18. Bertemu

Kanaya sudah merenungi perasaannya sendiri. Ucapan Aviani terus berputar di kepala. Membuat ia mesti mengambil keputusan yang tepat agar tak menyesal nantinya. Apa ada asa yang sedang digenggam dalam hatinya atau cuma obsesi semata dari cinta semasa putih abunya dulu. Berulang kali Kanaya memikirkan hal itu, sampai ia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Bahkan teguran dari Imelda serta teman-teman yang lain, membuat Kanaya menunduk malu.

Sekarang, Kanaya harus bisa menyelesaikan masalah dengan Vijendra. Ya walaupun cuma sebatas orang masa lalu. Namun, kenangan keduanya masih sama-sama saling melekat. Setidaknya dari salah satu mereka ada yang sudah selesai dengan kisah masa lalu itu. Tak ada lagi momen saling kejar-mengejar, bahkan menunggu janji seseorang yang ingin mewujudkan asa bersama.

Lonceng kafetaria berbunyi, menandakan bahwa ada pelanggan masuk selain Kanaya. Lamunan yang singgah di kepala, tiba-tiba buyar seketika. Kanaya mendongakkan kepala saat mata tak sengaja melihat sepasang sepatu pantofel kantor yang tampak mahal berdiri di depan mejanya. Senyum laki-laki itu membuat Kanaya berkedip dua kali. Bahkan Kanaya gagal fokus dengan raut wajah laki-laki itu nan tampak lelah.

Tanpa menunggu persetujuan, laki-laki itu menarik kursi di seberang Kanaya. Lalu menduduki diri di sana dengan wajah tertunduk lesu. Kepala seakan terasa ingin meledak memikirkan berbagai masalah tentang percintaan serta sandiwara tentang hubungan pernikahan.

"Nay, kenapa cinta pertama selalu berakhir dengan kegagalan?"

Suara berat laki-laki itu terdengar sumbang tak bertenaga. Sungguh kasian sekali nasib laki-laki tampan yang dulu Kanaya idamkan. Kanaya memanggil salah satu pelayan kafetaria tersebut, memesankan vanilla latte untuk laki-laki itu. Berharap setelah disuguhkan oleh bau harum dari vanilla latte, stres dari laki-laki itu bisa sedikit terangkat.

"Kamu sudah pernah membicarakan hal itu." Kanaya mengulas senyum tipis kala laki-laki itu mengangkat wajahnya. "Kata siapa cinta pertama selalu berakhir dengan kegagalan? Enggak semua cinta pertama akan berakhir dengan menyedihkan," lanjut Kanaya.

Keduanya sama-sama terdiam, saling menatap penuh harap satu sama lain. Susah memang kalau dua manusia yang memiliki gengsi tinggi disatukan, terlebih salah satu dari mereka masih tetap mempertahankan harga dirinya. Kontak mata keduanya saling terputus kala seorang pelayan datang ke meja mereka sembari menaruh segelas vanilla latte ke hadapan laki-laki itu.

Setelahnya, laki-laki itu hanya menunduk menatapi uap dari vanilla latte di dalam gelas tersebut.

"Vijen ingat sesuatu?"

Sontak saja Vijendra langsung mendongakkan kepala saat nama panggilannya sendiri disebut oleh Kanaya. Ini yang dirindukan oleh Vijendra.

"Ingat, kamu menyatakan perasaanmu berulang kali dengan menyuap vanilla latte," tutur Vijendra mengingat sederet kenangan dulu.

Kanaya tertawa pelan, bahkan tawa dari gadis itu membuat Vijendra menelan ludahnya sendiri berulang kali.

"Kamu benar-benar enggak ngelupain kejadian itu?" Tawa Kanaya memudar, menatap penuh lekat ke arah Vijendra. "Aku pikir momen kebersamaan kita sudah berakhir. Hebat juga ya kamu masih ingat."

"Bagaimana mau melupakan kenangan kebersamaan kita, Nay? Setiap saat tawa kamu, senyum kamu, bahkan panggilan namaku dari bibir kekanak-kanakan kamu selalu terlintas setiap waktu. Kenangan tersebut terlalu sakit untuk dilupakan, Nay."

Tenggorokan Kanaya terasa seret. Bisa-bisanya laki-laki yang tak pernah mengeskpresikan perasaan sendiri tiba-tiba berkata seperti itu. Dulu 'kan yang sering mengeskpresikan perasaan itu Kanaya, dari mulai mengejar, ditolak, dan mengejar lagi.

"Aku sudah pernah bilang sama kamu, bahwa selama lima tahun terakhir ... aku seringkali mengingat-ingat kenangan masa putih abu itu," ungkap Vijendra. Sungguh, ia tak peduli semenyedikan apa dirinya di hadapan Kanaya.

Vijendra tak mau menyesal kembali. Sebelum tanggal pernikahan ia dan Arawinda ditentukan, ia ingin memastikan sekali lagi perasaan Kanaya kepadanya. Jikalau Kanaya kembali menolak, maka Vijendra akan menyerah dan mengasingkan diri ke luar negeri.

Setidaknya dengan menyibukkan diri di negeri orang nanti. Bayang-bayang masa lalu tersebut bisa teralihkan.

"Lalu bagaimana dengan pernikahanmu? Berlanjut?"

Hening yang tercipta, seketika buyar oleh pertanyaan ingin tahu dari Kanaya. Vijendra menatap lurus ke dalam bola mata Kanaya, berharap bahwa pertemuan kali ini bukan lagi tentang penolakan.

"Aku enggak sanggup buat sandiwara tentang hubungan sakral pernikahan bersama Arawinda, cuma buat lupain kamu, Nay. Rasanya aku sedang membohongi diri aku sendiri dan juga orang lain. Aku masih menggantung kepastian pernikahan tersebut," jelas Vijendra.

Ada rasa lega di ulu hati Kanaya saat mendengarnya. Tiba-tiba saja sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Kini saatnya ia menyatakan perasaan yang sesungguhnya.

"Aku ngerti." Kanaya mengangguk-angguk, mata menatap ke arah gelas vanilla latte laki-laki itu—belum tersentuh sama sekali. "Kamu enggak mau minum vanilla latte-nya dulu?" Kanaya menarik satu alisnya memastikan kepada Vijendra.

Tatapan Vijendra terbagi menjadi dua, antara menatap gelasnya dan menatap ke arah Kanaya. Melihat Kanaya tampak tersenyum, kemudian menganggukan kepala pelan seolah-olah mengode bahwa ia harus meminum vanilla latte tersebut. Setidaknya diseruput sedikit.

Seakan-akan terbius oleh tatapan Kanaya. Vijendra menyeruput pelan vanilla latte tersebut. Menatap lekat ke arah Kanaya yang sedang tersenyum lebar.

"I–ini maksudnya apa, Nay?" Vijendra bertanya gugup untuk memastikan, sungguh ia sudah tak mau menggenggam harapan palsu lagi.

"Itu ... aku menyatakan perasaanku kembali. Bahwa aku masih memiliki rasa kepada kamu."

Wajah Vijendra berubah menjadi semringah mendengar ucapan Kanaya. Bahkan senyum yang sedari tadi menghilang di wajah, kini terlukis begitu manis di bibir. Rasa bahagia menyelimuti benak, hasil menunggunya selama lima tahun berakhir dengan kabar bahagia.

"Ini benaran? Kamu ngasih kesempatan buat aku?" Mata Vijendra berbinar tak percaya.

Kanaya cuma bisa tertawa pelan, melihat laki-laki itu yang salah tingkah kala perasaannya yang hanya dipendam saja bisa terbalaskan oleh Kanaya.

"Seharusnya aku yang menyatakan perasaan ke kamu. Nay, sungguh aku benar-benar cinta sama kamu," sambung Vijendra begitu antusias.

"Dari dulu 'kan Vijen susah buat nyatakan perasaan," tutur Kanaya terkekeh pelan.

"Kayaknya kalo ngejalanin hubungan cuma sebatas sepasang kekasih, terlalu enggak cocok buat kita yang sebentar lagi akan kepala tiga. Gimana kalau hubungan kita berlanjut ke jenjang serius?"

"M–maksudnya?" Senyum Kanaya pudar, sebelum ia menyatakan perasaan kembali. Ia akan menduga dengan keinginan Vijendra.

Kalau boleh jujur, semenjak kehilangan sedikit harta, dan meninggalnya sang ayah. Ia jadi plin-plan dengan perasaan sendiri. Di sisi lain yang menginginkan hubungan jenjang pernikahan, sisi lainnya ia merasa takut.

"Nay, nikah, yuk!"

"Aku biayai hidup kamu mulai sekarang dan kamu enggak perlu capek-capek lagi kerja. Bahkan kalau kamu mau usaha, aku akan berusaha mewujudkannya. Dan aku enggak akan menghalangi kamu kalau memang kamu ingin berkarir," lanjut Vijendra dengan wajah serius nan tulus.

Mulut Kanaya terbuka sedikit, berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang didengarnya tidaklah salah.

"Aku serius, Nay. Aku enggak akan bikin kamu susah, aku akan mengabulkan apa yang kamu." Vijendra berucap lagi saat merasa keterdiaman dari Kanaya.

Realistis saja, setiap perempuan pasti menginginkan hal demikian dari pasangannya sendiri. Entah itu materi ataupun kasih sayang dan tanggung jawab dari laki-laki setelah menikah. Kanaya pun menginginkan hal demikian. Ia tak ingin lelah-lelah lagi bekerja menghidupi diri sendiri serta ibunya.

"Aku enggak butuh omonganmu, Vijen. Aku butuh bukti nyatanya," tegas Kanaya.

"Makanya, ayo kita nikah!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top