5. Move On, Dong!

Satu kantor dengan Kanaya, membuat Vijendra tak bisa diam di dalam ruangannya sendiri. Setiap ada waktu luang, ia malah diam-diam berjalan ke arah ruang tim ahli gizi. Mencuri perhatian Kanaya atau sekadar berbicara pada gadis itu mengenai pekerjaan.

Bahkan sekarang, bukannya fokus memperhatikan presentasi dari tim marketing. Justru pikiran Vijendra malah tertuju ke arah Kanaya. Bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu.

"Bagaimana, Pak. Apakah Bapak setuju dengan marketplace yang saya jabarkan mengenai produksi keripik tempe?"

Vijendra masih belum sadar, masih terdiam sambil melamunkan banyak hal. Adam yang ikut serta dalam rapat tersebut, menepuk pelan bahu Vijendra sampai tersentak kaget menatap ke seisi ruang boardroom. Semua karyawan yang berpartisipasi malah menatap heran ke arah sang bos. Tidak biasanya laki-laki itu melamun saat rapat berlangsung.

"Eum, ah ...." Vijendra melirik Adam, memberi kode melalui bola mata; meminta bantuan kepada laki-laki itu.

"Untuk ide desain kemasan dari tim pemasaran mengenai keripik tempe akan kami tampung terlebih dahulu. Untuk marketplace yang ditawarkan oleh tim pemasaran, saya rasa menarik. Pertama kalinya OkNak memasarkan produk makanan ringan melalui media sosial. Mengingat eksistensi media sosial pada masa sekarang ini begitu tinggi. Dan laporan mengenai pendapatan bulanan dari produksi ini harus bisa mencapai 600 bungkus. Tim pemasaran siap?" 

Tim pemasaran menjawab serentak perintah dari Adam. Mereka tampak menghela napas lega sekaligus tersenyum kecil. Usaha mempersiapkan perencanaan memasarkan produk untuk dipresentasikan dalam rapat perusahaan akhirnya membuahkan hasil.

"Baik, semoga lancar melaksanakan tugasnya. Rapat hari ini saya tutup, terima kasih sudah berpartisipasi!"

Semua orang yang berada dalam ruangan tersebut mulai beranjak dari duduknya, begitu juga dengan Vijendea yang ikut berdiri. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang rapat, kepala menunduk hormat kepada atasan mereka. Setelahnya, mulai bergegas pergi meninggalkan ruang rapat.

"Lo kenapa sih? Enggak biasanya lo ngelamun kayak tadi," tutur Adam saat keadaan sekitar telah sepi, hanya tersisa ia dan Vinjendra saja.

"Masih memikirkan Kanaya?"

Vijendra berjalan ke sisi kanan, tepatnya ke arah jendela besar, hingga memperlihatkan kepadatan ibukota dari lantai atas kantor. Pikiran berkecamuk, mata terus menatap fokus ke bawah sana.

"Move on, dong! Bukannya lo sendiri yang selalu menghindar dari Kanaya? Sekarang, giliran Kanaya bersikap biasa aja, lo malah kayak yang kesetanan."

Vijendra masih belum mau menjawab. Rasanya percuma memberitahu Adam, laki-laki itu tidak akan mengerti apa yang dirasakan oleh Vijendra dulu hingga berpisah dengan Kanaya.

"Emang gue keliatan banget kayak yang suka ya sama Kanaya?" Entah mengapa, pertanyaan yang bersarang di kepala terlontar begitu saja.

"Keliatan banget, Jend. Lo inget enggak pas waktu pertandingan basket persahabatan dulu?"

Vijendra terdiam, menggali ingatan lima tahun yang lalu pada saat ia masih menjadi remaja gengsian. Ingatan tersebut tertuju pada kejadian Kanaya yang memberikan sebotol air minum dan ia menerima dengan senang hati.

"Aku boleh tanya sesuatu sama kamu, Kanaya?" Vijendra menatap lekat gadis berkuncir kuda di hadapannya itu. Peluhnya bercucuran akibat terpapar oleh terik matahari siang hari. Sejoli itu berdiri saling menatap di pinggir lapangan bola basket.

"Kamu mau tanya apa?" Senyum Kanaya merekah, menatap lekat menunggu pertanyaan apa yang didapatkan dari Vijendra.

"Kenapa kamu bisa suka sama aku? Sampai rela buang-buang waktu kamu untuk ngejar-ngejar aku, pasti kamu punya alasannya. Boleh aku dengar?"

Kanaya mengalihkan tatapan ke arah lain, memilah jawaban yang tepat untuk Vinjendra. Senyum di bibir masih terbingkai begitu manis. Ini kali pertama sang cinta pertama mengatakan kalimat yang panjang.

"Jatuh cinta sama kamu enggak perlu pakai alasan Vijen. Naya udah suka sama Vijen sewaktu kita masih MPLS dulu. Entah kenapa hati Naya malah kepincut sama Vijen, padahal di antara sahabat-sahabat Vijen yang paling ganteng itu Reiy."

Tanpa disadari, sudut bibir Vijendra tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Entah mengapa ia jadi tertarik dengan gadis itu. Wajah lugu dan childishnya membuat hati Vijendra sedikit luluh.

"Berarti ... aku cinta pertamamu, Naya?"

Kanaya mengangguk pelan. Lalu mendekat ke arah Vijen, menghapus peluh di dahi laki-laki itu. Setelah itu, mundur selangkah menyodorkan tisu yang ia gunakan tadi untuk mengelap peluh di dahi Vijendra.

"Iya, Vijen cinta pertama Naya. Vijen kalo lagi keringetan dan panas-panasan tambah bikin hati Naya berdebar, nih. Vijen harus tanggung jawab ya kalo hati Naya kenapa-napa."

Tangan Vijendra mengelus pelan kepala Kanaya. Membuat Kanaya mematung, hingga senyum di bibir mengendur, mata berkedip dua kali. Jantung berdebar tak karuan, aliran darah seakan terasa terhenti, bahkan waktu yang tengah dirasa seakan terhenti. Tiba-tiba saja cegukan dalam diri Kanaya keluar, dengan cepat gadis itu menutup mulutnya sendiri.

Melihat tingkah Kanaya yang seperti itu, membuat Vijendea tertawa lepas. Apa yang dilihat benar-benar menggelikan perut. Apalagi saat melihat wajah merajuk Kanaya ditertawakan oleh Vijendra.

"Ih, Vijen! Jangan ketawa. Naya malu," ujar Kanaya seraya menutupi wajah dengan tangannya.

Tawa Vijendra berhenti, tatapan mata melekat ke arah gadis itu. Keduanya sama-sama saling menatap satu satu sama lain. Menciptakan debaran-debaran kecil di ulu hati Vijendra.

"Jatuh cinta memang menyenangkan, Nay. Apa lagi jatuh cinta sama orang yang merupakan cinta pertama kita, tapi Nay ... jangan terlalu berharap sama aku. Aku takut enggak bisa balas rasa cinta itu dan malah makin bikin kamu terluka nantinya," ujar Vijendra.

"Naya bakalan nunggu Vijen, kok. Sampai Vijen bisa balas cinta Naya. Kalo memang Vijen masih belum bisa nerima Naya, enggak apa-apa kok. Asalkan Vijen jangan jauhin Naya, ya. Biar Naya simpan rasa kagum, suka, dan cinta ini di hati dengan baik. Sampai Vijen tahu dan sadar, gimana capeknya mengagumi, suka, dan jatuh cinta sendirian."

Sudut bibir Vijendra mengulas senyum kecil. Tangannya kembali mengelus puncak kepala Naya, menyisikan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu sekilas ke belakang telinga. Menatap terus menerus mata gadis itu sampai tak memedulikam suasana riuh di lapangan tersebut. 

"Aku enggak akan jauhin kamu, Nay."

Hari itu, di lapangan basket SMA Pajatrena 2, merupakan awal Vijendra membuka ruang hatinya untuk dimasuki oleh Kanaya. Bahkan diam-diam, ia menyimpan nama gadis itu. Namun bodohnya, ia tak mampu membelas rasa cinta gadis itu. Malah berdiam sampai membuat Kanaya pergi menjauh.

"Riska tunggu aku!"

Lamunan yang sempat singgah di kepala buyar seketika kala mendengar suara seorang gadis yang dirindukan oleh Vijendra. Tanpa diperintah, tubuh berbalik ke arah sumber suara. Menatap gadis itu berlarian kecil di lorong kantor, sedangkan Vijendra hanya mematung di depan pintu ruang rapat.

Menatap lekat wajah gadis itu dari kejauhan. Mengagumi diam-diam, bahkan rasa cinta untuk gadis itu masih tersimpan rapi di dalam hati. Sialnya, ia tak berani mengungkapkan.

"Move on dong, bro! Udah lima tahun juga," sahut Adam tepat di telinga Vijendra.

Vijendra mendorong Adam menjauh, menatap sinis ke arah laki-laki itu. Menganggu saja, padahal ia sedang menatap lekat-lekat gadis idaman masa lalunya.

"Kalo masih cinta, kejar dong. Jangan diam kayak orang bego! Buang gengsi lo jauh-jauh, sekarang zamannya confess bukan diam terus nunggu waktu yang tepat. Padahal umur lo udah cocok buat nikah tahu," lanjut Adam, yang sukses membuat darah Vijendra naik. Memukul kepala Adam dengan sangat keras, sampai membuat Adam meringis menatap sengit ke arah Vijendra.

"Kalo gue geger otak gimana? Lo kalo mukul kayak yang punya dendam," gerutu Adam yang juga tersulut emosi oleh sikap Vijendra.

"Iya emang! Gue punya dendam sama lo! Bisa enggak, jangan ngerusak kesenangan gue. Gue juga sadar diri, dulu gue emang bego, gue gengsian, gue emang nuntut waktu dan perhatian dia. Dan pada akhirnya ... gue benar-benar kehilangan dia, tepat di hari perpisahan sekolah sampai didetik ini, gue masih kehilangan dia. Ini kan yang pengen lo denger? Terus abis itu lo ngejek gue!"

Adam mengatupkan bibir, lidahnya kelu, ia hanya menunduk mendengarkan curhatan Vijendra. Setidaknya ia telah berhasil memancing masalah apa yang selama ini dipendam oleh Vijendra seorang.

"Setidaknya, ini kesempatan lo buat ngerebut hati dia lagi, Jend. Kejar dia, sekarang waktunya gantian, lo yang harus kejar dia itupun kalo memang lo masih ada rasa sama dia." Adam menepuk pelan bahu Vijendra, menatap penuh arti sambil menganggukkan kepala seakan-akan memberi kode bahwa apa yang diucapkan merupakan saran yang bagus dicoba.

"Benarkah? Ini kesempatan gue?"

***

Jangan lupa komennya pada bab ini ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top