Catatan 2: Awal Dari Segalanya
Tiga belas tahun yang lalu, sewaktu aku masih berumur lima tahun. Aku memang tidak menyadari jika Ayah sudah tiada. Selalu dan selalu, Ibu mengatakan kalau Ayah tengah pergi berkerja, melayani Keshogunan Tokugawa. Suatu saat Ayah pasti kembali, itulah yang Ibu katakan padaku.
Aku mulai tumbuh besar, tanpanya. Hanya bersama Ibu. Dengan wajah tidak tahu apa pun aku selalu menunggu di depan pintu, menanti kedatangan Ayah. Aku melakukan itu dari kecil, hingga umurku mulai menginjak 13 tahun. Aku sudah menyerah menunggunya kembali. Toh kalau dia kembali, pasti pintu itu akan terbuka.
Di umurku yang sudah 13 tahun itu, aku berlatih kendo bersama teman dari ayahku. Yonebu-san namanya. Dia adalah sensei yang selalu mengajariku berlatih teknik dasar dengan pedang bambu. Aku dengan cepat meresapi materi yang dia berikan. Praktik pun, aku selalu mendapat nilai bagus.
Murid di sekolah pelatihan kendo itu hanya aku semata. Satu-satunya siswa. Awal belajar di sini, aku selalu takut dengan wajah garang Yonebu-san. Alisnya selalu mengkerut, bibirnya dilengkungkan ke bawah. Berdiri gagah. Namun, apa yang terjadi, itu sebaliknya. Dia mengajariku dengan segenap hati, pelan-pelan, tegas, dan disiplin.
"Kunci menjadi seorang samurai adalah disiplin. Jika kamu tidak disiplin, musuh akan menyergapmu dengan cepat." Itulah yang selalu dikatakan olehnya.
Setiap hari ke tempat pelatihan kendo itu. Berlatih kuda-kuda, cara memegang pedang dengan benar. Selepas latihan, aku selalu bercanda dengannya. Kadang dia juga bercerita.
"Miyuki-san, nama yang bagus," ujarnya dengan tenang dan santai. "Ayahmu pintar dalam memilih nama untuk seorang gadis sepertimu."
Aku duduk bersimpuh di engawa bersama Yonebu-san. Langit saat itu sudah berubah menjadi senja, jingga yang mewarnai langit biru. Sesekali terdengar ketukan bambu yang merupakan hiasan pancuran pada kolam.
"Ayahmu, baik-baik saja, dia kini pasti bekerja dengan giat. Kamu pasti akan jadi penerusnya kelak."
"Yonebu-san, kau kenal dekat dengan ayahku?" tanyaku sembari menoleh.
Dia mengangguk. "Aku adalah teman seperjuangannya, berada di pihak Tokugawa. Saat pertempuran, ayahmu, sangat keren, mengayunkan katana dengan lincah, siapa menebas apa yang ada di depannya."
Yonebu-san berhenti bercakap. Dia menundukkan kepala. Entah apakah dia lupa dengan Pertempuran Sekigahara. Dia diam lama sekali. Mungkin ceritanya sudah berakhir.
"Aku ingin jadi seorang samurai." Kalimat itu spontan keluar dari mulutku. Itu keinginanku. Maju di medan perang. Beberapa tahun sebelumnya juga pernah ada samurai berjenis kelamin perempuan, Tomoe Gozen dan Onna Bugeisha.
Yonebu-san menolehku dengan takjub. Aku bangkit dari duduk bersimpuh.
"Sekarang waktunya untuk latihan."
Yonebu-san tertawa, terbahak-bahak. Aku bingung, apa yang sebenarnya tengah ditertawakan olehnya?
"Kamu pasti bisa menjadi seperti ayahmu. Lagi pula sekarang adalah waktu yang tepat untuk beristirahat. Seorang samurai harus membagi waktu, itu sebenarnya bagian dari kedisiplinan." Nada bicara yang berat itu, membuatku selalu ingat hingga saat ini.
***
Lima tahun kemudian, umurku menginjak 18 tahun. Aku menjadi anggun di antara para lelaki satu desa. Bahkan Yonebu-san juga takjub dengan kecantikanku. Mengenakan yukata bermotifkan bunga sakura. Siapa juga yang tidak kagum, seorang gadis cantik yang juga pintar dalam menggunakan katana?
Aku hendak pergi ke tempat pelatihan kendo, kini aku juga diangkat sebagai salah satu pelatih di tempat tersebut. Yang datang ke sana sangat banyak. Lelaki dan perempuan. Para laki-laki kemari hanya ingin melihat kecantikanku, para perempuan datang kemari karena kagum. Aku tidak percaya bakal jadi seperti ini.
Selalu, aku melatih para perempuan dengan baik, meski begitu aku dan mereka cukup dekat saat di luar latihan. Sayang sekali, para lelaki hidung belang tidak bisa berlatih denganku. Mereka pasti akan melakukan hal aneh-aneh. Mungkin. Yonebu-san yang melatih mereka dengan tegas, sesuai aturan, disiplin.
Siswa yang kuajar, mereka mempelajari bagaimana melakukan kuda-kuda atas—Jodan no kamae. Semua sesuai dengan apa yang telah kupelajari. Namun, ada satu siswi dia merasa tidak bisa. Selalu berdiam diri di pojok. Aku mengampirinya. Menanyai dengan pelan.
"Kau baik-baik saja?"
Dia hanya tertunduk. Antara malu tidak bisa melakukannya atau mungkin dia tidak bisa berbaur.
"Katakan saja, jika kamu memiliki masalah." Aku mencoba untuk membujuknya.
Namun, dia tetap saja menundukkan diri. Aku menghelakan napas, tidak tahu harus berbuat apa dengan gadis yang satu ini. Mungkin cara yang satu ini akan berhasil, seketika saja terlintas di benakku.
"Hei, kau kosong minggu nanti?" aku bertanya dengan lembut. Tidak ada lesu meski sebenarnya lesu juga. Siapa yang mau mengajar di hari libur.
Dia mengangguk. Mungkin dia kosong minggu nanti. Tidak masalah, selama dia mau datang, aku bersedia. Ini juga demi kebaikannya.
Hari minggu atau mungkin hari libur, dia datang benar ke dojo. Aku tidak menyangka. Seorang diri. Sebelumnya juga aku telah meminta izin pada Yonebu-san untuk meminjam dojo sebentar hanya untuk latihan.
Siap untuk melatihnya. Baiklah, aku mulai menunjukkan kuda-kuda atas. Tubuhku berdiri tegak. Kedua tanganku memegang pegangan pedang bambu dengan sedikit rileks, bukan berarti santai. Kaki kananku sedikit maju, kaki kiri sedikit ke belakang. Ujung pedang, aku berusaha mengira-ngira seberapa tinggi. Itulah yang aku tunjukan pada gadis kecil itu.
"Bagaimana, kau sudah paham?" aku bertanya sekali lagi.
Dia mengangguk. Dia berusaha menirukan gerakanku yang baru saja kutunjukkan. Hanya saja dia sedikit kesulitan. Meski di awal dia banyak melakukan kesalahan, toh tidak masalah, nanti juga dia akan bisa dengan sendirinya. Aku mengajarinya dengan pelan. Meski dia sedikit lambat menerima materi.
Hari sudah senja dengan cepat. Tidak terasa, seharian penuh aku mengajari gadis ini. Aku dan dia duduk di engawa, menikmati senja yang begitu indah. Ini mengingatkan diriku saat berumur 13 tahun, bersama Yonebu-san. Oh ya, aku melupakan satu hal. Nama gadis itu. Sebenarnya aku sudah mengetahui nama aslinya. Hanya saja, aku lupa menyebutkan dalam catatanku ini.
Nama gadis yang kini duduk bersamaku adalah Asa-san. Nama yang bagus, memiliki arti di pagi hari. Gadis itu berambut pendek, sedikit memanjang hingga menyentuh pundak. Terdapat perhiasan bunga pada rambutnya. Bunga sakura.
"Asa-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku dengan pelan, "apa yang membuatmu ingin berlatih kendo?"
Dia menoleh padaku, lalu kembali tertunduk. "Aku hanya ingin menjadi samurai. Orang tuaku memang berada di kasta terendah dan tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang teknik berpedang. Jadi, mereka mendaftarkanku di sini."
Kelihatannya alasan yang satu ini, lebih masuk akal. Bukan karena kagum padaku seperti gadis lainnya, tapi itu keinginan terdalamnya. Aku lupa, apa tujuanku kemari. Tiba-tiba saja, Ibuku mendaftarkanku kemari.
***
Hari menjelang malam. Aku kembali ke rumah, membuka pintu yang digeser dengan mengucapkan tadaima. Ibuku selalu menyambut dengan gembira. Kebetulan sekali dia selesai memasak. Sayang sekali aku tidak bisa membantunya. Walau berulang kali aku membantunya, Ibu selalu menolak, entah apa alasannya.
"Itadakimasu." Aku dan Ibu menikmati makan malam yang sangat lezat, meski terkesan sederhana.
"Miyuki-chan, nanti tolong bersihkan loteng ya. Ibu sedikit kelelahan hari ini."
Ini baru pertama kalinya, Ibu meminta tolong padaku. Entah ada apa dengannya. Namun, aku mengiyakan permintaannya. Aku juga cukup menganggur malam ini.
Selesai makan, aku bergegas ke loteng. Pintunya agak sulit untuk digeser. Wajar saja, sudah lama loteng ini tidak dibuka. Ruangan di dalam benar-benar lembab. Aku meletakkan dua batang lilin, lalu mulai merapihkan. Banyak sekali artifak dan gulungan-gulungan. Entahlah aku tidak tahu apa isi gulungan itu. Hanya saja aku sedikit terkejut ketika membereskan loteng.
Ada sebuah katana berwarna ungu dan juga zirah perang samurai. Entahlah milik siapa ini? Mungkin kakek buyutku. Aku mengambil katana itu, meski tidak terlalu jelas warna apa, tapi kelihatannya berwarna ungu. Usai membersihkan loteng, dia turun kembali ke ruang tamu. Menunjukkan pada Ibu, katana yang aku bawa.
Ruang keluarga, tempat bersantai terasa lengang, tiba-tiba. Ini bukan suasana santai atau semacamnya. Hanya saja terasa lebih tegang. Aku memandang raut wajah Ibu yang sedikit berbeda. Ini tidak seperti biasanya. Adakah rahasia yang disembunyikan olehnya?
"Mungkin sudah waktunya mengatakan hal yang sebenarnya." Ibu mengatakan dengan pelan. Aku tidak mengerti maksudnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Itu memang benar, katana itu milik ayahmu," lanjutnya. Ibu tertunduk, aku tidak percaya, sedikit termangu. Dia melanjutkan kata-katanya. "Maafkan ibu, ibu sudah membohongimu selama ini. Ayahmu sudah tiada, dia tewas dalam Pertempuran Sekigahara. Kabar itu datang dari Yonebu-san."
Aku tidak percaya apa yang baru saja dikatakan olehnya. Dadaku terasa lebih sesak. Mataku juga berusaha menahan air mata. Tenggorokanku terasa sakit.
"Kenapa Ibu merahasiakannya?" aku bertanya, tanpa sadar air mata sudah membasahi pipi.
"Itu, karena pertama adalah wasiat dari ayahmu." Ibu berdiri, pergi ke lemari yang ada di sampingnya, membukanya. Sebuah surat dia ambil dari lemari itu. Memberikannya padaku. "Surat ini datang sebelum ayahmu tewas. Bukalah!"
Aku membuka surat itu. Membaca pesan dari Ayah. Aku membaca dengan pelan isi surat itu.
Untuk Miyuki-chan dan istriku,
Mungkin ini surat terakhir yang ayah tulis padamu. Seandainya saja besok aku tidak kembali, maka surat ini yang akan datang. Pertama untuk istriku, jaga Miyuki baik-baik, jangan beri tahu kalau besok aku sudah tiada. Beri tahu dia ketika umurnya sudah mencukupi. Kedua, aku sudah berjanji pada Miyuki kecil akan melatihnya teknik berpedang. Namun, jika besok aku sudah tidak ada, minta tolong pada Yonebu-san untuk mengajarinya. Aku yakin Miyuki akan senang. Ketika Miyuki sudah pandai menggunakan pedang, kamu boleh pergi ke mana saja sesukamu, lihatlah dunia ini atau menetap di rumah. Kalau masalah katana, kamu bisa menggunakan katana ayah.
Surat itu berhenti telah habis. Semua jadi masuk akal dan kelihatannya saling berkaitan. Pertama Yonebu-san pernah bercerita tentang Ayah, namun tiba-tiba saja dia terhenti begitu saja. Meski saat itu aku sangat semangat. Memang benar, kata Ayah, aku menyukai hal ini. Air mataku makin membanjiri. Meski bibirku sudah tersenyum, tetapi tetap saja aku tidak bisa menahan tangis ini.
Tetesan-tetesan membasahi kertas. Malam itu mengetahui kebenarannya.
Malam makin larut, aku tidak bisa tertidur. Masih duduk di engawa sembari melihat bintang-bintang. Aku memikirkan sesuatu. Tepat di sampingku terdapat katana milik Ayah. Aku mengangkatnya. Menarik keluar dari sarung. Mata bilah katana tampak mengkilap, terdapat pantulan wajahku.
Seketika saja, katana itu dipenuhi oleh petir berwarna ungu. Sihir hitam mulai keluar dari sana tiba-tiba. Sejak saat itulah, katana milik Ayah telah diwariskan padaku. Aku juga berlatih dengan pelan bersama Yonebu-san hingga siap untuk melakukan hal selanjutnya.
Selama ini aku selalu memikirkannya.
"Ibu, aku ingin mengembara." Aku mengatakan itu pada Ibu.
Kalian tahu apa jawabannya? Dia mengiyakan. Pilihaku untuk memenuhi surat wasiat dari Ayah. Mengembara ke berbagai tempat, melihat dunia yang begitu indah. Saat inilah, statusku menjadi ronin. Hanya saja, sebelum aku pergi, Ibu hanya memberikan uang secukupnya dan juga bungkusan kain yang berisikan buku dan perbekalan.
"Untuk apa buku ini?" aku bertanya penasaran.
"Rekam jejakmu, "
Aku pun mengangguk dengan paham. Akan aku tepati permintaan itu. Begitu aku kembali, aku sudah membawa banyak kenangan. Aku pun keluar dari rumah, mengucapkan selamat tinggal pada Ibu.
"Ittekimasu." Kalimat itu kuucapkan dengan senyuman pada Ibu.
"Itterasshai." Mendengar Ibu mengucapkan kalimat itu, membuatku sedikit terharu. Kalimat itu merupakan kalimat perpisahan yang cukup indah.
NB:
Kendo merupakan latihan teknik berpedang.
Sensei merupakan pelatih atau guru.
Sejenis teras atau tempat bersantai.
Tempat berlatih untuk kendo atau bela diri lainnya.
Tadaima memiliki arti aku pulang
Itadakimasu memiliki arti selamat makan.
Ittekimasu memiliki arti aku berangkat.
Itterasshai memiliki arti berhati-hatilah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top