4. Satu Kantor

Memproduksi makanan baru lagi, membuat Vijendra sibuk berkutat dengan bermacam-macam proposal ide dari karyawannya. Serta tak lupa juga memeriksa data penjualan bulan lalu sampai bulan sekarang. Soal pertemuannya dengan Kanaya kemarin, ia tak mau mengambil pusing. Toh, hubungan ia dan Kanaya tidak memiliki hal spesial, cuma sebatas teman suka saja. Bisa dibilang hubungan tanpa status kala itu.

Bahkan ia belum sempat mampir ke bagian ahli gizi untuk sekadar menyapa para karyawan barunya. Bukan karena Kanaya, tetapi karena berbagai macam tugas yang didapat sebagai presdir membuat Vijendra sibuk. Tugas yang dipikul begitu besar tanggung jawabnya.

Ketukan di pintu membuat Vijendra menoleh sekilas, membiarkan si pengetuk masuk. Lalu kembali berkutat dengan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Dokumen dari mulai data uji organoleptik gizi, keuangan, kontrak kerja sama, marketing, dan lain-lain. Hampir membuat Vijendra kelimpungan sendiri.

"Lo udah minta maaf belum sama Kanaya?"

Suara Adam menyapa, membuat Vijendra tak menghiraukan. Bosan rasanya kalau setiap hari bertemu dengan Adam. Padahal ia sudah meminta Harris untuk mengalihkan semua tugasnya kepada Adam. Namun, tetap saja laki-laki itu selalu bisa memiliki cara untuk bertemu.

"Jend, Kanaya ada di sini."

Kali ini suara yang ia dengar dari mulut Adam, membuat Vijendra langsung mengangkat kepala menatap ke arah depan. Ternyata apa yang dikatakan oleh Adam benar, Kanaya berdiri di samping Adam sambil memegang dokumen bercover transparan.

"Ada apa?" tanya Vijendra menatap Adam, meminta penjelasan.

Adam mengangkat bahu acuh tak acuh. Lalu berjalan meninggalkan ruangan Vijendra. Berjalan dengan begitu santai, bahkan Adam tak memedulikan panggilan dari Vijendra yang terus meminta agar tak meninggalkan ruangannya.

"M–maaf, Vije ... Eh, m–maksudnya Pak Vijen." Kanaya merasa canggung, rasanya benar-benar malu berhadapan langsung dengan orang yang sempat disuka selama belasan tahun.

"Santai, Nay." Vijendra tersenyum kecil, melihat ke arah dokumen tersebut, lalu kembali menatap ke arah Kanaya. "Kamu disuruh sama Bu Imelda?"

Kanaya menggangguk dengan cepat, menyodorkan dokumen tersebut kepada Vijendra, dan Vijendra pun menerimanya.

"Benar, Pak. Kata Bu Imelda proposal mengenai produksi sambel sudah direvisi. Kalau begitu saya permisi," ucap Kanaya menunduk hormat, bersiap berbalik pergi.

"Tunggu, Nay!"

Saat tubuh Kanaya hampir berbalik, ia sempat tersentak kaget mendengar Vijendra kembali memanggil. Niat hati ingin kembali bekerja, kini terkurung oleh panggilan Vijendra. Tangan saling tertaut guna mengalihkan rasa canggung yang benar-benar menyiksanya.

"Kenapa kamu yang mengantarkan dokumen ini? Bu Imeldanya kemana?"

"Itu ... Bu Imelda tiba-tiba sakit perut, katanya asam lambung beliau kumat. Beliau juga udah diantarkan ke rumah sakit sama Pak Harris tadi. Jadi, saya dititipkan oleh Pak Harris untuk mengantarkan dokumen ini, Pak." Kanaya menjelaskan bagaimana ia bisa mengantarkan dokumen tersebut kepada Vijendra, sedangkan dirinya masih anak baru di perusahaan ini.

Vijendra mengangguk mengerti. Bukan hanya perasaannya saja yang merasa aneh, ia juga melihat tingkah Kanaya benar-benar gelisah. Pasti gadis itu merasa tak nyaman bertemu kembali dengan dirinya, bahkan satu kantor yang sama.

"Nay, jangan canggung-canggung. Kita 'kan temen sewaktu SMA dulu? Jadi, anggap aja aku temenmu yang udah lama enggak ketemu," ujar Vijendra.

"Temen? Rasanya susah anggap Vijen temen, kan waktu dulu Naya sering ngejar-ngejar Vijen. Jadi, rasanya susah buat Naya," ucap Naya pelan tanpa sadar. Buru-buru ia menutup mulutnya, menatap ke arah Vijendra yang juga sedang menatap dengan bingung.

"Kamu ngomong sesuatu, Nay?"

Kanaya menggeleng pelan. Sudut bibir mengulas senyum kecil. "Memang kita satu SMA yang sama, tetapi Pak Vijen rasanya saya tidak bisa bersikap biasa aja. Susah Pak rasanya buat bersikap biasa aja sama Bapak."

Vijendra terdiam sebentar. Dari gelagat serta binar mata gadis itupun tampak tak nyaman sama sekali berdiri secara berhadapan.

"Kalo enggak sibuk. Kamu mau enggak aku ajak makan siang bareng, Nay?"

"Hah, apa?!"

Sontak saja Kanaya langsung mengangkat kepala menatap terkejut ke arah Vijendra. Ia tak salah dengar bukan? Sejak kapan Vijendra bisa mengajak seseornag untuk makan bersama. Dulu, pada saat Kanaya mencoba mengajak jajan di kantin, laki-laki itu selalu menolak.

"Makan siang, Nay. Mau?"

Mata Kanaya berkedip dua kali, mengedarkan mata ke arah lain mencari-cari alasan yang pas untuk menolak. Ia belum siap kalau makan berdua dengan mantan gebetannya dulu, takutnya rasa yang sempat terkubur. Malah bertumbuh lagi, berabe kalau rasa itu bertumbuh kembali.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Siang nanti, jadwal saya konseling, uji organoleptik bersama Bu Hania. Sekali lagi saya mohon maaf, kalau begitu, saya permisi." 

Vijendra membiarkan gadis itu berjalan meninggalkan ruangannya. Setelah merasa ditinggalkan, pikiran terasa berkecamuk. Kehadiran Kanaya benar-benar membuat hidupnya kembali terjebak dalam kubangan kenangan.

"Vijen beneran enggak mau buka hati buat Naya? Naya capek lho ngejar-ngejar Vijen mulu."

"Emang Naya kurang cantik, ya?"

"Vijen jawab dong! Masa Naya ditolak lagi."

Sudut bibir Vijendra tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Ia ingat betul bagaimana kalimat itu terulang berulang kali. Bibir ranum yang cemberut dan ekspresi yang menggemaskan kala merajuk, akibat diabaikan oleh dirinya sendiri. 

"Tapi kayaknya dia udah enggak suka lagi sama aku. Atau mungkin sekarang, dia udah nikah," ucap pelan Vijendra lagi menebak-nebak sekaligus menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya.

***

Kanaya tidak berbohong. Ia memang baru ingat bahwa Bu Hania akan mengajak dirinya serta anak-anak ahli gizi lain untuk konseling dan ikut serta dalam uji organepletik. Setelah melakukan uji organopletik pada makanan cepat saji, kini Kanaya berada di kantin bersama dengan teman baru satu timnya.

Menghabiskan makan siang yang telah disediakan oleh perusahaan sambil memdengarkan gosip dari teman timnya. Atau malah dengar gosip dari meja sebelah. Penasaran juga, sih, apa saja yang pernah terjadi di perusahaan tempatnya bekerja.

"Kamu dulu SMA-nya dimana, Nay?"

Kanaya yang sedari tadi menikmati makanan siangnya, terhenti sejenak menatap ke arah Ida yang bertanya tentang sekolahnya dulu.

"Eum, di Pajatrena 2. Kenapa nanya itu, Mbak Ida?" Kanaya bertanya heran sambil tangannya menyuapi potongan wortel ke dalam mulut.

"Kamu satu angakatan sama Pak Vijendra, ya?"

Kanaya mengangguk mengiakan pertanyaan itu. Semakin heran dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman barunya itu.

"Pak Vijendra ganteng 'kan pas waktu SMA? Dia banyak yang ngejar-ngejar, ya?"

"Katanya dia terkenal banget."

"Terus katanya dia jahat juga ya, karena nolak semua cewek yang ngejar dia?"

Kanaya menelan air ludahnya sendri mendengar banyak sekali pertanyaan dari teman timnya. Bingung harus menjawab yang mana dulu. Sementara ia, termasuk salah satu gadis yang pernah mengejar laki-laki itu dulu.

"Kalian jangan nanya ke aku, harusnya kalian nanya-nya ke pak Vijendra langsung," ucap Kanaya, mengulas senyum tak enak.

Setelah selesai menghabiskan makan siangnya. Kanaya pamit terlebih dulu ke ruang ahli gizi kepada teman timnya. Dalam perjalanan menuju ruang ahli gizi, Kanaya melirik ke sekitar melihat-lihat interior setiap kantor.

Jujur saja, Kanaya sama sekali tak tahu bahwa perusahaan yang ia lamar ini merupakan milik Vijendra. Ia juga baru tahu tadi dari mulut teman-temannya. Rasanya sedikit terkejut, bahwa laki-laki itu merupakan anak orang kaya. Perasaan sewaktu SMA, Vijendra tak terlihat sama sekali seperti anak orang kaya, malah terlihat sederhana.

"Nay!"

Langkah Kanaya terhenti saat mendapati Vijendra berjalan dari arah berlawanan, lalu berdiri saling berhadapan sambil menyapa. Mau tak mau, Kanaya membalas sapaan tersebut dengan senyuman kecil.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?" Vijendra bertanya hati-hati, takutnya Kanaya sibuk dan tak punya waktu untuk mendengarkan pertanyannya.

"Ngomong aja, Pak. Tapi sebelum itu, saya mau minta maaf sama Bapak."

Apa yang dikatakan oleh Kanaya sukses membuat Vijendra mengerutkan dahi dengan bingung. Tak paham dengan apa yang dimaksud oleh Kanaya.

"Maaf buat apa, Nay? Kamu enggak punya salah."

"Saya punya salah, kok. Maaf ya pernah suka sama Bapak pas SMA dulu. Maaf kalo bikin Bapak risi dan pastinya Bapak ilfeel ya ketemu sama saya lagi," tutur Kanaya.

Tatapan mata Kanaya tampak begitu polos dimata Vijendra. Bahkan laki-laki itu tak bisa berkata-kata kala mendengar permintaan maaf itu. Soal masa lalu, bagi Vijendra sudah berlalu. Ia tak memedulikan lagi apakah merasa risi ataupun ilfeel.

"Enggak usah minta maaf, Nay. Itu hak kamu mau suka sama siapa. Lagi pupa itu udah jadi masa lalu, jangan membebani dirimu Nay. Aku enggak ilfeel sama kamu. Dan maaf juga, kalo aku bikin kamu enggak nyaman. Aku cuma mau bilang, bawa santai aja Nay."

"Oke, deh. Lalu apa yang mau Bapak sampaikan ke saya? Katanya ada yang mau dibicarakan." Kanaya menatap Vijendra, menunggu laki-laki itu membuka pertanyaan untuk dirinya.

"Ah itu ... enggak jadi, nanti aja. Kembali ke kantormu dan berikan dokumen ini ke Bu Hania." Vijendra menyerahkan kembali dokumen yang diantarkan oleh Kanaya tadi, tetapi sekarang dokumen tersebut sudah ditandatangani dan ditambahi beberapa kertas bertumpuk di depan covernya.

"Permisi. Sampai jumpa lagi ya, Nay."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top