15. Terkekang

Seminggu sejak kejadian pertengkaran antara Arawinda dan Vijendra, Kanaya tak melihat sosok kedua orang itu di kantor. Saat rapat gabungan mengenai protes dari konsumen, laki-laki itu pun tak menampakan diri. Membuat berbagai pertanyaan dalam kepala Kanaya menggunung mempertanyakan apa yang terjadi dengan laki-laki itu.

"Nay!"

Panggilan dari Kaivan tak membuat Kanaya tersadar. Gadis itu tetap melamun sembari mengaduk-aduk es krim di hadapannya yang sudah mencair. Tangan Kaivan terulur ke depan, menarik tangan Kanaya pelan, lalu menggoyangkannya menyadarkan perempuan tersebut.

"Heh, apa? K–kenapa?" Kanaya mengerjapkan mata dua kali, mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencoba mengambil alih kesadarannya sendiri yang masih tertinggal dalam lamunan itu.

Suara bising klakson dari jalan raya sana tak membuat keduanya terganggu. Mereka sama-sama berdiam, membiarkan waktu terus berputar. Merasakan setiap suasana di sekitar berubah menjadi cepat. Suasana kedai es krim yang disinggahi oleh Kanaya terlihat ramai, banyak sekali sepasang kekasih bersinggah untuk menghabiskan banyak waktu, ataupun sekadar mengabdikan momen di lukisan dua angsa putih yang berdekatan hingga bentuknya tampak seperti love.

"Kayaknya kamu lagi banyak pikiran, Nay. Jadi, enggak serius buat dengerin aku," ujar Kaivan menghela napas pelan.

Kaivan mencoba bersabar dengan Kanaya. Sejujurnya ia bisa saja menebak isi kepala perempuan itu. Namun, ia tak mau memperpanjangnya, yang dimana akan membuat hubungan mereka merenggang.

"Maaf, Kai. Maaf, aku memang lagi enggak konsen. Soalnya tadi di ruang uji organoleptik kita kacau banget, semua data yang didapat enggak sesuai dengan yang udah kita presentasikan dulu. Bahan serta kandungannya berbahaya, mungkin karena itu aku enggak konsen."

Kanaya tak berbohong. Timnya sedang kacau sekarang, semua jajaran eksekutif serta departemen lain menyalahkan ahli gizi atas produksi yang rusak. Bukannya membantu mencari jalan keluar, malah mencemooh tak tahu malu. Hampir Kanaya ingin menelepon Vijendra, karena di saat kantor sedang kacau, laki-laki itu malah tak menunjukkan batang hidungnya.

Untuk ketiga kalinya Kaivan menghela napas pelan. Ia kembali menyuap es krim rasa stoberi ke dalam mulut. Dua detik kemudian, sudut bibirnya terlukis senyuman kecil.

"Aku mengerti, Nay. Maaf, kalau aku meminta ingin didengarkan," tutur Kaivan.

Mendengar kalimat itu, malah membuat Kanaya mengerutkan dahi penuh tanya. Sepertinya apa yang diperbicangkan tadi, mengenai hal-hal penting, dan Kanaya malah melewatinya.

"Memangnya apa yang kamu bicarakan tadi? Hmm, bisa diulangi lagi, aku mohon ...."

"Aku enggak yakin kalau diulang lagi kamu mau menerimanya."

"Memangnya apa yang kamu bicarakan Kai?"

"Nikah, yuk!"

Kanaya membulatkan mata terkejut. Mulut tercengang mendengar dua kata penuh arti itu keluar dari mulut Kaivan. Tunggu, sebentar, Kanaya mencoba mencerna serta merenungi dua kata tersebut. Takut apa yang didengar tadi, bukan sesuatu yang berlandaskan pernikahan sungguhan. Namun melihat ketulusan di balik bola mata Kaivan, Kanaya jadi meragu bahwa apa yanh dikatakan Kaivan merupakan lelucon. Pasti Kaivan benar-benar serius mengatakannya.

"Kayaknya gue kalah start lagi, deh," ungkap seorang laki-laki bertopi dengan angka 721 di belakang Kanaya. Meja mereka bersisihan, bahkan keduanya sama-sama saling mengenal satu sama lain.

Laki-laki itu sama sekali tak mau menunjukkan diri. Ia hanya duduk terpaku mendengarkan obrolan sejoli tersebut bersama salah satu sahabatnya.

"Tuh, 'kan! Jadi beda suasananya. Anggap aja aku enggak pernah berkata seperti itu." Kaivan mencoba mengubah suasana yang terasa canggung, kembali menyibukkan diri menikmati suapan demi suapan lelehan es krim tersebut.

"Kamu serius, Kai?" Kanaya menatap penuh mata Kaivan, bertanya sekali lagi untuk memastikan ketulusan laki-laki itu. "Kamu lagi lamar aku sekarang?"

Bukannya Kanaya yang terkejut, sekarang malah Kaivan yang dibuat terkejut dengan eskpresi wajah senang Kanaya. Laki-laki itu tersedak oleh air liurnya sendiri, mencoba menetralisirnya, serta mengerjapkan mata beberapa kali.

"Tadinya begitu, tapi aku enggak mau bikin hubungan kita jadi jauh."

"Aku akui keberanian kamu, Kai. Untuk jawabannya, aku akan mengantongi jawaban untuk kamu. Tapi bukan di sini, aku merasa ada yang terus mengawasi kita sejak tadi," timpal Kanaya memaksakan senyum tipis.

Kanaya memang tidak melihat wajah yang tengah mengawasinya. Akan tetapi, ia begitu peka dengan suasana sekitar. Sedari tadi, ia merasa bahwa seseorang memperhatikan ke arah mejanya, juga menguping setiap pembicaraannya bersama Kaivan.

Selanjutnya, Kaivan mengajak Kanaya untuk pulang. Mengerti bahwa Kanaya mulai tak nyaman berada di kedai itu. Namun, memberikan tanda tanya untuk laki-laki bertopi itu. Padahal sedari tadi ia berusaha menajamkan pendengarannya, ingin tahu jawaban yang akan diberikan oleh Kanaya kala diajak nikah oleh orang lain.

"Lo mau gimana sekarang, Jend?" Laki-laki di hadapannya bertanya dengan sorot mengiba.

"Kanaya udah dilamar orang. Dan kelihatannya tuh cowok baik-baik, tanggung jawab, enggak gengsian," lanjut Lana sarkasme.

Vijendra masih saja diam. Kepala masih menunduk menatap es krim yang tersisa setengah mulai mencair. Rasanya es krim yang tengah dilihat oleh Vijendra begitu cepat mencair. Tidak sepertinya hati seorang Kanaya belum juga mencair. Ia pikir Kanaya akan sama seperti gadis bar-bar sewaktu SMA, ternyata berbeda. Kini Kanaya tak lagi mengejar, bahkan sudah berpaling. Padahal Vijendra menunggu perempuan itu berlari mengejarnya lagi.

"Kayaknya gue bakalan iyain keinginan Arawinda. Gue pengen tahu seberapa jauh Arawinda melangkah," ucap Vijendra.

"Lo gila!" hardik Lana. Ia menggeleng pelan, tak habis pikir dengan keputusan yang dibuat secepat itu.

"Gue enggak punya cara lagi, Lan. Gue udah kehabisan cara buat dapetin hati Kanaya. Mungkin aja Kanaya udah capek sama gue dan dia udah nyerah sama cinta pertamanya, mungkin."

"Asal lo tahu aja, Jend. Jangan ambil keputusan di saat lo lagi di puncak api cemburu. Tarik lagi omongan lo itu," sergah Lana.

Vijendra tertawa sumbang, menatap Lana dengan sorot mata kosong. Sungguh, ia juga tidak tahu harus membuat keputusan bagaimana. Hidupnya kini terkekang kembali setelah kehadiran Arawinda. Hanya ada satu cara untuk melindungi Kanaya dari jangkauan Arawinda, yakni tunduk dan mengiakan.

"Gue enggak bisa berbuat apa-apa, Lan. Gue enggak mau ngelihat Kanaya terluka. Cuma ada satu cara buat bisa lindungi Kanaya dan ngelihat dia bahagia sama pilihan hatinya."

"Tapi, Jend. Pernikahan bukan buat ajang permainan! Sadar lo!" tegas Lana meninggikan suaranya, sampai pengunjung lain melirik ke arah meja mereka.

"Toh, Kanaya juga bakalan nikah sama pilihan hatinya, Lan. Udah enggak usah khawatirin gue, gue cuma pengen ngelihat Arawinda enggak kenapa-napa. Lo tahu sendiri 'kan Arawinda orangnya nekatan, dia bisa aja ngelukain Kanaya."

"Sumpah ...." Lana tertawa sumbang, menatap tak percaya ke arah Vijendra. "Lo bego!" timpal Lana.

"Dari kisah lo yang nunggu Kanaya selama lima tahun ini, gue bisa jadi nyimpulin bahwa cinta pertama tak selamanya selalu menang dan berakhir bahagia." Vijendra menatap Lana yang tengah tersenyum tipis. "Kayaknya lo sama Kanaya dipertemukan di waktu yang salah, harusnya kalian ketemu pada saat sama-sama mengantongi jawaban dari perasaan masing-masing, bukan malah kayak gini."

***

Semoga cinta pertama kalian berhasil bahagia.

Atau malah sebaliknya?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top