Chapter 37🌼

    AZIRA. Perempuan itu termenung di tepian kasurnya. Hatinya bimbang. Di satu sisi ia menginginkan suaminya menyayangi Zahra, tapi satu sisi lainnya berkata bahwa hati terdalamnya merasakan rasa sakit.

Azira bangkit dari duduknya sambil membawa tas. Ia akan ke rumah Rima pagi ini. Ia merindukan wanita itu.

"Pak Ulo, anterin saya ke rumah Bunda Rima, ya" Ulo yang sedang mengobrol dengan Iryo pun mengangguk sambil membukakan pintu mobil di kursi belakang untuk Azira lalu ia menyusul masuk ke mobil. Mobil itu pun dilajukan menuju kediaman Rima.

"Gak dianter sama Pak Alif, Non?" ucap Ulo berbasa-basi.

"Nggak, pak. Kan Mas Alif nganterin Zahra ke kampus" Azira menatap ke arah luar jendela mobil. Kota Jakarta semakin dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit.

"Hari ini Nona Zahra ngampus, ya? Tumben diantar sama Pak Alif" celetuk Ulo hingga menarik atensi Azira.

Azira menautkam kedua alis, heran. "Maksudnya, pak?"

"Jadi, Nona Zahra itu sering berangkat sendiri. Tapi, pernah sebelum Nona Zira nikah sama Pak Alif, Nona Zahra sering dianter Pak Alif. Tapi, sekarang jarang bahkan terhitung gak pernah lagi setelah Pak Alif memutuskan menikah dengan Nona Zira"

Astagfirullah

Azira mengusap dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Lagi-lagi karena dirinya hubungan Alif dan Zahra merenggang. Apa hubungan keduanya renggang semenjak kehadiran dirinya di tengah-tengah rumah tangga mereka?

Setelah itu, tak ada lagi percakapan antara mereka. Azira sibuk berdzikir untuk menenangkan hatinya. Hatinya gundah. Ia merasa sangat bersalah karena masuk dalam kehidupan rumah tangga Alif dan Zahra walaupun Alif mencintai Azira.

Ya Allah, akulah si duri dalam rumah tangga lelaki yang kucintai

🌼

Mobil diberhentikan di depan gerbang kampus tempat Zahra berkuliah. Zahra pun mencoba melepaskan sabuk pengaman yang terasa sangat susah di buka. Zahra menggerutu dalam hati kenapa sabuk pengamannya harus susah dibuka di saat-saat seperti ini.

Alif yang memperhatikan kesulitan Zahra pun membantu perempuan 21 tahun itu. Akhirnya Alif membantu Zahra melepaskan sabut pengaman.

Deg.. deg.. deg..

Jantung Zahra mulai nakal. Untuk sekedar bernapas pun terasa susah. Menelan saliva terasa sangat sulit. Zahra memperhatikan setiap inchi dari wajah Alif. Terbitlah senyum di wajah cantik itu.

"Udah" Alif menjauhkan tubuhnya dari Zahra. Alif mengernyit ketika wajah Zahra begitu merah.

"Za, kamu sakit? Muka kamu merah kayak gitu" Alif rasa tidak mungkin jika Zahra kepanasan. Cuacanya belum sepanas itu hingga membuat wajah Zahra memerah.

"Hah? Ah, ng-nggak kok. Za gak sakit. Cuma gerah aja. Iya, gerah" Zahra mendadak gugup di dekat Alif. Salting.

"Ah, kalo gitu Za mau pamit dulu ya, mas" Zahra meraih tangan kanan Alif lalu mencium punggung tangannya. "Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Saat akan membuka pintu mobil, tangan Zahra ditarik pembut oleh Alif. Pria itu menatap wajah Zahra yang juga menatapnya. Zahra semakin gugup.

Alif memberikan senyum manisnya dan itu cukup membuat hati Zahra meleleh. Ia bahagia. Ralat. Maksudnya sangat bahagia. Melihat Alif tersenyum manis membuat hati Zahra menghangat.

Ya Allah, Kau Maha Indah telah menciptakan lelaki seperti suamiku ini

"Selamat belajar. Hamasah" ucap Alif lembut sambil tersenyum lalu mengacak lembut pucuk kepala Zahra yang dibalut hijab. Zahra mengangguk lalu keluar mobil.

Zahra menepuk-nepuk pipinya setelah mobil dilajukan oleh Alif meninggalkan Zahra. Apakah Zahra bermimpi? Jika memang mimpi, Zahra tidak ingin bangun dulu.

"Za"

"Astagfirullah! Ya Allah!" Zahra begitu terkejut ketika seseorang menepuk bahunya sambil memanggilnya.

"ZAHRA!!!" sebuah pelukan erat begitu mengikat Zahra.

"Nani, sesak" keluh Zahra ketika mendapat pelukan yang begitu erat dari sahabatnya itu.

"Biarin!" ucap Nani tak peduli. Ia bahkan menangis di pundak Zahra.

Zahra mengurai pelukan lalu menyeka lembut air mata di pipi Nani.

"Jangan nangis ah. Nanti calon imam kamu ilfeel lagi" canda Zahra.

"Ih, kamu mah Za" Nani mencubit tangan sahabatnya. "Ya udah kita masuk kampus yuk!"

"Ayo!"

🌼

Alif

Laki-laki itu... entahlah. Dia merasa telah memberi harapan palsu pada perempuan sebaik Zahra. Ia merasa bahwa ia telah memberikan sebuah cahaya semua bagi istri pertamanya itu.

Alif tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi ia mencintai Azira. Ia merasa tidak mau Azira pergi, tapi di satu sisi Alif tetap menginginkan Zahra bertahan di sisinya.

"Alif, lo laki-laki pengecut!" hardik Alif pada diri sendiri.

Apa Alif menyukai luka yang dialami Zahra? Apa Alif senang melihat Azira menangis? Ya Allah, Alif bingung harus bagaimana. Jika ia membahagiakan Azira, maka Zahra yang bersedih. Jika Zahra tersenyum bersamanya, maka Azira yang terluka. Alif tidak menyangka jika kehidupan poligami sebegini ribetnya.

"Ya Allah, pusingnya.."

Alif melajukan mobilnya menuju rumah Rima. Ia yakim Azira telah ada disana dengan diantar sopir.

Alif memasuki halaman rumah megah itu. Ya, rumah keluarga almarhum Akbar itu begitu megah dengan warna putih gading.

Alif keluar dari mobilnya lalu berjalan memasuki rumah itu.

"Assalamu'alaikum" ucap Alif dan dijawab dari dalam rumah.

"Wa'alaikumussalam" jawab serentak Azira dan Rima.

"Kayaknya Mas Alif, bun. Zira izin dulu, ya" Azira berjalan menuju pintu rumah untuk menyambut suaminya.

"Zawjaty" sapa Alif begitu lembut.

"Ayo masuk, mas" mereka berdua pun berjalan semakin ke dalam rumah sambil bergandengan tangan.

"Alif" sapa ramah Rima. Tentu sebagai menantu yang baik, Alif mencium punggung tangan mertuanya.

"Bunda, apa kabar?" Alif dan Azira duduk bersebelahan.

"Alhamdulillah, kabar bunda baik, Lif. Kalian juga baik kan?"

"Alhamdulillah, baik kok, bun" sahut Alif.

"Zahra kok gak ikut kesini sih?" Rima sebenarnya merasa kasihan juga ketika melihat Alif, Azira, dan Zahra. Ia tidak tega dengan kehidupan rumah tangga mereka yang menurutnya sangat sulit dihadapi jika tidak saling memahami.

"Zahra kan kuliah, bun" sahut Alif diakhiri senyuman.

"Kalian mau nginep?"

Alif dan Zahra saling pandang. "Ahm, kalo Alif sih kayaknya belum bisa, bun. Kalo kamu, Zira?"

"Kalo Zira sih terserah Mas Alif. Kalo dibolehin, Zira mau nginep disini. Boleh kan?" Azira ingin bercerita banyak dengan bundanya itu.

"Boleh kok" ucap Alif diakhiri senyuman.

"Alhamdulillah. Kalo gitu malam ini bunda gak kesepian. Habisnya Arkan juga kuliah di luar negri. Bunda makin kesepian" ucap Rima agak murung.

"Ya udah, Zira bakalan sering jengukin bunda" putus Azira.

"Ya iya dong, Zira. Kalo nggak bunda coret lho dari daftar keluarga" mereka bertiga pun tertawa bersama.

🌼

"

Alhamdulillah.." gumam Zahra begitu lega. Akhirnya jam matkul Nurman telah selesai. Ia bisa ke kantin.

"Nan, ke kantin yuk!" ajak Azira pada Nani yang tengah menulis sesuatu di buku.

"Bentar, Za. Nanggung nih" Nani menyelesaikan tulisannya lalu membereskan alat-alat tulisnya ke dalam tas milknya.

"Ya udah, ayo ke kantin Za! Aku mau introgasi kamu tau!" ucap Nani mengancam. Zahra kira itu adalah candaan ternyata Nai memang berniat memgintrogasi dirinya.

"Ya udah, ayo Bu Nani!"

Mereka berjalan menuju kantin. Perut mereka minta diisi bakso dan minuman segar. Huh, pasti enak di siang hari seperti ini.

"Mas, baksonya dua ya. Es teh manisnya juga dua" ucap Nani setelah mereka duduk di salah satu meja di kantin. Nani tau betul jika siang hari Zahra pasti ingin makan bakso.

"Ih, kamu gembul amat makan dua mangkok bakso" komen Zahra bercanda dengan nada serius.

"Lah kan punya kamu satu" ucap Nani santai.

"Ih, aku mau pesen mi goreng tau bukan bakso" ucap Zahra so iyeh.

"Nggak papa kalo mau mi goreng. Pesen aja. Tapi, dua mangkok bakso itu, kamu yang bayarin, haha" Nani tertawa di akhir kalimat.

"Yeh, itu mah maunya kamu kali" cibir Zahra. Prank nya gagal.

"Za, kamu kemana aja selama beberapa hari gak masuk ke kampus?"

Ya ampun, pertanyaan ini muncul juga

Zahra memutar otak untuk membuat alibi yang tepat. Tidak mungkin ia katakan yang sebenarnya.

"Aku ke Jogja jengukin eyang" alibi Zahra. Dalam hati ia memohon ampun kepada Allah karena telag berbohong.

"Mana getuk sama jenangnya? Kalo kamu ke Jogja kan selalu bawain aku dua makanan itu" ucap Nani penuh kecurigaan. "Kalo kamu ke Jogja, kenapa telpon dan chat dari aku gak direspon?"

Pertanyan Nani begitu membuat Zahra pusing. Ia kembali memutar otak.

"Susah sinyal. Kalo getuk sama jenang, lagi kosong" setelah itu, Zahra beristigfar dalam hati.

"Yakin?" ucap Nani penuh selidik.

"Yakin"

"Pasti?"

"Pasti"

"Are you sure?"

"I'm sure"

Jika dipikir-pikir, Nani mengikuti kata-kata Bossman dalam film My Stupid Boss.

"Bukannya—" saat akan menyelidiki Zahra lagi, kalimag Nani terpotong dengan pelayan mengantarkan bakso.

"Makasih, mas" ucap ramah Zahra.

"Za, bukannya rum—" baru saja Nani akan bertanya, Zahra cepat-cepaf memotongnya. Ia khawatir spekulasi-spekulasi Nani semakin membuatnya terpojok dan kecurigaan Nani semakin kuat.

"Bismillah" Zahra menyantap makanannya. Nani sedikit kesal, tapi pada akhirnya ia memyerah. Nani pun menyusul memakan makanannya.

🌼

Assalamu'alaikum

Lumayan panjang kan? Jadi gini, kalo ana nulis per chapternya kurang dari 600 kata, kan mubazir kuota plus chapter bakalan banyak pula. Ana juga ngerasa jarang update walau sekali update 3 chapter. Ana sadar kalo mungkin ada yang nunggu cerita ini. Ana gak mau mengecewakan dengan sekalinya update cuma sedikit. Buang-buang waktu ya kan? So, ana akan usahakan mulai sekarang 1 chapter lebih dari 900 kata. Gimana? Ya udah deh silahkan VOMENT dulu, hehe😅.

Oh ya, kalo ada yang mau usul cast dari Zahra, Alif, Azira dan tokoh-tokoh lain, silahkan kalian kirimkan foto beserta sumber foto tersebut misalnya nama sosial medianya dan nama asli dari cast nya. Kirimnya ke  0831-6927-7119 (Tania Ridabani).

Jazakumullah khairan katsiiran❤

Tania Ridabani.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top