Chapter 39🌼

Happy Reading🌼
Vote»Read»Coment»Share

***

     AZIRA menangis di atas paha Rima. Ia menangis sambil berbaring dengan berbantalkan paha bundanya.

"Apa yang harus Zira lakuin, bun? Zira perusak rumah tangga orang lain" lirih Azira di sela tangisnya. Rima mengelus kepala putri sulungnya.

"Nak, kamu menjadi wanita kedua dengan cara terhormat. Kamu tidak merebut Alif secara utuh karena Alif juga masih bersama Zahra. Lagipula Zahra terlihat cukup baik. Apa Zahra baik sama kamu?" Rima mengusap-usap kepala putrinya.

"Za bahkan terlalu baik, bun. Zira bahkan merasa kalo Za itu terlalu baik. Apa yang harus Zira lakuin?" Azira bangkit dari rebahannya lalu duduk di hadapan bundanya.

Azira telah menceritakan hal apa yang telah membuat hatinya gundah. Tidak semuanya. Ia hanya menceritakan rasa bersalahnya selama ini pada Zahra dan tentang Azira yang merasa salah menjadi wanita kedua.

Rima merentangkan kedua tangannya. Langsunglah Azira berhambur ke pelukan Rima. Kamar Rima telah menjadi saksi bisu tangisan Azira.

Rima mengusap lembut kepala Azira yang terbalut hijab. "Nak, bunda memang nggak ngerasain apa yang kamu rasakan. Bunda memang gak ngerasain bagaimana kehidupan poligami. Tapi, yang harus kamu ingat adalah ini takdir Allah. Bunda yakin ini adalah yang terbaik dari-Nya. Bunda hanya bisa membuat kamu sabar dan ikhlas. Bertahanlah, Zira"

Azira mengurai pelukan lalu menatap bundanya dengan pelupuk mata yang mengeluarkan air mata.

"Makasih udah nguatin Zira ya, bun. Zira sayang bunda" Azira kembali memeluk erat Rima.

🌼

Zahra memforsir otaknya untuk berpikir alibi yang tepat untuk menutupi kebenaran dari bu'de. Bukan bermaksud buruk, tapi Zahra ingin menjaga nama baik Alif di depan bu'de.

Alif menunggu jawaban Zahra. Ia ingin mengetahui alibi Zahra untuk bu'de.

"Ahm, gini bu'de. Mas Al-lif ada niatan untuk membiayai kuliah Za. Cuman kan bu'de nya lagi di Jogja. Bu'de bahkan berangkat ke Jogja 1 hari setelah Za nikah. Jadi, Mas Alif belum ada waktu untuk membicarakan ini sama bu'de" alibi Zahra. Zahra rasa itu cukup meyakinkan untuk dijadikan alasan.

Huft...

Alif bernapas lega. Zahra ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan. Zahra menutupi aibnya. Ternyata selama ini Alif terlalu berpikir negatif tentang Zahra.

"Kenapa nggak telpon bu'de aja buat ngobrolin soal ini?" bu'de masih penasaran.

Astagfirullah...

Lagi-lagi Zahra harus berbohong demi menutupi kebohongan yang satu lagi yang baru saja ia buat. Kini Zahra harus membuat alibi lagi.

"Kan gak enak kalo diobrolin lewat hp. Menurut Za itu kurang sopan sama bu'de" Zahra mengigit bibir bawahnya. Semoga saja bu'de percaya.

"Oh, begitu ya, nduk. Yowes, kalo begitu sekarang bu'de jadi lega. Ternyata Alif bertanggung jawab sama kamu, nduk. Maaf ya bu'de ikut campur. Bu'de cuma khawatir kalo Alif itu nggak bertanggung jawab sama kamu. Kamu itu putri kesayangan bu'de walaupun kamu gak lahir dari rahim bu'de, tapi bu'de menganggap kamu adalah putri bu'de. Lagian bu'de akan memberi Alif pelajaran kalo dia nyakitin kamu. Apalagi kalo bikin kamu nangis. Bu'de cincang dia, haha"

Deg!

Dua jantung terasa sesak sekaligus ketika mendengar perkata bu'de. Mereka berdua sama-sama tau bahwa tak ada yang baik-baik saja diantara mereka.

Bu'de tertawa lepas. Ia menganggap hal ini sebagai candaan belaka, tapi tidak dengan Alif dan Zahra. Zahra tertawa sumbang dan dipaksakan. Ini bukan waktunya tertawa lagi.

"Yowes lah, bu'de mau pulang dulu. Udah malam juga." ucap bu'de setelah berhenti tertawa.

"Kenapa buru-buru sih, bu'de? Kan bisa selepas isya. Kita bisa isya sama-sama ke masjid" sahut Zahra murung.

"Nggak usah, Za. Lain kali aja, ya. Kamu sama Alif jangan lupa jengukin bu'de lho. Nanti kalo gak dijengukin sama kalian bu'de bisa sakit" bu'de berdiru hendak pulang. Zahra ikut berdiri.

"Terus bu'de pulang sama siapa?" Zahra khawatir jika bu'de nya naik ojol  malam-malam seperti ini. Takutnya bu'de kenapa-napa.

"Dijemput sama supir. Kamu tenang aja, ya" bu'de dan Zahra berjalan keluar rumah.

"Memangnya supir bu'de udah dateng jemput gitu?"

"Itu dia" Zahra mengikuti arah telunjuk bu'de. Ternyata sebuah mobil terparkir manis di pekarangan rumahnya.

Zahra dan bu'de berjalan menuju sebuah mobil berwarna putih.

"Pak, ayo kita pulang" ucap bu'de yang diangguki oleh supirnya. "Za, bu'de pulang dulu, ya. Jaga kesehatan kamu. Jangan lupa kunjungi bu'de, oke" ucap bu'de pada Zahra. Zahra mengangguk antusias.

"Siap, bu'de. Bu'de hati-hati di jalan, ya" ucap Zahra yang diakhiri senyuman yang manis.

Zahra mencium punggung tangan senja bu'de penuh sayang. Zahra merasa memiliki seorang ibu. Zahra merasa memiliki seorang ibu yang bisa dijadikan teman bicara. Memang Hartati hanyalah bu'denya, tapi itu hanya status. Bagi Zahra, Hartati dianggapnya sebagai ibu sendiri.

"Bu'de pamit, ya. Assalamu'alaikum" Hartati memasuki mobil di kursi belakang.

"Wa'alaikumussalam. Bu'de hati-hati" mobil dimundurkan ke belakang lalu dilajukan membelah jalanan.

Zahra memasuki rumahnya. Tumben Alif belum pulang dan tidak memberi kabar padanya.

"Oh iya, kan hp aku low. Ck" Zahra menepuk jidatnya merasa bodoh.

Zahra berjalan membawa tas kuliahnya serta laptop ke kamar. Ia akan segera membersihkan diri lalu akan shalat di kamar.

Alif. Laki-laki itu merasa jika dirinya hanyalah pengecut. Pengecut. Memang pengecut. Ia kini duduk di tepian kasur di kamar Azira. Saat Zahra dan Hartati keluar rumah, Alif berjalan masuk ke kamar Azira.

Alif merasa begitu bersalah. Zahra begitu baik karena telah menutupi aibnya di dunia. Kenapa Alif begitu menutup mata dari Zahra?

Alif merebahkan tubuhnya di kamar Azira. Entah kenapa hatinya begitu gelisah. Ia meraih ponselnya lalu mengetikan sesuatu di ponsel.

Alif
Zira?

Alif rindu pada wanita itu. Entah kenapa rasanya pada Azira begitu berbanding terbalik dengan Zahra. Benci pada Zahra? Tentu tidak. Tidak akan ada yang benar-benar tulus membenci Zahra saat tau sikap Zahra. Tapi, bagi hati Alif mencintai Zahra terasa seperti belajar filsafat.

Di tempat lain, Azira tersenyum melihat pesan dari suaminya. Ia rasa Alif rindu padanya. Tidak ada salahnya bukan untuk GR pada suaki sendiri?

"Baru aja kamu nangis. Dan sekarang? Kamu udah senyum lagi. Apa sih yang buat Ziranya bunda senyum manis kayak gini?" ucap Rima ketika melihat senyum Azira walau masih ada jejak-jejak air mata di pipi Azira.

"Ahm, nggak kok, bun. Zira ke kamar dulu, ya" Azira segera turun dari ranjang Rima lalu berjalan kegirangan menuju kamarnya.

Azira pun mengetikan sesuatu di ponsel untuk membalas  chat dari Alif.

Azira
Ada apa, mas?
Mas rindu, ya😝😅

Azira jadi malu sendiri dengan pesan yang dikirimkan olehnya pada Alif. Ia seperti orang gila saja senyum sendiri karena pesan yang dituliskan oleh dirinya sendiri pula.

Azira memasuki kamar lalu mengunci pintu kamar. Ia berlari menuju ranjang lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur sambil menatap layar ponsel.

"Kok ceklis dua abu-abu?" keluh Azira ketika Alif tidak membalas chat darinya. Padahal nomor Alif sedang online.

5 menit

10 menit

15 menit

Azira menunggu sambil terus menatap layar ponselnya. Tetap masih ceklis dua abu-abu.

"Mas Alif kemana?"

Ponsel bercase  hitam itu tergelincir ke kasur. Sang pemilik malah tertidur karena kelelahan. Terlihat jelas dari gurat di wajahnya.

Alif yang menunggu pesan dari Azira malah ketiduran. Ia memang tipe orang yang mudah tidur saat tubuhnya benar-benar lelah. Dalam waktu 5 menit pun bisa membuat Alif tertidur.

Zahra keluar dari kamar mandi dengan baju tidur panjang bermotif Minion yang berwarna kuning lengkap dengan gambar pisangnya. Zahra juga memakai kerudung simple  berwarna hitam.

"Alhamdulillah" ucap Zahra bersyukur. Akhirnya ia telah bisa santai dari rutinitasnya yang memforsir tenaga hari ini.

Zahra meraih perangkat shalatnya lalu menggelar sejadah menghadap kiblat. Tadinya ia ingin shalat di masjid, tapi ia telat. Ia kira juga Alif tidak ada di rumah. Zahra kira Alif menginap di rumah Azira. Mau memastikan pun Zahra susah. Ponselnya benar-benar low. Sekarang baru di charge.

Zahra memulai shalatnya dengan khusyu membaca setiap bacaan shalat.

Setelah beberapa menit, Zahra mengakhiri shalatnya dengan salam dan sekarang sesu curhat pada Allah. Zahra menengadahkan tangan ke atas.

"Ya Allah, Ya Habibul Qalbi, hamba mohon ampunilah setiap dosa yang telah diperbuat oleh hamba. Tolong maafkanlah juga dosa suami hamba, Mas Alif. Tolong Kau bantu kami membangun rumah tangga bersama Mbak Azira. Hamba mohon Ya Rabb, izinkanlah hati Mas Alif untuk mencintai hamba. Setidaknya ia menganggap hamba sebagai istrinya. Ya Rabb, hamba mohon bantulah hamba dan Mbak Azira untuk menjadi istri yang baik. Jika memang kebahagiaan Mas Alif ada pada Mbak Azira, hamba rela jika harus berpisah rumah dengan mereka, tapi hamba mohon jangan pisahkan hamba dengan Mas Alif dan membuat setan tertawa bahagia. Ya Rabb, hamba minta pada-Mu untuk mempertemukan hamba dan Mas Alif juga Mbak Azira di surga nanti."

Air mata berderai dari pelupuk mata indah Zahra. Ia tak kuasa untuk menahan air matanya. Ia tidak sanggup untuk menahan air mata di depan Rabbnya.

"Jika memang Kau menghendaki hamba dan Mas Alif berpisah, maka tolong pisahkanlah segera agar rasa yang hamba miliki padanya tidak semakin berkembang dan membuat hamba lupa pada-Mu"

🌼

Assalamu'alaikum

Heeee😭, hidup Zahra gini amat, ya. Yang sabar ya kubu AlZa. Nanti juga bakalan ada sesi bahagianya mungkin. Eh, tapi pasti ada tau. Serem ah kalo kubu AlZa ngamuk karena Zahra nggak bahagia-bahagia😅. Takutnya gak dikasih vote.

Kalian kubu siapa?
1. AlZa (Alif-Zahra)
2. AlAz (Alif-Azira)

Jazakumullah khairan katsiiran buat yang udah baca, vote, plus komen😍

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top