Catatan 5: Malam yang Tidak Tenang

Senja tiba begitu cepat. Sepanjang hari aku berkeliling Kota Edo. Mungkin hanya beberapa persen saja. Waktuku berkeliling terkuras banyak akibat kelakuan gadis pencuri itu. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan saat ini. Warna jingga sudah mewarnai langit, sekarang waktunya kembali ke penginapan.

Setibanya di penginapan, aku melepaskan topi caping, meletakkan sekantung uang di atas meja. Tubuhku mulai merebahkan diri di atas tatami. Entah kenapa rasanya sangat melelahkan sekali hari ini. Kupikir ini bisa jadi hari yang tenang, tetapi nyatanya tidak.

Aku teringat suatu hal, menoleh pada kain yang berisi buku kosong. Aku membuka kain itu, mengambil buku kosong. Aku sangat jarang menuliskan rekam jejak. Karena bagiku tidak ada yang menarik untuk ditulis. Setiap kali membuka buku itu, aku selalu teringat kalimat dari ibuku. Tulislah apa yang kamu lalui, setiap kisah di setiap tempat pasti ada, entah itu berupa hari burukmu, senangmu, atau lainnya.

Menghelakan napas sedikit lesu. Mungkin aku bisa menceritakan kejadian barusan. Pencuri yang berani. Tidak masalah, toh dia sendiri juga tidak tahu siapa aku. Aku mengambil tinta yang berada di ruangan ini. Memang selalu disediakan di sini. Aku mulai menulis dengan pelan, dengan menggunakan ujung bulu. Guratan hiragana membentuk kalimat. Kalimat menjadi sebuah paragraf.

Tidak terasa, aku menulis selama dua jam. Dua lembar terisi penuh oleh kisahku barusan. Ini kemungkinan menjadi rekorku mencatat. Di luar langit semula senja, kini berganti malam. Mungkin sudah saatnya untuk tidur. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok.

Aku mulai mempersiapkan futon, mengganti pakaian dengan hakama yang sudah disiapkan oleh penginapan. Setelah mengganti pakaian, aku mulai mematikan lilin, lalu merebahkan diri. Ruangan gelap gulita, hanya ada cahaya bulan yang menembus sedikit dari balik jendela. Perlahan aku mulai memejamkan mata.

Empat jam kemudian, aku membuka mata. Terdengar suara aneh dari luar. Aku tidak tahu dari mana asalnya, terasa samar-samar. Dengan cepat aku mengambil katana yang berada di atas meja.

Kemudian, terdengar kembali suara, seperti kayu yang terjatuh. Kucing berteriak di luar sana. Mungkin sumber suara itu berasa dari luar. Aku tidak tahu siapa yang ada di sana. Namun, ini benar-benar menggangguku. Aku perlahan bangkit, melangkah menuju jendela. Tiba-tiba saja, jendela yang ada di hadapanku terbuka dengan sendirinya. Aku memegang pegangan katana, siap menariknya keluar dari sarung.

Sebuah tangan muncul tiba-tiba, bercengkraman dengan erat pada jendela. Kemudian tangan satunya keluar. Aku melepaskan penuh katana dari sarung. Siapa pun itu, aku tidak segan-segan menghajarnya hingga babak belur. Aku menatap tangan itu lamat-lamat, mengernyitkan dahi.

Tak lama, muncul sebuah kepala dengan rambut yang menutupi wajah. Hantu?! Yang benar saja, apakah penginapan ini angker? Aku mulai menyondorkan katana, petir dengan cepat menyambar orang itu, hingga terjatuh kembali ke tanah.

"Aduh!" kumendengar suara lirih itu. Dengan cepat aku mengampiri jendela, memandang apa yang sebenarnya tengah terjadi di bawah sana. Saat aku melihat, aku merasa pernah bertemu dengan gadis itu. Berambut putih dengan mengenakan yukata bermotifkan bunga. Ternyata si pencuri itu.

Kali ini dia ingin mencuri apa lagi?

"Kalau menyerang kasih tahu dulu!" Dia marah. "Kau tidak tahu apa? kalau aku tengah dikejar?"

"Maaf, tapi jika kamu ingin bersembunyi jangan di kamar ini!" aku membalasnya dengan ketus.

"Hei, aku mengenalmu, tadi siang kita baru saja bertemu, bukan? Sekarang ijinkan aku untuk berlindung, aku mohon."

Tanpa kau ingatkan juga, aku sudah mengenalmu. "Maaf, kamu pasti berbuat ulah lagi, bukan?"

"Ayolah, tolong aku, ini keadaan genting!" Dia memohon.

Tidak jauh, terdengar suara teriakan para penduduk. Baiklah untuk kali ini saja, setelah itu berjanjilah untuk tidak bertemu dengan gadis ini lagi.

"Baiklah masuklah."

Dia memanjat dinding, melalu beberapa kayu yang menonjol. Dia berhasil memasuki melalui jendela. Aku menutup dengan cepat jendela. Terjadi keributan di luar sana. Aku menghelakan napas dengan lesu.

"Sebenarnya, apa yang terjadi padamu?" Aku bertanya, melipat kedua tangan, menatap dia lamat-lamat.

"Jika, aku menceritakan mau kan, kamu menolongku."

Aku menyipitkan mata, tidak paham dengan pola pikirnya itu. Apa mungkin lebih baik tidak usah dibantu?

"Kalau begitu kamu tidak perlu bercerita." Aku hendak kembali ke futon melanjutkan tidurku. "Oyasumi."

Dia lantas dengan cepat mencengkram tanganku. Menahanku untuk pergi tidur.

"Baiklah-baiklah, akan kuceritakan tanpa imbalan apa pun."

Itu baru yang kusuka. Aku pun kembali duduk berhadapan dengan gadis ini. Entah aku saat itu belum tahu nama aslinya.

"Sebelumnya perkenalkan namaku adalah Hanami. Aku berasal dari desa yang sangat jauh. Jadi, masalah yang sebenarnya tengah kualami adalah aku tengah dikejar-kejar oleh para ronin." Hanami menggaruk kepala yang terlihat tidak gatal. "Sebenarnya, aku terpaksa bergabung dengan mereka karena tidak memiliki uang. Namun, aku sebenarnya ingin keluar dari kelompok itu. Dan kini mereka tengah mengejarku."

Jadi, tadi bukan suara penduduk? Hanya beberapa ronin. Ternyata cukup besar juga kelompok ronin di sini. Ternyata efek dari perang Sekigahara sendiri masih berdampak hingga kini. Wajar saja, kekalahan para samurai-samurai di masa lampau menyebabkan diri mereka berubah menjadi ronin. Kebanyakan dari mereka mengembara dan beberapa ada juga yang membajak pemasok makanan.

"Hanami-san, kenapa kamu tidak melawan mereka saja? Maksudku kamu adalah pengguna kekuatan es, bukan?" aku berusaha meyakinkan.

"Masalahnya para ronin ini memiliki senjata suci. Aku tidak tahu bagaimana mereka mendapatkan senjata suci itu. Lagi pula kalau aku menyerang sendirian itu sama saja bunuh diri."

Ternyata lebih parah dari bayanganku. Ini benar-benar berbahaya. Senjata suci sebenarnya hanya diwariskan oleh orang-orang tertentu. Namun, bagaimana para ronin ini bisa memegang senjata suci?

Peredaran senjata suci sudah dimulai sejak Perang Sekigahara berakhir. Senjata suci sendiri tercipta dari seorang penyihir dengan memasukkan kekuatan magis ke dalam senjata. Namun, sebenarnya tidak sembarangan orang yang dapat menggunakan senjata suci. Ada dua tingkatan mengenai senjata suci ini. Senjata suci dan senjata suci tingkat atas. Senjata suci tingkat atas juga memiliki konsep yang sama dengan senjata suci pada umumnya. Harus menjadi orang terpilih.

Aku tertunduk setelah mendengar cerita dari Hanami. Apa mereka adalah orang-orang terpilih yang salah menggunakan kekuatannya? Bisa saja ini terjadi. Kemungkinan pertanyaanku ini bisa menjawab. Namun, masih hanya kemungkinan. Benar-benar aneh.

Apakah aku harus menolong Hanami? Masalah yang dihadapinya juga tidak membuatku menjadi seorang buronan. Aku menghelakan napas sejenak, memejamkan mata, mencari jalan keluar.

"Baiklah, aku akan membantumu. Namun, akan kulakukan besok, sekalian melanjutkan perjalanan."

"Eh, memangnya kamu...."

"Miyuki itu namaku. Aku hendak pergi ke tempat lain. Entah kapan pengembaraanku ini berakhir."

"Aku boleh ikut?" Hanami bertanya, matanya berbinar.

Aku menggeleng. "Tidak ada yang boleh ikut seorang ronin."

"Tapi, aku juga ronin aku juga tengah dalam perjalanan menuju rumah. Jadi, apakah aku boleh ikut juga?"

"Tidak." Aku tetap bersikeras untuk tidak memperbolehkan Hanami ikut. Sebenarnya aku tidak ingin karena pasti dia akan terus mengusikku.


Oyasumi memiliki arti selamat malam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top