14. Pengakuan yang Terlambat
Berjam-jam menguji organoleptik kelanyakan makanan tersebut. Akhirnya mereka keluar tepat di jam enam lewat. Waktu yang terbuang bukan sibuk dengan uji organoleptik makanan tersebut, melainkan perdebatan tak berujung antara Kanaya dan Vijendra. Sehingga membuat tim ahli gizi menatap heran sekaligus bingung kepada sejoli itu.
"Kamu pulang sama siapa? Aku antar, ya?"
Vijendra menghentikan langkah di serambi kantor, tepat di samping Kanaya. Sementara gadis itu tetap bergeming sembari memainkan ponsel menghubungi seseorang.
"Beneran kamu enggak bisa jemput? Enggak, aku naik ojol aja nanti," kata Kanaya, setelahnya memutuskan sambungan telepon tersebut.
"Enggak usah jual mahal kali. Udah terima aja ajakan pulang aku, Nay."
Kanaya melirik sebentar, sedangkan Vijendra mengangguk pelan dengan tatapan mata membujuk gadis itu. Tepat saat Kanaya ingin mengatakan sesuatu, lengan Vijendra sudah direngkuh erat oleh Arawinda.
"Vijendra pulang sama aku, ya."
Hancur sudah rencana Vijendra mengajak Kanaya berduaan. Ia berusaha melerai rengkuhan di lengan, tetapi Arawinda tetap bergelayut di lengannya.
"Aku duluan ya Pak, Bu, mari." Kanaya berlalu meninggalkan Vijendra yang memaku di tempat.
"Kanaya masih cantik, ya," ucap Arawinda, menatap punggung Kanaya yang sudah menjauh dari jangkauan mereka.
Rengkuhan di lengan pun terlepas. Arawinda melirik Vijendra yang juga menatap punggung Kanaya sedari tadi.
"Kenapa kamu enggak pernah bahkan mencoba buat cinta sama aku, Vijen? Padahal selama bertahun-tahun aku nunggu kamu."
Vijendra mendengkus kasar. Memejamkan mata sekilas, memikirkan kalimat dari jawaban Arawinda.
"Karena cinta enggak bisa dipaksa, Ra. Gue kejebak sama sandiwara lo yang nekat nyakitin diri lo sendiri. Kalau dulu lo enggak cegah gue buat nyatain perasaan sama Kanaya, mungkin sekarang gue udah punya anak sama Kanaya."
"Omongan kamu jahat banget, Vijen. Padahal selama ini aku tuh cinta sama kamu, sakit rasanya dengar omongan itu. Aku harus gimana supaya kamu juga cinta sama aku?" Kanaya mendesak Vijendra. Cintanya selalu saja tertolak, bahkan tak terbalas sama sekali. Berbagai cara sudah dilakukan agar bisa meluluhkan hati laki-laki itu, tetapi bukannya hal bahagia yang didapat. Justru malah berujung makan hati.
"Lo ikhlahin gue, Ra. Ikhlas liat gue sama Kanaya. Asal lo tahu aja, selama ini gue menderita, Ra. Gue menderita sama perasaan gue sendiri, gue selalu keinget Kanaya, gue selalu rindu sama dia. Andai dulu lo enggak meluk gue atau sandiwara tentang penyakit lo itu, mungkin gue udah bisa balas cintanya Kanaya!" tegas Vijendra menatap penuh amarah, mati-matian ia menahan diri agar tak menaikan suaranya menjadi tinggi di hadapan Arawinda.
Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Kepala menunduk dalam merenungi apa yang dikatakan oleh Vijendra. Hati terasa ditusuk oleh ribuan jarum, perih dan sesak secara bersamaan. Sungguh, selama bertahun-tahun Arawinda sudah memperjuangkan cintanya untuk Vijendra. Di mulai dari satu kampus yang sama, merecoki laki-laki itu, bahkan tak tanggung meminta bantuan kedua orang tuanya agar ia tetap berdekatan dengan Vijendra. Namun sekarang ... rasanya begitu sesak di ulu hati.
Kedua tangan Arawinda mengepal di bawah sana. Kepala mendongak menatap sinis ke arah Vijendra.
"Aku kurang apa sih, Vijen? Apa yang buat kamu enggak tertarik sama aku?" Arawinda berteriak, meluapkan emosi yang mengelayuti benaknya. Untung saja semua karyawan/ti OkNak sudah bubar, hanya tersisa mereka berdua.
"Semenarik apa sih Kanaya sampai kamu nolak aku terus?!" sahut Arawinda. Buliran bening sudah berjatuhan membasahi pipi gadis itu.
Vijendra bergeming sejenak. Bukan ini yang dimau, ia mengeluarkan seluruh isi hatinya bukan untuk membuat Arawinda menangis. Sungguh ia tak berniat membuat Arawinda menangis. Ini salah, ia takut kalau peristiwa ini sampai ke telinga sang papa. Mata mengerjap beberapa kali, tangan berusaha menggapai pundak gadis itu. Jika sudah menyangkut air mata dan kesedihan, Vijendra akan mengalah. Meski hatinya merasa jenuh dengan kelakuan Arawinda yang sudah melewati batas antar persahabatan.
"Kamu jahat, Vijen! Jahat!" teriak Arawinda sembari memukul dada bidang Vijendra, mengeluarkan semua emosi yang ada di dalam benak.
"Iya gue jahat! Salahin aja gue. Harusnya lo sadar diri dan salahin hati lo. Kita cuma sahabat sedari kecil, mustahil rasanya sahabat jadi cinta," sergah Vijendra. Sukses membuat tangisan Arawinda kian deras.
"Memangnya apa salahnya memendam rasa cinta untuk sahabat, Vijend. Apa salahnya?" Suara Arawinda bertalun-talun tersedu sembari menyeka jejak basah di pipi. Bahu tampak naik-turun akibat tangisannya sendiri.
Setelahnya, ia mendongakkan kepala. Menatap ke dalam bola mata Vijendra terelakkan dengan tajam. Amarah masih menyelimuti benak, terutama di sorot mata gadis itu.
"Aku enggak akan tinggal diam. Aku bakalan halangi kamu menjadikan gadis bodoh itu sebagai pasangan hidupmu, aku ngerasa enggak rela! Akan kupastikan kalian enggak akan pernah bisa bersatu!"
Kali ini Vijendra memilih diam. Rasanya tak akan pernah selesai berdebat dengan seorang perempuan. Apalagi dilandasi oleh amarah serta kekesalan dalam diri. Ia berusaha menahan, menunggu apa yang akan diucapkan oleh gadis itu.
"Camkan ini baik-baik!" Arawinda menarik kerah kemeja Vijendra secara kasar, hingga membuat laki-laki itu tersentak kaget resflek mencekal tangan Arawinda. Mata saling beradu satu sama lain, yang satu menatap penuh amarah, yang satu berwaspada.
"Kalau aku memang enggak bisa buat milikin kamu. Jangan harap kamu bisa miliki Kanaya ataupun sebaliknya. Aku enggak akan segan buat nyakitin kalian berdua! Masa bodoh dengan hukum ataupun hal lainnya, asalkan kamu enggak bisa dimiliki oleh siapapun!"
Arawinda melepaskan cekalan di kerah kemeja Vijendra dengan kasar hingga mendorong tubuh tegap tersebut. Lalu melangkah menjauh dengan perasaan penuh amarah. Membiarkan Vijendra berdiri termaku di tempatnya.
"Gila," gumam Vijendra, tanpa sadar mengepalkan tangan kirinya.
Tanpa diketahui oleh Vijendra. Seseorang sedari tadi tengah menguping pembicaraan mereka di balik, mobil boks yang mengangkut produk dari OkNak. Ia mendengar semuanya, bahkan terdengar sangat jelas. Tiba-tiba hatinya menjadi risau, buliran bening pun sempat menetes kala mendengar pengakuan dari laki-laki itu yang mengakui dirinya.
Selama ini usahanya mendekati, mengejar, dan mengganggu laki-laki itu pada saat SMA membuahkan hasil. Ada rasa bahagia selagi diakui, tetapi berakhir dengan kesedihan. Terlambat, semua pengakuan tersebut terdengar omong kosong. Sebuah lakon dari zaman SMA-gadis tak tahu malu seperti dirinya mengejar pangeran gensian seperti Vijendra-kini sudah jadi kenangan yang tak pernah menjadi nyata.
"Kenapa harus sekarang, Vijen? Harusnya di malam itu, malam dimana kamu menjelaskan kesalahpahaman itu. Bukan malah Arawinda yang menjelaskannya dan sekarang ... malah berakhir seperti ini," batin Kanaya, menghela napas kasar berusaha melenyapkan rasa gundah di hati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top