Catatan 1: Samurai Petir

Aku melangkah di jalan setapak. Kiri dan kananku hanya berupa pepohonan yang hijau. Langit putih bersih tanpa awan sekaligus. Terik sekali matahari hari ini. Meski tubuhku telah bermandikan air keringat, kutetap melangkah terus. Entah harus ke mana, aku tidak tahu sama sekali. Aku terus mengembara tanpa arah. Barat, timur, utara, selatan? Ah sudahlah, aku tidak peduli.

Kepalaku telah ditutupi oleh topi caping, tapi tetap saja tidak mengubah hawa panas di sini. Miyuki Rin. Itulah nama gadis cantik yang tengah melangakah tidak tentu arah, mengenakan hakama berwarna ungu dengan bawahan hanya sepanjang di atas lutut. Dan membawa katana di pinggang.

Rasanya lelah sekali, memang aku sudah cukup lama melangkah. Sesekali aku menoleh ke belakang. Tidak ada yang lewat sama sekali. Aku menghelakan napas dengan lesu. Berharap akan ada yang datang, meski hanya gerobak kuda. Begini rupanya menjadi seorang ronin.

Keputusan menjadi seorang pengembara memang sudah bulat, itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Hidup di antara masyarakat dengan kasta rendah—petani dan pedagang. Seorang samurai berada di kasta paling tinggi. Seluruh Jepang kini telah dikuasai oleh Keshogunan Tokugawa. Pembagian kasta ini juga dibentuk olehnya. Namun, hanya saja aku tidak ingin menginjak mereka. Kenapa? Karena mereka—petani & pedagang—adalah penyelamat kami.

Sebelumnya, aku adalah seorang gadis biasa yang tinggal bersama ibu. Lalu di mana ayahku? Dia sudah tiada. Dia mati dalam Pertempuran Sekigahara, berada dipihak Tokugawa. Bagaimana aku bisa tahu? Karena aku pernah peninggalannya saat membersihkan loteng. Baju perang dan juga katana berwarna ungu kegelapan.

Aku kebingungan saat itu, ini milik siapa. Setelah itu aku mengetahui kebenarannya. Selama ini Ibu berbohong padaku hanya agar aku bisa tersenyum. Keluarga kami tetap terpandang, meski sosok samurai yang melayani itu telah tiada.

Katana yang aku bawa saat ini, ternyata merupakan senjata suci dengan kekuatan petir. Setelah mendapatkan katana itu, singkat cerita aku mulai pergi mengembara. Itu keputusan bulatku. Ibu juga mengizinkanku tuk pergi mengembara. Dan juga, dia memberikanku sebuah buku kosong yang dibungkus dengan kain. Ya aku, selalu membawanya ke mana-mana.

Aku duduk di bawah pohon cukup rindang. Ini musim panas yang sangat panas. Kaki-kakiku pegal. Aku menutup wajahku, mungkin ini saat yang tepat untuk memejamkan mata.

Dua jam aku tertidur, kini aku terbangun. Aku melihat langit sudah sedikit berubah warna menjadi jingga. Mungkin sudah saatnya melanjutkan perjalanan. Aku bangkit, melanjutkan langkahku yang tidak menentu ini. Mengenai rambutku, aku belum menjelaskan secara spesifik. Rambutku berwarna hitam dan pendek. Sebelumnya rambutkan panjang, hanya saja aku memotongnya.

Jalanan setapak ini masih tampak lengang. Sunyi. Suara ranting pohon yang tertiup angin pun terdengar.

"Tolong!"

Tiba-tiba terdengar suara pertolongan. Aku segara berlari, memasuki hutan, mengikuti sumber suara itu. Memang sumber suara berasal dari dalam hutan. Ketika, sudah mendekat, aku mulai berjongkok, bersembunyi di balik semak-semak. Hendak mengintai apa yang sebenarnya terjadi.

Tidak kusangka, aku akan berhadapan dengan tiga ronin lainnya. Aku menghelakan napas dengan lesu, ini sudah ke berapa kalinya aku berhadapan dengan mereka. Para ronin itu mengitari gadis yang masih muda, berambut panjang, mengenakan hakama bermotifkan bunga.

"Hei, gadis kecil, berikan semua uangmu!" Pria berjanggut itu mengeluarkan katana.

Gadis itu ketakutan minta ampun, air matanya sudah membasahi pipi.

"A-aku tidak punya uang."

"Apa? tidak punya uang? Bagaimana jika kau memberikan tubuhmu untuk kepuasan kami, setelah itu pergilah."

Sial, mereka memperdayai wanita demi kepuasan mereka sendiri. Hal itu memang tidak dimaafkan. Benar-benar harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Aku meletakkan bungkusan kain yang berisikan buku dan bangkit dari semak-semak.

"Hei, kalian!" aku dengan lantang memanggil mereka.

Tiga pria itu menoleh padaku.

"Hei, lihat ada gadis lain. Apa? Kamu mau membunuh kami?"

Suara itu sepertinya meremehkan diriku. Mereka masih belum tahu saja.

"Kau mau melayani kami juga? Lumayan ada dua gadis yang siap memberikan tubuhnya." Salah satu dari mereka mengatakannya dengan penuh kegembiraan.

"Memang benar, aku mau meladeni kalian." Aku sedikit menaikkan pandangan. "Kalian melawanku, jika kalian menang, kalian boleh mengambil tubuh gadis itu dan diriku, jika aku yang menang, pergilah selagi bisa."

Ketiga pria itu menarik katana dari sarung pedang. Menarik sekali, tiga lawan satu. Aku tidak menarik katana-ku dengan tergesa-gesa seperti mereka. Pertama, aku hanya perlu mematahkan mata bilah mereka. Kedua, ini seharusnya menjadi pertarungan yang singkat. Satu per satu mereka mulai berlari, mengangkat katana. Aku menyunggingkan bibir, melompat dengan lincah dan tinggi, lalu berbalik, dan mendarat di depan gadis itu.

Ketiga ronin itu mulai berbalik. Mereka berlari. Salah satu mulai menyerang. Aku pun berlari ke arahnya dengan lincah, Pria itu mulai menebas dengan horizontal. Aku mulai menghindar, menggelincir ke bawah, menghindari serangan itu. Pria lainnya menyerangku dengan vertikal, aku dengan cepat menghindar, mengayunkan tinju pada pria kedua itu, hingga dia terkapar. Entahlah, mungkin itu pukulan terkuatku.

Pria ketiga, kini berjangkut. Dia mengayunkan katana dengan sedikit miring. Dengan lincah, aku menarik katana dari sarungnya. Bunyi dua baja yang saling bertabrakan berulang kali. Pria ini terus-terusan menyerangku, aku hanya bisa menangkis untuk sementara ini. Hingga, akhirnya, aku menemukan sebuah celah yang tepat.

Baiklah inilah saatnya. Aku berkonsentrasi, mata bilah katana-ku mulai berubah menjadi ungu, itu kekuatan sihir dan percikan petir. Pria itu matanya terbuka lebar, ketakutan, memandang katana yang bisa mengeluarkan petir. Aku mulai menebas secara vertikal. Lantas, katana yang dia bawa pun patah mata bilahnya.

Aku kembali memasukkan katana ke dalam sarung pedang. Menatap sinis mereka. Harusnya mereka sudah kalah. Jika mereka berani menyerang, aku tidak segan-segan untuk membunuh mereka. Ketiga pria itu langsung berlari terbirit-birit ke arah lain. Mungkin itu akan jadi trauma mereka. Atau aku sedikit kejam.

"Nyonya samurai," gadis itu memanggilku.

Aku menoleh padanya.

"Terima kasih atas pertolongannya, tapi sebagai imbalannya, kau mau tinggal? Kulihat kau tampak lelah."

Selama ini aku hanya menolong tanpa peduli bayarannya. Jika tidak dibayar pun tidak masalah. Di lain sisi, memang aku membutuhkan itu semua.

"Jika, kamu tidak keberatan, bolehkah aku akan menginap semalam?" mungkin ini permintaan sedikit egois.

"Silahkan, karena kau telah menolong saya, dan bayarannya mungkin tidak saya sanggupi, tapi kau boleh tinggal selama yang kau mau."

Aku membungkuk. "Terima kasih." Aku menerima itu dengan apa adanya, meski di awal sedikit egois.

Aku kembali ke semak-semak, untuk mengambil bungkusan kain yang berisikan buku. Lalu, di bawah matahari senja, aku dan gadis itu melangkah menuju tempat tinggalnya.



NB:

Hakama merupakan pakaian tradisional Jepang.

Katana merupakan pedang yang digunakan oleh para samurai.

Ronin merupakan samurai tak bertuan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top