Catatan 4: Kota Edo
Gerobak kuda berhenti tepat di perbatasan Kota Edo. Aku yang meminta sang kusir untuk berhenti di sana. Aku turun, mengucapkan terima kasih sembari membungkukkan badan. Namun, ketika aku memberinya sekeping koin, dia tetap menolak. Baiklah kalau begitu. Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih.
Kota Edo merupakan pusat dari Keshogunan Tokugawa. Wajar saja jika ramai orang berlalu-lalang tiada henti. Ada beberapa samurai yang melintas dengan gagah, membawa katana. Ada juga yang mengembara dan singgah sementara di sini. Suasana kota yang ramai. Aku melanjutkan langkah, mungkin mencari penginapan terlebih dahulu. Aneh, juga mungkin aku menjadi satu-satunya pengembara yang memiliki uang. Aku terus melangkah, menikmati suasana kota yang padat. Ada beberapa kios yang menjual makanan. Ketika aku melewatinya, perutku berbunyi keroncongan. Aku belum sarapan.
Aku mengampiri kios yang menjual makanan manis, Dorayaki. Setidaknya, ini bisa mengganjal perut sementara. Aku memesan satu pada penjual. Setelah membeli, aku melanjutkan langkahku, sembari menikmati dorayaki. Rasanya masih sama enaknya dengan yang ada di desa. Kalau tidak salah, ada satu kios di desaku yang menjual dorayaki. Penjualnya kalau tidak salah saat itu merupakan pria tua. Aku sering membelinya di sana sewaktu masih berlatih kendo bersama Yonebu-san. Namun, saat aku menginjak umur 15 tahun, pemilik kios itu meninggal. Meski, dilanjutkan oleh anaknya dan rasanya masih sama enaknya, tetap saja masih meninggalkan luka setelah kepergiannya.
Entah kenapa, aku tiba-tiba mengingatnya. Itu sudah lama sekali. Rasanya ingin menangis saja. Aku terkekeh sendiri, sembari menikmati dorayaki. Kota ini mungkin sangat besar, jadi tidak mungkin aku mengelilinginya dalam waktu sehari. Keramaiannya membuatku tidak merasa bosan.
Matahari masih berada di langit. Tengah hari telah tiba. Aku terus melangkah di bawah teriknya matahari, mencari penginapan yang murah. Sejak tadi, aku berkeliling, kebanyakan penginapan memasang harga cukup mahal sekitar 70-100 mon. Aku kini tiba di sisi lain kota. Ada sebuah penginapan yang sederhana. Mungkin mereka memasang harga murah. Aku memasuki penginapan itu, berbentuk sederhana. Semua seolah terbuat dari kayu. Termasuk meja dan kursi. Ada pria penjaga menunggu di depan meja. Kelihatannya dia pemilik penginapan ini. Aku mengampirinya.
"Permisi, apa di sini ada kamar kosong?" tanyaku.
"Tentu saja ada, harganya 50 mon."
Ini dia yang aku cari. Tidak masalah, selama nanti malam aku bisa beristirahat dengan tenang. Aku pun pergi ke kamar yang berada di lantai dua. Ketika memasuki kamar, ternyata terlihat sempit. Hanya ada satu futon dan juga meja kotak yang berada di tengah ruangan dengan dikelilingi oleh dua zabuton. Baiklah, tidak masalah. Selain itu ada jendela dengan kertas washi.
Aku meletakkan barang bawaanku di atas meja, lalu membuka jendela. Ternyata di bawah sana benar-benar ramai oleh penduduk yang menetap atau pengembara lainnya. Mungkin ini saat yang tepat untuk berkeliling. Aku mengambil kantung uang yang berada dalam bungkusan kain berwarna putih.
Setelah keluar dari penginapan, aku lupa ingin ke mana. Ke mana saja mungkin boleh. Makin siang kota ini semakin ramai saja. Kadang ada juga yang memasang poster orang buronan. Ternyata di kota kejahatan lebih marak terjadi. Di desaku, kejahatan jarang terjadi. Itu karena mereka sering bergotong-royong sehingga keamanan sangat ketat. Wajar saja desa terpencil.
Terus melangkah mengikuti jalan, di depan ada persimpangan, aku berbelok ke kanan. Tanpa kusadari, aku menabrak seorang gadis. Dia mengenakan yukata berwarna merah muda dan juga di punggungnya, dia membawa busur dan anak panah. Kemungkinan, gadis ini merupakan seorang pengembara.
Dia pun meminta maaf, meninggalkanku begitu saja. Namun, tiba-tiba saja aku tersadar, tanganku tidak menyentuh apa pun. Aku menghelakan napas dengan lesu. Jadi, begitu cara kerjanya pencuri di Kota Edo. Dengan cepat, aku berbalik mengejar pencuri barusan.
Berlari menyibak pejalan kaki lainnya. Aku pun melihat gadis pencuri itu. Ketika dia menyadari keberadaanku, dia berlari. Sial, kenapa hari indah ini malah berakhir buruk. Tidak ada pilihan lain selain menangkapnya. Gadis itu berbelok ke kiri, memasuki jalan yang diapit oleh dua bangunan. Dia pun mulai memanjat ke atas atap. Ternyata dia lincah juga, apa gadis itu seorang ninja? Aku pun juga ikut memanjat. Kalian pikir, aku hanya berlatih kendo saja? Tidak, aku sebenarnya cukup mahir untuk memanjat dan melompat.
Gadis itu masih saja tidak berhenti berlari. Aku mengejarnya di atap secepat mungkin. Hingga akhirnya cukup dirasa dekat, aku mulai mendorongnya. Kami berdua jatuh dari atap, menghantam tanah. Kalau kalian bertanya apakah sakit? Pikirkan sendiri.
"Aduh, aduh." Dia berusaha bangkit.
Aku sejak tadi, langsung bangkit. Ternyata tempat yang sangat bagus sewaktu aku mendarat. Tempat yang tidak memiliki jalan keluar, diapit oleh dua bangunan, kecuali jika gadis itu kekeh memanjat lagi. Aku mengenakan topi caping yang terlepas sewaktu mendarat.
"Sekarang, kembalikan, uang-uangku!"
"Tidak! Kalau kau ingin uangmu kembali, hadapi aku dulu." Dia mengambil busur di punggung dan satu anak panah. Mulai menarik senar, membidik ke arahku.
Pada panah itu, keluarlah sebuah kekuatan sihir. Dia ternyata membawa senjata suci.
"Baiklah, tidak ada pilihan lain selain melawan. Jika itu maumu, aku akan meladeninya." Aku memegang katana, siap menariknya. Sebenarnya aku tidak mau membunuh gadis ini. Kutatap dia lamat-lamat. Siap kapan pun menyerangnya.
Gadis itu melepaskan anak panah, melesat ke arahku. Sekarang saatnya, aku menunjukkan kemampuanku. Kutarik katana yang ada di pinggang, keluar dari sarungnya. Menebas panah yang hendak mengenaiku. Mata bilah katana mengeluarkan efek petir.
Aku mulai berlari, mendekati gadis itu. Menodongkan katana tepat di depan wajah. Mata gadis itu terbuka lebar. Dia membeku tidak melakukan perlawanan sama sekali. Aku memasukkan katana lagi ke dalam sarung pedang.
"Sekarang kembalikan uangku!" pintaku sedikit tegas. "Aku juga tidak akan melaporkanmu pada pihak berwajib, sekarang kembalikan!"
Dia melemparkan kantung kecil yang berisi uangku. Aku menangkapnya, membuka kantung kecil sedikit. Syukurlah ternyata masih ada. Saat hendak berbalik, langkahku tertahan. Gadis itu yang aku kejar, dia sedikit lesu. Tergambar dalam guratan wajahnya yang murung.
Gadis itu, berambut panjang berwarna putih. Dia memang sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Wajahnya terlihat muda, kemungkinan dia lebih muda dariku.
Mungkin ini cara terbaik. Aku mengampirinya, memberikan gadis itu uang sebesar dua mon. Itu cukup membeli makanan di sini.
"T-terima kasih." Dia menerimanya.
"Berjanjilah jangan pernah mencuri lagi setelah ini. Sekarang pergilah!"
Gadis itu mengangguk, dia melintasiku, keluar menuju jalanan. Aku tidak tahu siapa namanya. Mungkin setelah ini dia akan berubah walau sedikit. Terkadang perubahan yang kecil pun juga lebih baik.
Futon merupakan tempat tidur tradisional.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top