candaan Alif. "Hehe, iya-iya bercanda. Alif mau beli bunga, tante."

"Bunga apa?"

Alif mengedarkan pandangannya ke bunga-bunga yang terlihat segar. Entah kenapa atensinya tersita oleh mawar putih.

"Mawar putih aja, tante" Alif sangat yakin dengan pilihannya. Entah kenapa ia begitu yakin dengan mawar putih.

"Satu buket?"

"Satu tangkai aja"

"Irit amat" komentar Dian sambil terkekeh.

"Biarin aja"

Dian segera mengambilkan pesanan Alif lalu membungkus setangkai mawar putih itu dengan mika. Setelah siap, Dian memberikannya pada Alif.

"Makasih, tante ku yang cantik" goda Alif pada tantenya itu. Ia menyodorkan uang berwarna merah, tapi ditolak oleh Dian.

"Hari ini gratis" Dian memberikan jempolnya.

"Yaaah, kalo gitu tadi Alif pesen satu buket aja yang gede atau sekalian karangan bunga. Kan gratis" canda Alif membuatnya kembali kena pukulan pelan Dian. "Bercanda, tante. Alif pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Hati-hati, Lif"

Alif memasuki mobilnya lalu melajukannya menuju rumah sakit. Ia akan menemui seseorang disana.

Karena masih pagi, jalana cukup lengang dan perjalanan Alif menuju rumah sakit tidak terlalu lama. Setelah Alif memarkirkan mobilnya, Alif keluar mobil sambil membawa mawar putih tadi.

Alif memasuki sebuah ruangan yang menjadi tempat tidur Zahra dua hari ke belakang. Ruangan bercat putih khas rumah sakit.

Alif berjalan mendekat ke bed Zahra lalu meletakan mawar putih itu di nakas. Untungnya, Alif bisa menjenguk dan masuk menemui Zahra.

Alif duduk di kursi sebelah Zahra. Hati Alif tersayat ketika melihat selang-selang terpasang di tubuh Zahra. Entah kenapa Zahra belum sadar juga. Awalnya sempat kritis, tapi kata dokter keadaan Zahra membaik dan tinggak menunggu Zahra sadar saja.

"Za, saya udah bawain kamu mawar putih semoga kamu suka. Sebelum kamu sadar, saya akan terus membawakan kamu mawar putih." Alif tersenyum kecil ke arah Zahra yang berwajah pucat.

Alif pun meraih tangan Zahra yang terkulai lemah. Ia menggenggamnya dengan erat.

"Za, kalo kamu tanya saya siap atau nggak kehilangan kamu, jujur saya belum siap kehilangan kamu di saat saya aja belum bisa mencintai kamu. Entah kenapa hati ini sulit untuk menambatkan hatinya sama kamu. Entah kenapa dalam hal batin saya gak bisa adil.

"Za, cepet sembuh. Saya gak tega liat selang-selang ini terpasang di tubuh kamu. Za, kamu denger saya kan? Cepet sembuh. Syafakallah, Za" Alif mencium tangan Zahra dengan tulus.

🌼

Assalamu'alaikum

Kayaknya cerita ini alurnya terlalu lambat deh, ya😵😌. Kayaknya beneran deh cerita ini bakalan panjang banget. Kalo kalian masih sanggup, tetaplah bertahan, ya. Jika Allah berkehendak, cerita ini akan selesai. Semoga gak ada halangan. Mau ada extra chapter? Silent readers angkat bicara dong, ya😿😅.

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top