16. Sebuah Pilihan

Malam kian larut, udara dingin pun begitu terasa menguar menusuk relung tulang. Awan hitam tampak menggumpal menutupi kilauan bintang yang tadi bersinar. Perlahan gemericik dari awan hitam tersebut turun membasahi tanah. Membuat Vijendra menghela napas pelan menatap lurus ke permukaan air yang mengendap di kaca jendela.

"Hujan lagi, kayaknya pas banget sama hatiku yang lagi terluka," ucap Vijendra pelan.

Bukannya tidur dan bersiap dengan meeting penting untuk besok. Justru Vijendra malah menggeser sofa busa ke arah jendela, lalu mendudukinya sambil memegang sebuah gitar. Mata tertuju ke depan sama, tangan kanan memetik senar gitar dengan asal tanpa nada.

Siluet wajah seorang gadis terlintas dalam benak dan pikiran Vijendra. Bahkan peristiwa di kedai es krim pun terus berputar-putar di kepala. Ia menebak-nebak jawaban apa yang akan diberikan oleh gadis itu.

Diterima atau tidak. Kalau diterima, usahanya untuk mengejar gadis itu akan sia-sia. Kalaupun tidak diterima, ia tak bisa berbuat apa-apa selain memilih melepaskan gadis itu. Sama-sama pilihan yang tak begitu menguntungkan.

Vijendra kalut oleh suara gemericik hujan di malam hari. Jemarinya begitu lihai memetik senar gitar tersebut, menciptakan sebuah lagu yang sama persis dengan kisah percintaannya. Lagu yang dibawakan oleh Elsya Radwi dan Aan Story; Trauma.

Petikan demi petikan terdengar merdu. Vijendra menarik napas, lalu mengembuskan dengan pelan sebelum melantunkan lagu tersebut.

"Aku tak mengejarmu saat kau pergi ... bukan karena kutak cinta lagi ...." ~~~

"Tapi kuingin berhenti ... kita saling menyakiti ...." ~~~

"Aku tak menahanmu tetap di sini ... bukan karena tak bahagia lagi ... tapi kini kusadari ...." ~~~

"Cinta tak harus saling memiliki ...." ~~~

Petikan gitar terdengar memudar seiring berakhirnya lirik lagu tersebut dinyanyikan oleh Vijendra. Mata yang semula terpejam meresapi lirik tersebut, kini terbuka tertuju ke arah depan. Menatap jendela kaca yang berembut akibat guyuran air hujan.

"Bener, level tertinggi dalam mencintai ialah tidak harus saling memiliki. Walaupun ada yang sakit sih di ulu hati," gumam Vijendra.

Vijendra tidak tahu, keputusannya bijak atau tidak. Ia terlalu terburu-buru menghadapi Arawinda. Pilihan yang dibuat benar-benar akan menyakiti seseorang lagi. Jujur saja, Vijendra masih berharap bahwa Kanaya masih memiliki perasaan kepadanya, meski itu hanya sedikit.

***

Kabar tentang pernikahan Vijendra dengan Arawinda tersebar di kantor. Hal tersebut membuat tim ahli gizi heboh, mereka pikir perempuan yang akan dinikahi oleh Vijendra ialah Kanaya, mengingat bahwa keduanya sering kali bertengkar saat bersama. Lalu tak lama kemudian, berbaikan, mereka mengira bahwa keduanya terjebak cinta lokasi di kantor.

Telinga Kanaya terasa sakit dan penuh mendengar kabar tersebut. Dari pagi sampai jam istirahat, teman-temannya tanpa henti membicarakan Vijendra serta Arawinda. Membuat Kanaya tak memiliki nafsu makan makanan siangnya.

Peristiwa beberapa hari yang lalu, mengusik pikiran Kanaya. Mendengar pertengkaran Arawinda dan juga Vijendra kala itu. Keduanya sama-sama mengungkapkan isi hati bahwa tak ada perasaan yang bersemayam. Berbeda dengan Arawinda yang sepertinya menyukai Vijendra.

"Kamu itu enggak pantes sama Vijendra. Gadis miskin kayak kamu, enggak usah sok-sokan ngejar Vijendra." Arawinda mengejar Kanaya sampai di halaman hotel, ia ingin sekali mengatai gadis itu yang telah mengganggu Vijendra—sang pangerannya.

"Omongan kamu jahat banget. Memangnya apa hak kamu sampai ngelarang begitu? Gadis lain banyak kok yang ngejar-ngejar Vijendra. Atau kamu kalah saing?" Kanaya tak menyukai Arawinda sejak pertama kali bertemu di lapangan basket tepat saat pertandingan antar persahabatan sekolah. Bagi Kanaya, Arawinda itu gadis galak yang tak punya sopan santun. Namun anehnya, Vijendra selalu membela gadis itu kala sedang berada di dalam masalah.

"Hah, apa? Kalah saing?" Arawinda tertawa sinis. Menatap sebelah mata ke arah Kanaya. "Enggak usah percaya diri. Vijendra nanggepin kamu bukan karena dia bakalan suka sama kamu. Melainkan kasihan ngelihat gadis enggak tau diri kayak kamu nempelin dia terus-menerus. Udah miskin, belagu lagi," lanjut Arawinda apatis.

Kanaya marah, apa yang diucapkan Arawinda terdengar menyakitkan. Memang ia miskin, ia haru saja kehilangan separuh hartanya akibat kerugian besar di usaha sang papa. Akan tetapi, bukan berarti Arawinda menghinanya begitu saja.

"Mulai sekarang, aku peringatkan sama kamu. Vijendra itu pacar aku sekarang, jadi kamu harus jauh-jauh dari dia. Kalau bisa jangan pernah nunjukin muka kamu di hadapan dia," ucap Arawinda dengan kepala terangkat menatap sinis Kanaya.

"Aku enggak mau. Mana mungkin Vijen pacarin gadis bermulut busuk kayak kamu!"

"Lancang kamu!" Arawinda melangkah mendekat, menatap tajam Kanaya. "Kalau kamu masih nyoba deketin Vijendra, bahkan menghubungi dia. Aku bakalan kasih perhitungan, bukankah usaha papamu memiliki kontrak dengan perusahaan papaku? Aku enggak akan segan melaporkan kasus penggelapan dari kerugian tersebut ke polisi. Jadi, lebih baik kamu jauhi Vijendra!"

Kanaya menghela napas berat kala ingatan masa lalu itu buyar. Berawal tak sengaja melihat laki-laki itu berpelukan, lalu berakhir dengan ancaman Arawinda. Padahal setelah dari acara prom night kala itu, Kanaya ingin mengabadikan momen berdua dengan Vijendra. Ya walaupun laki-laki itu diakui pacar oleh Arawinda.

Tubuh Kanaya tersentak kaget merasakan seseorang menarik tangannya secara tiba-tiba. Membuat map hijau dalam genggaman Kanaya hampir terjatuh berserakan. Untung saja dengan sigap pelaku yang menarik tangannya, mencegah map tersebut jatuh.

Kanaya ingin mengumpat orang tersebut, tetapi tertahan saat melihat seseorang yang baru saja dipikirkan. Bola mata keduanya saling bertemu satu sama lain. Menatap penuh rindu.

"Nay, aku tanya satu kali lagi sama kamu. Enggak adakah kesempatan untuk aku?" Vijendra bertanya dengan pasrah.

Kalau jawaban Kanaya dapat melegakan hatinya. Maka ia akan membatalkan pernikahan dengan Arawinda. Walaupun nantinya Arawinda akan berbuat nekat kepada Kanaya.

"Kesempatan apa? Kamu 'kan mau nikah sama Arawinda. Kenapa bertanya tentang kesempatan? Bukankah kisah kita sudah berakhir di malam perpisahan sekolah?"

"Bagi aku belum berakhir, Nay. Aku nunggu kamu selama lima tahun, aku selalu mikirin kamu. Bahkan kenangan semasa kita dekat pas itu, bikin aku kangen sama kamu. Aku harus gimana supaya kamu bisa ngelihat cinta aku?"

Sungguh, Vijendra sudah kehabisan akal meluluhkan hati Kanaya. Dari semalam ia berperang dengan isi kepalanya sendiri. Menimang-nimang keputusannya sendiri. Takut kalau nanti akan menjadi penyesalan untuk yang kedua kalinya.

Sementara Kanaya, ia tak mampu berkata-kata lagi. Apa yang didengar di depan kantor kemarin, ternyata benar. Vijendra masih memiliki perasaan kepadanya. Selama itukah Vijendra menahannya? Benar-benar mustahil dan tak dapat dipercaya.

"Kamu terima ajakan nikah Kaivan?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Vijendra, melihat Kanaya hanya diam saja.

"Kamu tahu dari mana?" Kanaya menatap Vijendra. Lalu mengingat kejadian kemarin di kedai es krim kala merasa ada yang mengawasinya. "Kamu menguping pembicaraan aku sama Kaivan?"

"Aku enggak sengaja denger. Jawab aku, Nay. Kamu terima dia?"

Kanaya bingung harus berkata apa. Jujur saja, ia menolak tawaran Kaivan untuk menikah. Bukan karena Vijendra, melainkan ia sama sekali belum siap dengan hubungan serius itu. Setelah lulus kuliah, yang ada di kepala Kanaya bukan soal lagi mencari kekasih ataupun menikah. Melainkan kerja, kerja, kerja, lalu dapat uang yang banyak. Sebagai bentuk pembalasan dendam kebangkrutan usaha sang papa dulu.

"Bukan urusan kamu!" Kanaya buru-buru pergi meninggalkan Vijendra. Menghindari pertanyaan tersebut, tetapi dari yang dilihat Kanaya ... Vijendra tampak frustrasi. Bahkan ia tak sengaja melihat kantung mata laki-laki itu membesar dan menghitam, begitu kentara di kulitnya yang sedikit putih.

"Sial! Argh!" Sepeninggalan Kanaya, rasa kesal menyelimuti benak Vijendra. Kanaya begitu keras untuk diluluhkan, benar-benar membuat Vijendra berat untuk melepaskan.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top