Alya, yang kesebelas
Suara gelas pecah membangunkan perempuan yang bernama Alya.
Dahdir basah merayap di siku bibirnya. Bulat gemas adalah hidungnya. Matanya masih lengket sebelah. Rambut keriting kering nan acak-acakan menutupi alisnya yang tebal bak ulat penggulung pohon pisang. Ia bergerak perlahan. Kakinya menengadah dan lengannya masih lemas. Ia menguap, dengan tubuh yang menyerah dan kepala yang terhempas—balik kepada bantal kusut yang kelihatan jelas sudah menipis, berdaki, dan mengeluarkan tapak-tapak aura jigong. Dari bantal tempatnya berimajinasi itu, Alya memborong semua kesadarannya walau masih malas.
Di atas kasur, jarinya berselancar, menelusur ke bawah bantal, ke samping kiri, belok kanan, ke atas bantal, hingga guling dan selimutnya ia angkat. Smartphone yang masih mengiangkan bunyi gelas pecah tampak mengolok-olok Alya dengan penuh sukacita. Alya mematikan alarm tersebut secara jengkel sebelum ekspresinya dikali sembilan ribu begitu melihat jam di layar. "Bangke!"
Bagai rasa kaget dalam ring tinju yang membogem rasa malas dan meng-KO-kannya dalam detik ini juga, Alya baru sadar kalau dia terlambat.
Ia seketika terbang ke arah meja kerja usangnya, diikuti jari yang langsung memburu laptop. Lockscreen ber-OS Windows 11 itu mulai menerangi muka Alya—yang terhiasi keringnya cileuh. Melempar bokong ke dudukan kursi, Alya buru-buru memasang ekspresi, mengetikkan password, dan mendumeli kelemotan kinerja laptopnya.
Bagai tarian fashionista yang histeris menghindari tahi, bola mata Alya loncat lincah ke sana kemari. Mencari ujung tulisan, mengamatinya, menghapusnya, hingga mengetik ulang kalimat yang telah ia hapus.
Alya seorang penulis. Dan hidupnya memang begini, acakadut. Ia penulis fiksi yang cukup aktif, setidaknya dalam jagat platform menulis. Tulisan Alya senantiasa dinanti oleh empat puluh satu pengikutnya. Baginya, empat puluh satu adalah jumlah yang banyak. Walaupun, Alya selalu berpikir, kenapa ya bayangan empat puluh satu orang dan 41 akun itu rasanya kaya bumi dan langit? Beda jauh.
Alya membayar biaya kesehariannya lewat menulis juga, hanya saja lewat buah tulisan yang lain. Pekerjaan utamanya sebagai penulis lepas, sang pembuat cerita untuk brand. Pada dasarnya, ia menuangkan cerita yang bisa ngena ke audience si brand, dan berharap sepenuh hati agar tulisannya, yang berbentuk skrip atau artikel itu, bisa mengonversi ke penjualan selagi terus menerus meyakinkan kliennya kalau tulisannya pasti mengonversi ke penjualan secara organik. Sayangnya, Alya tidak terlalu menyenangi pekerjaannya ini. Ia ingin jadi penulis fiksi. Penulis fiksi yang terkenal, katanya.
Kembali ke laptopnya, kepala Alya bolak-balik melirik buku catatan dan tulisan yang sedang ia tulis. Rambutnya telah terikat ke atas. Tahi matanya telah sedikit terhapus. Tampangnya masih tampak kesal, tetapi lebih yakin. Ia tengah mengerjakan satu artikel untuk sebuah produk kecantikan. Artikel ini seharusnya sudah diserahkan sekitar dua jam yang lalu. Namun, karena Alya pemalas dan tidak baik dalam mengelola waktu, jadi ...
Smartphone tiba-tiba bergetar di meja. Nada dering bebek cerewet menabuh gendangnya di ruangan gelap kostan Alya.
"Ya, Bu?" jawab Alya. Gawainya ia jepit di pundak seraya mengetik. "Ini sudah mau dikirim, kok, hehe."
"Ya, sudah. Ibu tunggu, ya," kata suara yang jauh di seberang sana. "Tulisan kamu yang kemarin bagus banget! Yang sekarang juga bagus, ya?"
"Iya, pasti diusahakan dong, Bu. Hehe."
"Oke, tolong cepetan, ya. Nanti ada bonus."
"Iya, Bu. Hehe." Alya senyum mangguk-mangguk dalam baju piyama merah muda lumernya. BRUK.
"Halo, Al? Alya? Kamu masih di sana?"
Alya telah tergeletak di bawah mejanya. Laptopnya jatuh tepat di seberang muka. Ia membelalak. Hitam di bola matanya memantulkan layar laptop. Air mata Alya jelas mengalir.
Mirip posisi bayi di dalam kandungan, perut Alya tergenggam jemarinya. Pusarnya seakan dipelintir mesin aduk. Badannya terasa remuk tertimpa beruang. Dunia berputar dan terus berputar di sekelilingnya. Layar putih laptop perlahan menghilang dari pandangan Alya.
***
Otak Alya dijajah pengar. Sadar posisinya sekarang terlentang.
Perih di perutnya menyeruak. Matanya terbuka. Namun, dunia sudah berbeda baginya. Cahaya dari sela-sela sesuatu memberi penglihatan dan perenungan tipis. Alya di dalam kotak kayu sempit. Tubuhnya terhimpit. Nafasnya menggema kencang, berputar kembali ke pendengarannya sendiri. Jarak antara hidung dengan papan di atasnya hanya sekitar tiga buku jari. Yang Alya pertama pikirkan adalah apa aku mati? Apa aku di peti mati?
Tangan Alya mencari izin pada ruang gerak yang sedikit. Instingnya menyentak dada, Alya berteriak minta tolong.
Tak ada jawaban, hanya desis statis.
Alya sadar kalau kakinya punya ruang gerak yang lebih. Ia menendang. Satu kali, nihil. Dua kali, nihil. Tiga kali, papan di atasnya bisa sedikit bergerak. Alya menendang-nendang sekuat tenaga. Baginya, hidup dan mati bergantung pada gerakan kakinya. Alya mempunyai klaustrofobia.
Ujung papan terlepas dari semacam kaitan. Lutut menekuk dan mencoba menggeser papan. Ia berharap mobilitasnya tidak setipis ini, selagi terus berusaha mendorong pantat demi lutut yang dapat seutuhnya melucuti papan. Setengah papan berhasil terbuka, tapi Alya sudah kehabisan ide, kehabisan gerak. Ia dapat melihat secuil tembok putih di luar peti tanpa bisa menjangkaunya. Cahaya yang terpantul di kakinya terlihat bak harapan—dekat dan jauh.
Alya menilai situasi. Perlahan melihat lengannya, rupanya tertahan sebuah lekukan. Dan peti yang dia anggap terbuat dari kayu itu ternyata bukan. Alya tidak paham jenis komposit apa yang menutupinya ini. Teksturnya mirip kayu, tapi berwarna putih.
Alya mengambil nafas, berusaha menekuk-nekuk lengannya. Ada harapan ternyata. Ia mengangkat kaki kanan ke luar peti seraya memutar badan sebisa mungkin agar lengan bisa terbebas. Berhasil, satu lagi.
Alya mengulangi gerakannya hingga kedua tangannya terlepas, lalu secepatnya menjatuhkan papan. Cahaya menyilaukan dari lampu menyambut kebebasan Alya—yang bergegas keluar dari peti.
Lengannya ia peluk sendiri, menghangatkan sisa kengerian. Pandangannya meneliti ruangan secara perlahan.
Tembok putih normal seperti dunia yang dia kenal. Ada jajaran rak buku putih kosong, satu pintu putih, satu lemari putih, satu poster berwarna, satu jendela, satu meja, satu kursi, satu kasur, dan satu peti yang sempat menyekapnya. Lantainya berkeramik putih. Tanpa peduli kakinya tidak bersendal, Alya melangkah ke jendela.
Di luar terlihat gelap, tapi bintang-bintang di atas bercahaya lebih besar dari biasanya. Di bawahnya, jalanan normal metropolitan malam hari nan sepi dengan jajaran lampu-lampu jalanan menyala redup. "Anjir, ini di mana?"
Perhatian Alya tiba-tiba tercuri ke poster dekat jendela. Dari dinding putih yang menyelimuti, poster warna-warni abstrak berlatar hitam itu tampak mengundang dengan tulisan:
WANGIRAYA
Tempat Untuk Jadi Nyata
Alya tak sedikit pun mengerti apa artinya, tak ingin pula coba menerka. Ia melihat pintu putih di dekat poster dan langsung mengarah ke gagang pintu yang ia coba gerakkan seketika. Tidak terkunci. Setelah daun pintu terbuka sedikit, Alya mendadak berpikir, Bentar, jangan-jangan ini Isekai. Masa iya? Nanti kalo kubuka, masa iya bakal ada monster? Gimana kalau ada pembunuh? Ah, palingan mimpi? Gimana kalau ini penculikan dan ginjalku dibawa?
Alya bergegas mengecek ke balik piyamanya. Aman, tak ada tanda apa-apa.
Ia kemudian berbalik, memperhatikan pemandangan di ruangan bernuansa putih ini hingga tertuju ke arah lemari. Di pintunya tergantung kunci. Alya membukanya, lalu menemukan satu tas hitam di bawah, juga semacam jaket hitam dan jaring-jaring di gantungannya. Ia mengambil jaring-jaring dan melebarkannya. Ada dua jaring, tampaknya seperti yang biasa dipakai untuk pergelangan tangan. Alya, sebagai pribadi yang tomboy, manyun sambil berpikir sesaat, lalu memutuskan untuk coba-coba memakainya. Lengan piyamanya ia panjangkan kembali guna menutupi jaring-jaring tersebut.
Alya meraba-raba tas hitam yang punya stensilan nomor 11. Tidak ada resleting ataupun tanda-tanda lain tentang cara membuka tas ini. Ada semacam sesuatu yang keras layaknya metal. Ia mengetoknya, dan memang terasa seperti mengetok besi. Bentuknya tidak Alya kenal, tapi banyak bulatan kecil. Lengannya terus berseluncur dan banyak benda lain yang tidak ia kenali sama sekali. Sesuatu tertekan dan berbunyi layaknya plastik. Ia mengangkat tas yang tidak terlalu berat tersebut, menggoyang-goyangkannya plastiknya. Terdengar ada cairan. Masa iya air minum?
Alya memperlurus situasi. Jika itu benar air minum, ia beranggapan bahwa tas ini bisa jadi penting kalau akhirnya ia memutuskan untuk keluar. Ia bergumam, "Di luar kelihatannya malam, jadi mungkin dingin. Ini jaket penting. Ok, apalagi yang penting?"
Ia menuju meja yang memiliki satu hiasan bulu burung, hingga terfokus ke arah laci. Terkunci. Jemarinya meraih ke bawah laci dan menggoyang-goyangkannya, tidak terdengar suara apa-apa di dalamnya. Ia berjongkok dan melihat ke bawah meja. Kosong.
"Ok, aku tolol. Pasti ada sesuatu yang lain di ruangan ini," gumamnya.
Kursi di samping meja ia ambil, dipindahkannya ke dekat lemari, lalu dipanjatnya. Sayang, tinggi badan Alya tidak mendukung untuk dapat melihat jelas ke atas lemari. Berjingjit sekuatnya. Lengannya mencari di area yang tak bisa ia lihat, hingga tersentak kaget ketika seeonggok besi dingin terasa di jarinya. Alya menariknya. Sebuah pisau, mirip pisau militer bersarung besi. Alya turun perlahan dari kursi sembari berpikir, Kenapa ada pisau? Masa iya aku ada di dunia Battle Royale-nya Koushun Takami? Apa jangan-jangan ini lebih mirip dunianya Katnis Everdeen? Emaaaakkk.
Sebelum bisa menangis, suara ledakan kecil tiba-tiba terdengar. Alya menunduk sekenanya. Ia beranggapan suara ledakannya terlalu dekat.
Ketakutan, ia bergegas membawa jaket hitam dan tas hitam di lemari dan melewati pintu putih. Namun, pemandangan yang Alya hadapi kini sangat terbalik dibandingkan di dalam ruangan. Lampu lorong mati. Lantainya kotor, retak, dan penuh debu, disertai beberapa bagian tembok yang pecah-pecah. Bagai anak bercerai susu, gedung ini seperti pernah jadi saksi bisu cerita perang.
Alya sempat ragu-ragu, untuk memutuskan diam di ruangan saja atau pergi ke luar.
Ia melangkah cepat tanpa berpikir. Hingga terbayang adegan-adegan jumpscare dari film horor favoritnya, lalu mendadak berhati-hati karena takut ada zombie atau hantu dan sejenisnya. Di lorong ini, ia perhatikan pintu-pintu kamar yang tertutup, tidak nampak cahaya dari sela-sela bawahnya. Ujung lorong arahnya pergi begitu gelap dan mengarah ke ruangan yang lebih gelap.
Ia berbalik melihat ke arah ujung lorong lain, ada sedikit cahaya di ujung ini. Alya berjongkok, mempertimbangkan jalur mana yang harus ia ambil selagi memeriksa jaket yang dibawanya. Ia memeriksa bagian-bagian detail dari jaket tersebut, tampaknya ada gantelan yang cocok untuk gantungan pisau. Alya mencobanya, dan ternyata pas. Jaket kemudian ia pakai dengan pisau bersarang di dekat perutnya. Tas hitamnya yang agak berat, ia jinjing.
Kalau di cerita-cerita, misal aku ke arah lorong yang gelap, biasanya malah bisa jadi aman. Misal aku ke arah lorong bercahaya, biasanya malah jadi lebih bahaya.
Alya berbalik dan melangkahkan kakinya ke arah lorong bercahaya, berharap menemukan siapapun sekaligus tidak menemukan apapun.
Langkahnya memelan begitu mendekati arah cahaya. Instingnya menyuruh Alya untuk menempelkan punggung ke dinding. Dari pintu kaca yang pecah, Ia memantau ruangan yang tercahayai oleh lampu putih kedap-kedip. Tengok ke arah kanan, aman dan sepi. Suasananya mirip ruangan resepsionis hotel yang sudah ditinggalkan. Ke arah kiri, ia melihat lift yang tampaknya sudah mati, dengan tangga di sampingnya.
Alya membuka pintu kaca dengan hati-hati agar tidak bersuara. Masuk ke ruangan resepsionis sebelum tiba-tiba sebuah erangan kesakitan terdengar dari ujung lain ruangan. Suaranya cukup jauh. Alya seketika berlari ke arah tangga. "Gak mau tolong, gak mau tahu, gak mau tolong, gak mau tau," gumam Alya meyakinkan dirinya sendiri. Kemungkinan karena Alya terlalu banyak membaca cerita horor, biasanya orang yang menolong itu mati duluan.
Sekarang, ia hanya ingin keluar dari gedung ini. Sekitar beberapa lantai lagi, pikirnya sambil terus berlari, menuruni tangga, berputar di tiap lantai, dan kembali mencari lajur tangga turun.
Tubuh yang terbalut jaket hitam dengan celana piyama merah muda itu tiba di lantai yang gelap. Alya berhenti tiba-tiba. Jarinya menggenggam tas dengan lebih erat, menyiapkannya sebagai senjata bilamana ia bertemu yang aneh-aneh.
Waspada melewati lift, pandangan Alya terus memantau lantai ini.
Tangga turun berikutnya terhalangi batu-batu besar yang entah dari mana. Tidak ada indikasi kerusakan dari tembok di atasnya. Alya memperhatikan ujung anak tangga, sepertinya batu-batu ini bukan terkumpul dari bawah, melainkan dibawa dari lantai ini atau ke lantai ini. Ada banyak bekas gesekan batu di atas keramik tangga tempatnya berdiri.
Apa yang mungkin ada di bawah sana? Masa iya ada sesuatu yang berbahaya di bawah sana? Kenapa batu-batu ini diguling dari atas sini? Gimana caranya batu diangkat ke atas sini?
Pertanyaan terakhir membuat Alya memperhatikan lantai gelap ini lebih seksama. Suasananya masih sama dengan lantai sebelumnya, hancur. Hanya jauh lebih gelap seperti lorong yang tak Alya pilih tadi.
Tiap jendela lebar di sisi tembok membuat Alya berpikir untuk terjun dari lantai ini. Alya menelan ludah. Mendekat pada jendela yang tidak berkunci. Suasana parkiran malam hari dengan lampu-lampu jalan lebih baik daripada cekaman di dalam gedung ini. Mungkin ini sekitar lantai di atas lantai pertama, tidak begitu jauh, pikir Alya.
Alya memerintahkan otaknya untuk mencari cara keluar, memperhitungkan kesakitan yang akan ia alami jika terjun dari lantai dua ini.
Alya memutar otak dan badannya, hingga menemukan sebuah mesin penjual minuman otomatis tepat di belakangnya dan memutuskan untuk mengarahkan mesin tersebut ke arah jendela.
Sebenarnya, ada lubang besar dengan pecahan tembok ke arah dalam sekitar tujuh meter dari tempat Alya berpikir. Namun, Alya belum menyadarinya karena pikirannya tertuju pada bagaimana cara mengarahkan vending machine agar kacanya pecah dan ia bisa keluar, kemudian terjun.
Alya mencoba mengangkat mesin itu. Namun, berat. Terlalu berat bagi Alya.
Alya berhenti sebentar, mencari sesuatu yang dapat membantunya memindahkan mesin ini.
Pandangannya sempat terhenti di lubang besar yang berpotensi sebagai solusi bagi masalahnya itu. Namun, Alya malah mencari kayu panjang di sekitarnya.
Dalam hidup, ketika manusia mencoba mencapai sesuatu, kemungkinan ada masa saat mereka melewatkan hal besar yang terpampang jelas di depan mata. Untuk Alya, momen ini adalah masanya.
Sedangkan lubang besar seakan memasang tampang tidak percaya pada Alya yang tengah mencari besi di depan mulutnya.
***
.
.
.
Ending chapter model apa ini?
Kuanggap ini sebagai proyek pemanasan buat nulisku. Sudah lama sekali rasanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top