Pentas: Pendidikan yang Menjadi Komoditas

PENTAS
Starred by:
-Algis & Wander-
[Mikroba VS Makrofag]

"Tugas, tugas! Tugas apa yang enggak tuntas-tuntas?" Sambil nyengir stres, Wander mencoba main tebak-tebakan enggak jelas. Tanpa menunggu satu-satunya manusia lain di ruangan kelas tersebut angkat suara, Wander sudah lebih dulu menjawab tebakannya sendiri. "Ya ... tugas-tugas ini, dong! Bjir, lah! Mana ujungnya, sih? Nambah lagi, nambah lagi. Nugas lagi, nugas terus ... gitu aja sampai doi membalas cintaku!"

"Kemungkinannya kecil, bahkan nyerempet mustahil, dong?" sahut Algis.

"Itu tahu!"

Demi mendapati aura suram dari Wander yang tengah bersungut-sungut dihiasi berjuta keluh kesah tiada akhir, Algis berdecak pelan. Ditepoknya pundak Wander satu kali. "Kuliah capek, kan, ya?"

Seakan baru menyalakan mode silent, Wander mendadak terdiam seribu bahasa. Benaknya tanpa diminta malah memutar ulang momen-momen perjuangannya untuk masuk perguruan tinggi yang ia mau. "Ya ... ini mimpi aku, sih. Aku juga tahu, banyak orang yang mau ada di posisi aku. Tapi, ya ... capek aja, enggak, sih? Mau masuk kuliah, belajar. Biar rapornya bagus dan masuk eligible, belajar. Mau UTBK, belajar. Kalau masih belum tembus, belajar juga di ujian mandiri. Eh ... udah lolos masuk kuliah, masih harus belajar buat dapat IPK bagus."

"Itu, sih, risiko. Lagian kita emang udah seharusnya jadi pembelajar seumur hidup, bukan belajar buat ujian doang." Algis mengangkat bahu. "Meskipun kayak begitu ... aku juga enggak munafik, sih. Belajar emang capek. Tapi mau gimana lagi? Buat dapat apa yang kita mau, pilihan kita cuma dua: belajar gila-gilaan, atau pakai metode 'bayar'. Opsi kedua emang lebih instan, enggak perlu berlelah-lelah belajar sampai kepala botak dan ketombe pada minggat. Tapi masalahnya ... kita ada duitnya, enggak?"

"Skip. Bisa kuliah aja udah syukur, aku."

"Setuju, kan, kuliah emang capek?" Tanpa menunggu balasan dari Wander, Algis sudah kembali bicara terlebih dahulu. "Tapi lebih capek yang nguliahin, tahu. Inget, enggak, sesusah apa orang tua kamu menghidupi keluarga ... sampai bikin kamu ada di titik ini?"

Titik ini? Masuk universitas top? Mengenyam bangku kuliah? Wander menunduk dalam. Tangannya memainkan pulpen di genggaman dengan tak nyaman. Sesaat, terlintas bayangan kedua orang tuanya ketika Wander berpamitan untuk merantau di luar kota.

"Dik, setelah kamu mengenal dunia luar sana ... maaf kalau kami enggak banyak memahami apa yang kamu bilang, apalagi soal perkuliahan. Abi enggak pernah kuliah, Dik. Umi juga hanya lulusan SMP. Tapi meskipun kami mungkin akan cerewet dan banyak tanya untuk hal-hal yang tidak kami pahami ... kami akan tetap menunggu cerita kamu, Dik. Kami tunggu cerita hebatmu dari dunia luar sana."

Wander menghela napas panjang. Suasananya terasa berat sekali. Bahu Wander naik-turun, berusaha menyesuaikan dengan sesak yang tiba-tiba mengimpit. "Umi ... Umi aku enggak berkesempatan mengalami masa SMA karena terhambat biaya pembangunan. Umi pengin banget bisa jadi orang berpendidikan tinggi ... tetapi mimpinya terpaksa patah hanya karena perekonomian yang tak berpihak kepadanya. Abi aku juga korban dari kejamnya praktik kapitalis. Beliau-beliau pasti sudah paham cara kerja dunia, makanya terus kerja keras banting tulang untuk menyekolahkanku setinggi mungkin ...."

Algis memasukkan kertas makalahnya ke dalam tas, bersiap pulang. Ranselnya ia sampirkan di bahu sebelah kanan. "Exactly. Ini kedengaran miris, sih. Meski kesempatan buat dapat beasiswa udah terbuka lebar di zaman kita, tapi nyatanya ... pendidikan kita emang banyak dikapitalisasi. Pendidikan malah dijadikan sebagai barang komoditas yang diperjual-belikan."

"Aku tahu. Aku tahu jadi pemerintah emang enggak gampang. Pasti banyak pertimbangan sebelum merumuskan kebijakan yang rakyat mau. Tapi ... kenapa?" Wander mengusap wajahnya yang terasa kebas. "Daripada ngasih ekspektasi lebih, kayaknya Pembukaan UUD mending direvisi, deh. Atau seenggaknya pakai tanda bintang buat menandai adanya syarat dan ketentuan yang berlaku! Jadinya ... mencerdaskan kehidupan bangsa, bagi yang bisa bayar."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top