3. Lo Nyesel?
Adam menatap heran ke arah Vijendra yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makan siangnya. Kelakar yang dilemparkan oleh Adam pun tak direspons oleh Vijendra. Membuat Adam bertanya-tanya mengapa Vijendra menjadi banyak diam.
"Makanan lo enggak enak?"
Adam menghela napas pelan melihat Vijendra yang tak mendengarkannya. Sontak saja hal itu membuat Adam mengentakkan meja sampai pengunjung resto serta Vijendra tersentak kaget.
"Lo gila, ya?!"
Vijendra mengumpat, menoleh ke sekitar untuk meminta maaf kepada mereka yang merasa terganggu. Lalu menatap Adam dengan tajam, sedangkan Adam ... ia tampak begitu santai menikmati suapan demi suapan yang masuk ke dalam mulutnya.
"Kalo ada masalah cerita. Bukan malah ngaduk-aduk makanan, enggak bersyukur banget," ucap Adam setelah menelan kunyahannya, lalu berusaha bijak seraya menatap Vijendra.
Apa yang dikatakan oleh Adam ada benarnya. Mubazir rasanya kalau ia hanya memainkan makanan. Embusan napas kasar menguar sebelum ia menceritakan pertemuannya dengan Kanaya tadi pagi.
"Dia kembali, Dam. Gue ketemu sama dia."
Adam yang baru saja meneguk segelas air putih, kini malah keluar kembali menyembur wajah Vijendra. Buru-buru ia mengambil tisu dan menyodorkan kepads Vijendra.
Dengan perasaan jengkel, Vijendra menerima tisu tersebut. Mengusap wajahnya dari air bekas dari mulut Adam. Kesal rasanya, tetapi Vijendra mencoba menahan serta bersabar menghadapi sosok Adam.
"Sorry!" Adam membenarkan posisi duduknya, lalu menatap Vijendra dengan penuh keingintahuan.
"Lo lagi enggak halu, 'kan?" Adam tertawa sinis, merasa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Vijendra tadi. "Mana mungkin Kanaya ada di sini. Lo 'kan tahu, lo sama dia udah pisah selama lima tahun. Lima tahun, bro!"
Vijendra menghela napas pelan. Sepertinya bergaul dengan Adam membuat mentalnya sedikit terganggu, sampai-sampai ingin memeriksakan mental kepada Psikiater. Tatapan Vijendra masih terus tertuju ke arah Adam dengan tajam penuh kekesalan.
Melihat Vijendra yang bergeming dengan tatapan menyiratkan kekesalan, membuat Adam mengatupkan bibir. Tawa renyahnya perlahan memudar, berubau menjadi keheningan.
"Lo serius? Kanaya Arayshi, 'kan?"
Vijendra menganggukkan kepala dengab pelan, memutuskan kontak mata melirik ke arah segelas segelas air di sampingnya. Lalu meneguk sampai habis.
"Terus gimana perasaan lo pas ketemu sama dia?" Adam penasaran, pasalnya ia merupakan saksi kisah cinta Vijendra semasa putih abu.
Kalau ditanya soal perasaan, jujur saja Vijendra belum bisa menjabarkan secara jelas bagaimana perasaannya kala bertemu dengan Kanaya kembali. Namun, pada saat ia tak melihat senyum dari gadis itu, maupun wajahnya, Vijendra merasa ada yang hilang.
"Dia masih sama, 'kan?"
Entah mengapa, apa yang dilontarkan oleh Adam bukan seperti pertanyaan, melainkan pernyataan. Vijendra mengulas senyum tipis.
"Sama? Maksud lo dia sama kayak dulu? Yang ngejar-ngejar gue dari kelas sepuluh?"
Apabila diingat-ingat lagi, rasanya Vijendra ingin sekali tertawa. Namun, tawa itu terdengar bukan tawa bahagia mengenang sesuatu, melainkan terdengar seperti sedang menahan sesak. Membuat Adam terpaku menatap Vijendra, setia menunggu sampai laki-laki itu bercerita lebih.
"Dia udah beda?"
Tiga kata dari Adam, sukses membuat kepala Vijendra mengangguk dengan lemas dan wajah berubah menjadi muram. Melihat ekspresi mengenaskan dari Vijendra yang sekarang membuat Adam berusaha menahan tawa. Bisa-bisanya Vijendra yang dikenal paling cool berubah menjadi sadboy sekarang ini.
"Wajarlah dia berubah, Jend. Langit yang tadinya kelihatan cantik, bakalan berubah kalo udah waktunya. Begitupun hati manusia, miris banget ya kisah cinta lo." Adam menggelengkan kepala pelan menatap prihatin ke arah Vijendra.
"Makanya, kalo suka tuh ungkapin dari dulu. Jangan gengsi, makan tuh gengsi!"
"Gue nyesel!"
"Hah, apa?!" Tubuh Adam menyamping memperlihatkan telinganya sambil mengulang dua kata tersebut. "Lo nyesel? Bukannya telat ya kalo lo bilang kayak gitu sekarang," lanjut Adam, yang sukses membuat Vijendra terdiam.
***
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk melupakan seseorang yang begitu dicintai. Apalagi orang itu merupakan cinta pertama sekaligus cinta pada pandangan pertama. Namun, hati, rasanya lelah apabila terus-menerus berharap kepada orang itu—yang tak mau melirik atau mencoba membuka hati untuk ia masuki.
Usaha melupakan kisah cinta yang tak terbalas itu, kini malah sia-sia. Ada sedikit rasa bahagia, kala ia tak sengaja bertemu kembali. Akan tetapi, rasanya begitu berbeda sekarang; kecanggungan serta rasa malu menyelimuti.
"Aku harus gimana, Via?" Kanaya mengeluh, es cappucino kesukaannya telah tandas, tetapi pikiran masih terasa kacau akibat ulah Vijendra.
Laki-laki yang berusaha Kanaya lupakan kini hadir kembali. Sialnya nama laki-laki itu masih terselip rapi di hatinya. Seperti percuma saja melupakan, toh, pada akhirnya Tuhan kembali mempertemukan. Lucu memang skenario Sang Maha Khalik.
"Lo yakin mau lupain si Vijendra?" Aviani menatap ragu ke arah Kanaya.
Anggukan dari kepala Kanaya membuat Aviani mencondongkan tubuh ke depan, lalu menegakkan tubuh mencari posisi duduk yang nyaman.
"Percuma, Nay. Percuma kamu berusaha lupain dia, kalo di hati kamu masih ada nama dia."
Skakmat!
Memang benar apa yang dikatakan oleh Aviani. Kanaya masih menyelipkan nama Vijendra di dasar hatinya. Akan tetapi, untuk sekarang ... Kanaya bersungguh-sungguh ingin melupakan sosok laki-laki itu.
"Berapa tahun kamu ngejar-ngejar dia di SMA?" Aviani sengaja bertanya seperti itu, membuat Kanaya menunduk merenungi semua ucapan dari sahabatnya.
"Mungkin tiga tahun," balas Kanaya.
"Tiga tahun? Bego sih kamu! Murahan banget!"
Sontak saja Kanaya langsung mendongakkan kepala menatap sendu ke arah Aviani. Ia merasa tak tersinggung sama sekali, setidaknya kalimat itu mampu menyadarkan dirinya yang amat bodoh mengejar-ngejar Vijendra.
"Sekarang ... Malu 'kan ketemu sama Vijendra lagi?"
"Malu banget! Tapi, Via. Dulu 'kan aku masih polos-polosnya belum ngerti kalo ngejar-ngejar cowok tuh sama aja kayak cewek murahan. Setidaknya dari itu aku punya pengalaman dan kisahku semasa SMA."
"Pengalaman sih pengalaman, cerita SMA sih cerita SMA. Kok enggak pernah indah, malah cuma makan hati aja, chuakks."
Kanaya memajukan bibir beberapa centi, langsung membuang muka ke arah kiri. Rasanya jleb sekali disindir secara langsung oleh Aviani. Makin sadar diri dan semakin malu mengingat-ingat kenangan itu.
"Makanya jangan terlalu dikejar. Kalo memang Vijendra juga suka sama kamu, dia bakalan ngejar balik."
"Kalo enggak?"
"Ya berarti enggak suka sama kamu! Gitu aja enggak ngerti!"
"Ih, Viaa! Nyebelin amat, sih! Kasih nasihat, kek!"
"Percuma, Nay. Ngasih nasihat ke orang yang udah bucin sama seseorang."
"Udahlah, kamu 'kan di sana kerja. Bukan buat ngejar-ngejar Vijendra lagi," lanjut Aviani.
"Kalau semisalkan Vijendra ngira aku ngejar dia lagi, gimana?"
"Ya berarti dia kepedean. Lagian sikapmu ke dia biasa aja, 'kan?" Aviani menatap ingin tahu.
"Iya kayaknya. Tapi dia makin ganteng, Viaa! Mukanya dia masih sama kayak pas SMA. Kira-kira mama dia ngidam apa ya pas dia dalam kandungan?"
Aviani menarik napas dan membuang secara pelan. Mencoba menahan sabar menghadapi sikap childish dari seorang Kanaya.
"Pokoknya kamu harus bisa cuek sama cowok yang enggak tahu diri kayak dia. Jangan kayak dulu lagi, jangan jadi murahan! Jangan mau ngejar-ngejar cowok lagi. Asalkan kamu tahu aja, ya. Jengkol sekarang aja mahal, kamu juga harus jual mahal. Dan aku enggak setuju kalo kamu sama si Vijendra lagi."
Kanaya hanya mengangguk-angguk mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Aviani. Siapa juga yang mau ngejar Vijendra lagi, Kanaya merasa lelah. Kalau memang ia tidak bisa memiliki Vijendra, setidaknya hatinya pernah melukiskan nama dari laki-laki itu.
***
Bismillah rame. Haaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top