Chapter 38🌼

Vote»Read»Coment»Share
Happy Reading🍭

***

    AZIRA kini sedang duduk bersama dengan Rima di kamar Rima. Azira hendak curhat sedikit saja.

"Alif kemana, Zira?" tanya Rima karena menantunya itu tidak terlihat sejak siang tadi.

"Mas Alif pulang, bun. Mau pamitan ke bunda, tapi bunda ke rumah Bu RT tanpa ngasih tau. Lagian Mas Alif juga ngurus kerjaan sedikit. Katanya ada yang harus dikerjain." ucap Azira sambil menunduk dan memainkan jari abstrak.

"Ada masalah di rumah tangga kalian?" Rima menatap penuh kehangatan putrinya itu dengan tangannya menggenggam tangan Azira.

Azira menatap bundanya dengan linangan air mata. Tanpa pikir panjang, Azira langsung berhambur ke pelukan Rima sambil menangis.

Rima menenangkan Azira dengan usapan di kepala Azira.

"Bun, Zira merasa begitu bersalah sama Zahra" ucap Azira di sela-sela tangisnya.

"Zira merenggut kebahagiaan Zahra"

Rima terus menenangkan putrinya. "Nak, mungkin ini takdir rumah tangga kalian. Pasti ada yang tersakiti, tapi percayalah itu akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Kalian nanti akan saling dekat dan memahami satu sama lain"

"Zira, kamu jadi yang kedua dengan cara terhormat. Kamu nggak rebut Alif sepenuhnya dari Zahra"

Hatinya Mas Alif, bun, yang Zira miliki sepenuhnya

🌼

Alif telah menyelesaikan urusannya di kantor. Ia akan masuk sepenuhnya ke kantor ini Senin minggu depan. Ini masih hari Kamis dan masih ada waktu 3 hari lagi untuk menikmati liburannya.

Alif memasuki lift untuk menuju lantai bawah. Ia sengaja memesan taksi online karena ia tadi tidak bawa mobil. Kantor sudah sepi karena sudah lewat jam kantor pula.

Alif memasuki mobil yang ia pastikan taksi pesanannya. Taksi online melesat membelah jalanan. Setelah beberapa menit berkendara, akhirnya taksi sampai juga di rumah Alif.

Alif keluar mobil setelah membayar ongkos lalu ia melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah.

"Pak Iryo, Zahra udah pulang?" tanya Alif pada satpam rumahnya itu.

"Belum, tuan" sahut Iryo. Alif menautkan kedua alisnya.

"Ya sudah, saya masuk dulu ya, pak" Iryo mengangguk.

Alif pun menelpon Zahra untuk memastikan apakah Zahra perlu dijemput ataukah tidak. Alif berjalan menuju kamarnya sambil terus menelpon Zahra.

"Nomor Zahra kok gak aktif?" gumam Alif ketika nomor Zahra tidak aktif.

Alif segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya lalu ia akan menjemput Zahra ke kampus.

Zahra berjalan lunglai menuju rumah. Untunglah ia telah sampai. Hari ini begitu melelahkan bagi Zahra. Sudah pulang lewat Maghrib ditambah ojol yang dipesan Zahra malah mogok. Terpaksa Zahra harus berjalan kaki menuju rumahnya. Lagipula sudah lumayan dekat. Akan lama jika harus memesan ojol lagi.

"Assalamu'alaikum, Pak Iryo" ucap Zahra di luar gerbang rumahnya.

"Wa'alaikumussalam. Tunggu sebentar" gerbang pun dibuka oleh Iryo.

"Eh, Nona Zahra ternyata. Masuk, nona" ucap Iryo begitu ramah.

"Terima kasih, pak" Zahra berjalan lunglai memasuki rumah. Ini adalah hari yang begitu melelahkan. Ditambah ponselnya low bat, jadi tidak bisa menelpon Ulo untuk menjemputnya.

Zahra yakini Alif belum pulang. Buktinya mobil Alif tidak ada di pekarangan rumah.

Baru saja menjatuhkan tubuhnya di sofa, Zahra harus bangkit lagi untuk membukakan pintu yang diketuk itu.

"Assalamu'alaikum"

Mata Zahra membulat ketika ia membuka pintu dan suara yang familiar itu mengucapkan salam.

"Wa'alaikumussalam, bu'de" Zahra langsung memeluk bu'de tersayangnya itu penuh kerinduan.

Air mata haru berjatuhan dari pelupuk mata kedua muslimah itu. Mereka seakan menahan kerinduan yang begitu lama. Maklumlah mereka bagaikan ibu dan anak.

"Bu'de ayo masuk" bu'de pun memasuki rumah bersama Zahra lalu mereka duduk bersama di sofa.

"Ya Allah, bu'de apa kabar?" ucap Zahra begitu lembut.

"Alhamdulillah, bu'de sehat. Bagaimana keadaan putri bu'de ini? Baik kan?" ucap bu'de tak kalah lembut.

"Alhamdulillah, Za juga baik. Bu'de kok gak kasih tau Za kalo bu'de mau kesini sih?" ucap Zahra pura-pura merajuk.

"Bagaimana bisa bu'de ngasih tau? Ponsel kamu aja ndak aktif, Za"

"Ouh iya ya. Ponsel Za low bat, bu'de"

Samar-samar Alif mendengar ada yang mengobrol. Tapi, ia tidak mendengar jelas karena sedang ada di kamar mandi lantai dua. Alif pun akhirnya acuh. Mungkin ia salah dengar.

"Za, bu'de boleh pinjem sekop gak?" Zahra menautkan kedua alisnya.

"Sekop? Buat apa bu'de?" Zahra sungguh keheraanan.

"Mau gali sumur. Seret" sindir bu'de begitu lembut sambil tersenyum manis. Ia mengode keponakannya itu.

Zahra menepuk jidatnya. "Ya Allah, Za lupa bu'de. Tunggu sebentar, ya"

Zahra berlari kecil menuju dapur lalu membuatkan teh manis hangat untuk bu'denya. Teh manis adalah minuman favorit bu'denya itu.

Setelah siap, Zahra membawa teh manis itu ke ruang tamu. Ia sengaja membuat dua gelas karena satu lagi untuknya.

"Silahkan, bu'de" Zahra menaruh kedua gelas itu diatas meja lalu ia duduk lagi di sebelah bu'de.

"Hehe, makasih ya, Za. Maaf bu'de ngerepotin kamu. Soalnya jam segini bu'de biasa minum teh" ucap bu'de tidak enak.

"Iya, nggak papa, bu'de. Bu'de santai aja kalo sama Za" bu'de menganguk. "Silahkan bu'de minum"

Mereka berdua pun menyeruput teh masing-masing dengan santai. Inilah salah satu kebiasaan mereka saat sedang bersama seperti ini. Mereka akan membuat teh manis dan meminumnya bersama. Hal sederhana seperti ini yang lebih merekatkan tali kasih mereka.

"Bagaimana keadaan eyang, bu'de?" tanya Zahra sambil meletakan gelasnya di meja.

"Eyang rindu kamu katanya. Dia kepengin ketemu sama kamu, Za. Kapan kamu sama Alif ke Jogja?" balas bu'de.

"Mm, mungkin kapan-kapan ya, bu'de. Mas Alif lagi sibuk soalnya. Za juga lagi sibuk kuliah"

"Bu'de harap jika kamu ke Jogja nggak bawa perempuan itu, ya" nada bicara bu'de tidak sehangat tadi.

"Perempuan itu? Siapa, bu'de?" tanya Zahra begitu polos.

"Madumu itu"

Zahra menunduk. "Memangnya kenapa Za nggak boleh ajak Mbak Zira ke Jogja untuk menemui eyang?"

Alif menghentikan langkah kakinya menuruni anak tangga ketika mendengar pertanyaan Zahra yang ditujukan pada bu'de.

"Za, kamu tau kan eyang kondisinya nggak memungkinkan untuk mengetahui hal ini? Beliau pasti syok mendengar kabar rumah tangga cucu kesayangannya. Bagaimana kalo eyang down? Bu'de gak mau ya cuma gara-gara perempuan itu, kesehatan eyang jadi taruhannya. Jangan extream, Za. Kalo kamu mau jenguk eyang harus berdua kalo nggak sendiri. Titik." tegas bu'de.

"Za pikirin soal ini nanti aja ya, bu'de" Zahra lebih baik menyudahi perdebatan kecil ini. Ini tidak mau jika bu'denya semakin memojokan Azira.

Saat akan menghampiri bu'de dan Zahra, Alif menghentikan langkahnya untuk mendengarkan apa yang akan dikatan bu'de. Memang tidak sopan, tapi Alif merasa tidak banyak tau tentang keluarga Zahra.

"Gimana kuliah kamu, Za?" kemudian bu'de menyeruput teh manisnya.

"Alhamdulillah, lancar bu'de" sahut Zahra begitu hangat.

"Bu'de mau bicarain soal biaya kuliah kamu. Bukannya bu'de itungan dan semacamnya. Disini bu'de mau mempertanyakan letak tanggung jawab Alif sebagai suami kamu. Nggak lebih" Zahra menautkan kedua alisnya.

"Maksud bu'de apa?" tanya Zahra tak mengerti arah pembicaraan.

"Maaf ya Za bu'de bicara seperti ini. Sungguh bu'de gak ada maksud untuk mengungkit-ngungkit apalagi itungan sama kamu. Za, selama kamu kuliah hingga kini bu'de yang tanggung biayanya. Apa Alif tidak ada niat untuk menggantikan posisi bu'de dalam hal ini?"

Deg!

Alif sangat tertohok dengan kata-kata bu'de. Kenapa Alif baru menyadarinya sekarang? Kenapa Alif bisa melupakan hal sebesar ini selama ini?

Zahra gelagapan. Ia tidak pernah membahas biaya kuliahnya pada Alif. Apalagi untuk meminta Alif membiayainya. Zahra tak pernah terpikirkan ke arah sana.

"Ah, hmm, oh itu.." Zahra menunduk sambil memainkan jari abstrak.

"Za" bu'de memegang bahu Zahra dengan tatapan penuh kelembutan. "Maaf, bu'de cuma ingin tau letak tanggung jawab suamimu itu, nduk. Bu'de gak masalah jika harus membiayai kamu hingga beres kuliah bahkan S2 pun bu'de gak masalah. Tapi, yang mengganjal disini adalah apakah Alif tidak ada niatan untuk menanggung biaya kuliah istrinya?"

Zahra begitu terjepit dengan keadaan. Jika ia bilang bahwa Alif ada niatan, nanti bu'de akan bertanya kenapa tidak dilakukan. Jika Zahra bilang tidak, maka bu'de akan semakin curiga dengan rumah tangganya.

Alif begitu pengecut sebagai suami Zahra. Bahkan untuk membiayai kuliah saja, Allah perlu menegurnya. Rasa bersalah begitu kentara saat ini. Alif jadi tidak enak hati pada bu'de terutama Zahra.

"Ahm" Zahra merasa jika lisannya begitu susah untuk berkata-kata.Ia tidak tau alasan yang benar-benar tepat.

"Jangan bilang bahwa Alif tidak pernah bertanya perihal ini?"

Deg!

Dua orang tertohok sekaligus dengan pertanyaan bu'de. Mereka sama-sama kebingungan.

🌼

Assalamu'alaikum

Gimana chapter ini? Puas gak? Panjang kan buat kalian? Pokoknya akan aku pastiin jika chapter berikutnya akan lebih dari 900 kata. Voment? Jazakumullah khaira katsiiran buat yang voment dan support aku dengan komen dan vote dari kalian❤.

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top