8. Siapa dia?
Cuaca pagi ini tampak tak mendukung. Awan gelap menggumpal di cakrawala sana. Rasa dingin mulai menyeruak memasuki relung tulang. Dalam hitungan dua detik, awan gelap itu berubah menjadi rintik-rintik air berjatuhan begitu deras. Membuat beberapa karyawan OkNak berlarian ke arah teras depan kantor demi bisa menghindari cipratan air hujan.
Sepertinya hari ini Kanaya sedang sial, hampir saja terlambat juga terjebak hujan. Untungnya ada seorang laki-laki yang mau Kanaya repotkan mengantarkan sampai depan kantor.
"Baju kamu basah, Kai. Maaf ya jadi ngerepotin kamu. Emangnya kamu enggak akan telat ke kampusnya? Katanya kamu ada jam sidang sebagai penguji," ucap Kanaya setelah sampai di samping kantor sambil merapikan rambutnya. Lalu mengelap wajah yang terkena oleh cipratan air.
Laki-laki berambut hitam dengan gaya Comma Hair itu tersenyum manis menatap Kanaya. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan, malah senang bisa mengantarkan gadis itu.
"Enggak apa-apa Naya. Aku sama sekali enggak merasa kamu repotkan. Jangan khawatir, sana masuk. Katanya bos kamu nyebelin, gih masuk, udah telat juga," ujar Kaivan mengode melalui mata menyuruh gadis itu untuk segera masuk ke kantor.
Kanaya menggangguk mengiakan, mengucapkan terima kasih sebelum memasuki kantor. Namun, langkahnya terhenti ketika tak sengaja melihat Vijendra yang berdiri mematung bersama Harris sepuluh langkah dari tempat Kanaya dan Kaivan berdiri.
Kanaya tersentak kaget saat mendapati Vijendra di sana. Apalagi dengan tatapan penuh tanya serta penjelasan. Tak ingin berurusan dengan laki-laki itu, Kanaya bergegas memasuki kantor sambil berjalan menunduk.
Sementara Vijendra yang melihat Kanaya mengabaikan dirinya, hanya bisa tersenyum kecut. Entah kenapa, hatinya terasa memanas seperti dihantam oleh kerikil-kerikil panas. Sampai membuat suasana hatinya gerah.
Laki-laki itu melangkah lebar memasuki ruang pribadinya. Menutup pintu dengan kasar, sampai membuat Harris tersentak kaget.
"Dia kenapa lagi, Ris?" Adam yang tak sengaja melihat tingkah aneh Vijendra pagi ini mulai penasaran.
Tadinya ia ingin memberikan arsip file dari perusahaan cabang kepada Vijendra pada saat Vijendra sudah datang, dikarenakan nanti—jam setengah delapan pagi ia harus segera pergi rapat ke luar kota untuk memasarkan makanan kaleng. Namun, Adam memilih memberikan arsip tersebut kepada Harris.
"Kasih ini ke bosmu. Dan bilangin juga ke dia, jangan sampai kalah start," pungkas Adam, menepuk pelan bahu Harris. Lalu berjalan meninggalkan Harris sendiri yang masih mematung di depan pintu ruangan Vijendra.
***
Dugaan Kanaya benar, bahwa laki-laki itu cemburu melihat ia bersama Kaivan tadi pagi. Sampai membuat ulah kembali menyiksa para tim ahli gizi, bahkan Vijendra tak segan memarahi mereka yang membuat kesalahan. Harris yang tak bisa mengontrol Vijendra, cuma bisa mengelus dada sambil memohon maaf kepada mereka yang terkena marah.
"Kamu apa-apaan sih, Vijen?!"
Kanaya menarik Vijendra menuju tangga darurat yang menyambung ke lantai atas. Tatapan mata saling beradu, menyiratkan emosi tertahan di balik binar sendu nan hangat itu.
"Apa yang aku lakukan? Aku cuma melaksanakan tugasku sebagai presdir di sini!" hardik Vijendra.
Kanaya sedikit terkejut mendengar nada suara Vijendra yang tak bersahabat. Ia tertawa sumbang, mengalihkan tatapan ke arah ujung tangga sana. Ternyata satu kantor dengan mantan gebetan membuat hidup Kanaya merasa tak nyaman.
"Aku tahu kamu presdir di sini. Tapi apa pantas seorang presdir memarahi karyawan, yang bahkan tidak melakukan kesalahan apa pun. Sampel biskuit dan sambal udang, panelis, galat, semua data yang dijabarkan dalam uji organeleptik dengan menggunakan metode hedonik udah benar. Kenapa kamu malah memarahi dan menyalahkan seolah-olah data tersebut salah!" Kanaya tersulut emosi, entah mengapa ia merasa tak suka melihat teman barunya yang tak salah malah dimarahi seperti tadi.
Kanaya akan membela temannya selagi sang teman tak berbuat kesalahan apa pun. Lagi pula Vijendra tidak profesional sekali, membawa perasaan pribadi dalam pekerjaan. Untuk saja Kanaya sudah ahli dalam mengendalikan perasaan sendiri.
"Kalau memang data yang kami tujukan salah, tolong beitahu pelan-pelan. Bukan malah marah enggak jelas, bikin semua orang takut melihat kamu," lanjut Kanaya.
Vijendra mengembuskan napas berat. Tertunduk merenungi semua ucapan dari Kanaya. Habisnya bayangan gadis itu bersama laki-laki lain terus-terusan berputar di kepala. Membuat ia merasa kalah, padahal ia sudah menunggu selama lima tahun untuk bertemu dengan Kanaya kembali.
"Tadi pagi ...." Vijendra bergumam, mendongakkan kepala kembali menatap ke arah Kanaya. "Tadi pagi, siapa laki-laki itu? Siapa dia?"
"Kalau kamu tahu, kamu mau apa?"
"Setidaknya aku harus tahu siapa dia, Naya. Memangnya enggak ada kesempatan kedua buat aku?" Vijendra menatap lekat penuh harap. Berharap diberi kesempatan untuk menebus rasa penyesalan dalam diri, serta mewujudkan asa yang sempat terkubur dulu.
"Kesempatan apa?"
"Memberi ruang di hatimu untuk aku tempati," lontar Vijendra.
Sungguh, Vijendra seperti kesetanan sekarang. Gemas dengan berbagai jawaban dari gadis itu. Bahkan sekarang ia juga merasa ketakutan, takut kehilangan Kanaya.
"Keterdiaman kamu, aku anggap bahwa kamu udah menutupi ruang hatimu untuk aku. Mungkin pada saat perpisahan lima tahun yang lalu, kamu udah mulai bisa melepaskanku, kan?"
Mulut Kanaya masih terkatup rapat. Kebingungan menyelimuti benak. Belum juga genap dua bulan di OkNak, ia mulai goyah dengan perasaannya sendiri. Padahal jauh-jauh hari, ia selalu mengingatkan diri sendiri agar tidak jatuh dalam pesona Vijendra.
"Aku butuh jawaban, Naya. Jangan jadi orang bisu kayak gini," sahut Vijendra.
Kanaya menatap ke dalam bola mata Vijendra tak terelakkan. Suasana sekitar tiba-tiba terasa hening, waktu terasa berhenti, hanya terdengar suara detakan jantung keduanya. Sama-sama masih saling menyukai satu sama lain, tetapi enggan mewujudkan rasa itu menjadi nyata.
"Aku melepaskanmu pada saat perpisahan sekolah kita?" Kanaya bertanya, membuat Vijendra mengangguk mengiakannya. "Iya memang aku melepaskan saat aku tahu kamu lebih milih Arawinda yang lebih berkelas daripada aku," lanjut Kanaya sembari mengepalkan kedua lengannya.
"Ini bukan soal Arawinda, Naya. Ini soal kita, soal kamu yang sekarang mulai melepaskanku. Bukankah dulu kamu amat sangat menginginkan aku?"
Tangan Kanaya rasanya sangat gatal ingin memukul wakah Vijendra. Selain tampan nan cool, ternyata Vijendra termasuk salah satu laki-laki dengan tingkat kepercayaan yang begitu tinggi.
"Aku melepaskanmu, bukan berarti aku berhenti mencintaimu, Vijendra!" decak Kanaya, mata mulai berkaca-kaca setelah mengatakan kalimat itu. "Bukankah itu yang ingin kamu dengar? Mencintaimu, itu dulu, Vijendra, dulu!"
"Lantas sekarang ... apakah rasa cinta itu masih tersisa?"
Langkah Vijendra mulai mendekat, menghapus jarak di antara keduanya. Namun, Kanaya memundurkan langkahnya mengikuti alunan kaki Vijendra yang terus mendekat. Sampai terpojok pada dinding dekat tangga atas.
Mata Kanaya terasa perih, buliran bening terjatuh begitu saja. Baru kali ini ia berhadapan dengan Vijendra—peduli terhadap perasaannya. Entah kenapa rasa dalam hati begitu campur aduk. Kanaya bingung harus menjabarkan seperti apa.
"Nay ...!" Vijendra memanggil, mengangkat dagu Kanaya yang sedari tadi menunduk sembari menangis dalam diam.
Vijendra menatap mata Kanaya. Jemarinya menghapus jejak basah di pipi chubby gadis itu.
"Maafin aku, ya. Karena bikin perasaan kamu terombang-ambing gini," ucap Vijendra terdengar lembut nan merdu di telinga.
"Kenapa harus sekarang, Vijen? Di saat aku sudah hampir berhasil melupakan kamu," ringis Kanaya, menepis tangan Vijendra yang bertengger di pipinya.
"Tolong, Nay. Beri aku satu kesempatan lagi, maka aku enggak akan mengabaikan kamu lagi. Sungguh, Nay, rasanya tersiksa terjebak dalam kenangan kita sewaktu dulu."
Kanaya mendorong tubuh Vijendra, hingga tercipta jarak di antara keduanya kembali. Ia bersiap pergi, tetapi Vijendra dengan sigap mencekal lengan Kanaya. Menghalangi gadis itu untuk pergi. Masih ada yang ingin Vijendra bahas dengan gadis itu.
"Kalau aku datang ke rumahmu untuk melamar, kamu setuju?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top