Catatan 6: Para Pengguna Senjata Suci
Ini kesalahanku, benar-benar kesalahanku. Seharusnya aku tidak menolong Hanami. Lebih baik aku segera pergi dari tempat ini sesegera mungkin. Semalam, Hanami memilih untuk menginap denganku. Dia tidur apa adanya asalkan dia selamat.
Hari ini aku berencana melanjutkan perjalanan menuju ke kota lain. Pagi disambut oleh burung pipit yang bernyanyi sembari bertengger di atap rumah. Sepanjang perjalanan. Aku selalu memandang burung-burung itu. Begitu merdu suaranya hingga membuatku sedikit sejuk.
Kawasan Kota Edo sejak pagi sudah ramai dengan penduduk yang melangkah ke sana kemari. Ada beberapa yang hendak membuka toko dan ada yang sebaliknya. Mungkin toko-toko yang buka semalam kini mulai tutup hingga menunggu malam tiba untuk kembali buka.
Aku dan Hanami melangkah sejajar di antara para kerumunan, memastikan para ronin itu tidak muncul. Cukup was-was juga rupanya. Aku tidak tahu pasti berapa jumlahnya, namun aku tetap harus waspada. Tidak ada yang aneh sepanjang jalanan ini. Semua kelihatan normal. Yang paling serius menatap sekitar hanyalah Hanami. Lagi pula ini adalah kesalahannya, urusannya. Aku menghelakan napas lesu. Tidak paham dengan pola pikirannya. Tangan kananku membawa bungkusan kain yang berisikan buku dan uang. Tangan kiriku memegang katana supaya tidak jatuh dari obi yang sudah kuikat dipinggul.
"Sejauh ini tidak ada yang aneh, Hanami-san," kataku sembari melihat ke sana kemari.
"Mungkin mereka tidak muncul saat ini."
Yang benar saja? Lalu, kenapa malah meminta pertolonganku? Seharusnya dia tidak perlu berada di bawah perlindunganku selama dia punya kesempatan untuk kabur.
Dua jam kami berjalan ke sana kemari tanpa tentu arah, mengelilingi Kota Edo. Sebenarnya tidak penuh Kota Edo kuputari. Kota ini cukup besar untuk dikelilingi dalam satu hari. Bahkan untuk dua hari pun tetap tidak ada yang sanggup mengelilingi.
Matahari terus bergulir ke atas, hingga menunjukkan waktu tengah hari. Perutku berbunyi keroncongan. Aku memegang perutku yang tidak bisa menahan lapar. Memang sejak pagi, sejak aku beranjak dari penginapan bersama Hanami, aku belum belum makan sama sekali.
"Itu diaa!" seseorang berteriak menunjuk ke arah kami. Dia membawa katana berwarna hitam di pinggang. Ini gawat. Dia tidak sendirian melainkan bersama 5 temannya.
"Miyuki-san, aku punya ide yang lebih baik."
"Apa?"
"Larii!"
Aku dan Hanami, pun berbalik arah, lari dari kejaran para ronin itu. "Tunggu kenapa kita tidak melawannya?" tanyaku. Ini tidak sesuai dengan rencana semalam.
"Memangnya, kamu berani melawan mereka yang jumlahnya lebih dari satu?"
Ah, benar juga, harusnya aku tidak memaksakan diri. Setidaknya kami lari dulu dari kejaran para ronin. Kami berlari, menyibak pejalan kaki yang lainnya. Tepat di depan kami, terdapat gerobak yang menghalangi jalan. Hanami berlari dengan cepat, dia melompati gerobak itu. Aku pun juga ikut melompati gerobak yang berisikan jerami itu.
Para ronin itu, mereka tidak ada berhentinya berlari. Salah satu dari mereka menarik katana mulai menebas secara vertikal. Sihir dari katana tersebut keluar, berupa api. Aku refleks menghindar, terpaksa berpisah dengan Hanami. Memasuki jalan yang diapit oleh dua bangunan. Namun, apa yang ada di depanku tidak sesuai harapanku. Jalan buntu!
Aku pun berbalik badan. Sebenarnya ada satu cara lagi. Melawan mereka. Baiklah tidak ada cara lain, aku mulai menjatuhkan bungukasan kain yang kubawa. Setidaknya aku tidak membunuh mereka. Lalu, kupegang pegangan katana berwarna ungu, siap menarik keluar dari sarung. Mereka sejak tadi sudah mengeluarkan katana dari sarungnya. Berjumlah dua orang, seharusnya tidak terlalu sulit bagiku.
"Kau tidak bisa lari lagi, gadis kecil."
Gadis kecil, katanya? Mereka hanya belum tahu siapa aku. Suasana sekitar kami lengang. Salah satu dari mereka mulai menyerang, menebas secara vertikal, namun aku menghindar, serangannya mengenai udara kosong. Aku menarik katana menyerang kembali. Hanya saja aku menargetkan pada katana-nya. Katana-nya patah seketika dalam sekali serangan. Kemudian, aku mulai menyerang pria satunya. Hingga terpental keluar dari jalan sempit, menghantam dinding bangunan.
Itulah akibatnya kalau mereka berhadapan dengan gadis ronin. Aku berjalan keluar dari jalan yang sempit, sembari membawa bungkusan kain yang kujatuhkan tadi. Sekarang di mana Hanami berada. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Namun, saat itu juga terdengar suara ledakan dua sihir yang saling menghantam. Aku pun segera berlari ke sumber suara bersamaan para penduduk Kota Edo.
Tidak salah lagi, Hanami menghadapi tiga ronin itu dengan busur yang mengeluarkan kekuatan es. Meski berulang kali menyerang, tidak ada menyerahnya para ronin itu. Dia dengan lincah menghindari serangan sembari menarik busur. Berulang kali anak panah itu ditepis oleh para ronin. Tiba-tiba saja, tidak lama datang seseorang dengan membawa banyak anak buah. Seorang pria yang tubuhnya kekar, wajahnya sedikit keriput dengan rambut yang dikucir seperti ekor kuda. Mengenakan hakama berwarna abu-abu.
"Hanami!" pria itu menyentak. Pertarungan berhenti seketika.
Apa dia pemimpinnya? Itu masih perkiraanku. Ternyata ini jauh lebih rumit yang aku bayangkan.
"Kembalilah dan hentikan pertarungan ini. Kau tidak akan pernah menang melawan kami lagi."
"Tidak! Aku tidak akan kembali. Bagiku jalur yang kalian tempuh memang sedikit sa—"
Aku melangkah dengan sendirinya, berdiri tepat di samping Hanami. Aku sedikit tertunduk supaya mereka tidak bisa memandang wajahku yang tertutup topi caping dengan jelas. Suasana semakin menegang di sekitar. Aku mengepalkan tangan dengan erat. Berusaha rileks. Pertempuran seperti ini tidak bisa dilakukan dengan perasaan yang tengang.
"Miyuki-san?" Hanami memanaggil namaku.
Aku mengangguk. "Dia orang yang tidak memperbolehkan dirimu keluar?"
"Iya, dia pemimpin ronin di Kota Edo."
Sudah kuduga tidak salah lagi. Tidak ada cara lain lagi. Tidak mungkin juga kalau kabur. Itu malah akan menambah masalah. Semoga saja masalah ini selesai begitu saja dan hanya sampai di sini.
"Tolong bawakan ini," pintaku pada Hanami, sembari kuberikan bungkusan kain yang berisikan buku.
Dan aku mulai melangkah maju. Hingga berhenti jika dirasa cukup. Aku tetap tertunduk.
"Kau adalah pemimpinnya, bukan?" aku bertanya dengan yakin.
"Siapa kau, gadis kecil? Mau melawan kami?"
Dia bertanya atau mengejek? Entahlah, tapi para ronin di belakangnya langsung tertawa terbahak-bahak.
Tetap tenang dan rileks.
"Kalau memang iya, lalu kenapa?" aku membalasnya, "Aku memang ingin melawanmu."
Tawa mereka pun berhenti seketika. Bagus, mereka kini tahu kalau aku bersungguh-sungguh ingin melawan.
Pemimpin ronin itu menarik katana berwarna coklat keluar dari sarung.
"Tapi, sebelum melawan, aku ingin membuat kesepakatan dengan kalian."
Pemimpin ronin yang hendak menyerang itu mulai menahan diri. "Katakan saja apa kesepakatannya?"
"Pertama, jika aku menang kalian harus melepaskan Hanami-san dari kumpulan kalian. Kedua jika aku kalah, kalian boleh membawa Hanami-san dan aku. Bagaimana?" tanyaku sembari menatap sinis mereka.
"Baiklah." Pemimpin ronin itu tanpa basa-basi lagi melakukan kuda-kuda atas. Baiklah kalau begitu. Aku mulai memegang pegangan katana, siap menariknya keluar. Mungkin ini akan jadi salah satu ajang sekali serang. Setidaknya aku hanya mengincar mata bilahnya. Aku mulai memasang kuda-kuda. Menarik napas dalam-dalam.
Suasana makin menegang di sini. Seluruh penduduk Kota Edo melihat pertempuran ini dengan berbisik-bisik. Aku tidak tahu ekspresi Hanami yang berada di belakangku. Mungkin dia menunjukkan wajah khawatir. Baiklah tidak perlu basa-basi. Tidak perlu tahu juga, elemen yang berada di dalam katana musuh. Seandainya tidak punya pun tidak masalah.
Seketika aku mulai berlari dengan cepat, mengeluarkan sihir petir berwarna ungu. Begitu juga dengan musuh, dia juga berlari cepat ke arahku. Ketika berada di tengah. Aku mulai menghantam dengan kuat mata bilahnya. Ketika kami melewati satu sama lain. Aku mulai berdiri dengan tegak, berbalik. Seketika di belakangku sedikit berantakan tanahnya. Beberapa ada batuan yang muncul tiba-tiba padahal sebelumnya dia tidak ada. Namun, aku tidak peduli sama sekali, aku kemudian melihat katana musuh yang juga patah.
Aku kembali memasukkan katana ke dalam sarung. Semua orang ternganga melihat kejadian barusan. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana gambaran aslinya. Aku pun mengampiri Hanami, sembari melewati Pemimpin ronin itu tanpa basa-basi. Aku juga tidak peduli bagaimana ekspresi Pemimpin ronin itu.
"Ayo kita pergi, Hanami-san," ajakku.
Hanami mengangguk. Aku melangkah terlebih dahulu, baru disusul oleh Hanami dari belakang. Sekarang semua sudah selesai dan ini waktu yang tepat untuk mengembara ke tempat selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top