13. Galau
Ternyata kenangan masa lalu tak bisa dilupakan sepenuhnya. Kenangan akan selalu mengikuti dalam bayang-bayang hidup manusia. Hal itulah yang tengah dipertanyakan oleh Vijendra. Wajah laki-laki itu tampak kusut, menatap hamparan gedung pencakar langit di lantai atas ruangan sendiri. Memikirkan banyak hal, terutama cara meluluhkan hati gadis yang dicintainya.
"Lo udah tahu kalau Arawinda kerja di departemen gue?"
Suara Adam yang baru saja memasuki ruangan, membuat Vijendra menghela napas kasar. Kemarin memang ia tak sengaja bertemu dengan gadis itu di lobi kantor dan baru tadi pagi ia mendengar kabar pemindahan Arawinda ke OkNak dari para eksekutif perusahaan.
"Kenapa harus Arawinda? Masih banyak lulusan sarjana terbaik di sini, kenapa harus Arawinda?" Vijendra berbalik, melangkah mendekati kursi kebesarannya. Lalu menduduki kusi tersebut dengan beban kepala yang kian bertambah.
"Mana gue tahu, soal terima-menerima. Kalau bagian itu mah HRD. Gue enggak ada ikut campur sama hal begituan." Adam membela diri, takut menjadi sasaran pelampiasan Vijendra. "Kusut banget muka lo, Jend!"
Adam ingin tertawa, tetapi tertahan kala mendapati tatapan tajam dari Vijendra. Sang sahabat tampak kusut tak bersemangat. Pasti masalah utama bukan dari kantor, melainkan urusan percintaannya sendiri.
"Gue berusaha buat lupain masa lalu gue sama Arawinda dan Kanaya. Eh sekarang, malah dipertemukan lagi. Tepat pada saat gue mau nyatain perasaan ke Kanaya," tutur Vijendra dengan suara lemah.
"Lo belum makan, ya? Lemes banget," timpal Adam, yang tak begitu serius mendengarkan Vijendra.
"Asal lo tahu, Dam. Selama ini gue sering banget dihantui rasa bersalah karena ego dan gengsi gue sendiri. Harusnya pas malam perpisahaan, gue sama Kanaya, bukan Arawinda."
Suasana auditorium hotel Swissgerand tampak huru-hara oleh acara wisuda/wisudawan sekaligus perpisahan dari SMA Pajanetra 2. Berbagai susunan acara telah terselenggara, membuat mereka berbahagia merayakan perayaan tersebut. Namun, tidak dengan Vijendra. Bukannya merasa senang karena telah lulus, justru laki-laki itu malah galau direbutkan oleh dua orang gadis.
Vijendra tak begitu menikmati hiburan yang ada. Ia menyisi dekat dengan prasmanan kue yang tersedia, sekaligus dekat dengan jendela besar auditorium hotel. Hati serta isi kepala tengah berperang melawan rasa gelisah dalam diri.
"Kamu harus sama aku, Vijendra. Kalau kamu nekat sama Kanaya, aku akan lakuin apa aja supaya kamu bisa dekat-dekat terus sama aku," ucap seorang gadis bergaun navy selutut dengan renda mutiara melingkari pinggangnya, rambut hitamnya diikat currly dengan hiasan jepit mutiara di tengah ikatan tersebut. Cantik.
Vijendra melirik tanpa minat. Memang gadis di sampingnya terlihat cantik, tetapi Vijendra tak menyukainya.
"Lo punya hak apa, ngelarang gue deket sama Kanaya."
"Aku ini sahabat kecilmu, Vijendra! Aku suka sama kamu, kamu juga harus bisa suka sama aku. Jangan sama Kanaya," tukas gadis itu penuh penekanan.
"Arawinda," ucap Vijendra memanggil nama gadis itu, menyampingkan tubuh agar leluasa menatap wajah Arawinda. "Kita memang sahabat, kedua orang tua kita pun dekat. Tapi kalau soal rasa suka itu enggak bisa dipaksakan. Gue suka sama lo cuma sebagai sahabat bahkan adik sendiri, bukan sebagai perempuan."
Mata Arawinda berkaca-kaca, ia tak mau ditinggalkan oleh Vijendra. Sudah lama ia menyimpan rasa tersebut sendirian. Tak rela kalau melihat laki-laki yang dicintai malah berkencan dengan gadis lain.
"Pokoknya kamu harus cinta sama aku, Vijendra! Harus, kalau kamu ninggalan aku, aku akan nyakitin diri aku sendiri. Dan kamu harus tanggung jawab!"
Untung saja suara musik yang menggema bisa menutupi suara teriakan Arawinda. Vijendra bingung harus berbuat apa, tidak tega rasanya melihat Arawinda menangis seperti ini. Apalagi ia pernah berjanji kepada orang tua gadis itu.
"Ara, cinta itu enggak bisa dipaksakan. Harusnya lo ngerti, Ra. Kalau lo maksa gue buat cinta sama lo, itu artinya obsesi. Bukan cinta sungguhan," tegas Vijendra.
"Enggak, pokoknya enggak mau! Vijendra harus jadi milik Arawinda, bukan Kanaya!"
Sontak saja Arawinda langsung menghambur ke dalam pelukan Vijendra secara tiba-tiba. Memeluk dengan erat sembari menangis. Vijendra memaku sejenak, lalu tersadar akan kehadiran Kanaya yang berdiri sepuluh langkah dari mereka.
Mulut Vijendra terbuka kecil, lidah terasa kelu. Ia ingin memanggil nama Kanaya, tetapi suaranya tak terdengar. Tepat saat Kanaya berlalu, Vijendra melepaskan pelukan tersebut. Mengejar gadis yang dicintainya, bahkan ia sempat menepis genggaman tangan Arawinda.
"Dan gue nyesel enggak bisa nemuin Kanaya di prom night itu. Kanaya seakan hilang tepat saat gue sama Arawinda lagi pelukan," akunya menatap Adam dengan sorot mata risau.
Adam bergeming mendengar cerita tersebut. Ia cuma bisa mengasihani nasib percintaan sahabatnya sendiri. Ingin meledek pun waktunya tak begitu tepat.
"Itu tuh konsekuensi jadi orang gengsian. Disuruh ungkapin sebelum perpisahan, masih aja nimang-nimang. Giliran dihalangi sama si Ara, nyesel kan," imbuh Adam.
"Gue harus gimana, Dam? Lima tahun gue masih hidup dalam kenangan kebersamaan gue sama Kanaya. Dia manis, Dam, dia lucu pas ngejar-ngejar gue," decak Vijendra, menyandarkan diri di punggung kursinya.
"Hadeuh!" Adam menghela napas kasar. "Terus lo sama Arawinda gimana? Tuh anak kayaknya cari masalah mulu, gue liat dia udah ketemu sama Kanaya."
"Susah, Dam. Apa lagi Kanaya udah nolak gue, terus sekarang halangannya Arawinda. Rumit, ya."
"Iya, rumit. Mana bentar lagi ulang tahun lo. Mana umur udah mateng buat nikah," seloroh Adam.
"Enggak asik lo!" Vijendra merajuk melihat respons dari Adam.
"Udah jangan galau mulu napa! Lo galau, gue pusing ngurusin klien dari Jepang!" Adam melempar pelan map tebal berwarna hitam yang sedari tadi dibawa untuk dicek kembali oleh Vijendra.
Vijendra menatap tajam, mengambil map tersebut secara kasar. Perasaan jengkel sekaligus kesal menjadi satu, Adam benar-benar berhasil mencampuradukkan perasaannya; kesal, gelisah, marah.
"Gini aja lo enggak bisa! Harusnya ini tugas dari direktur!"
"Ngajak ribut nih bocah! Lo liat, yang tandatangan kontrak sama perusahaan Jepang siapa? Lo yang tahu menahu soal desain produk, konsumennya gimana, tingkat kegizian, dan keawetannya. Gue mana tahu," gerutu Adam.
Vijendra tak begitu mendengarkan gerutuan Adam. Ia lebih membuka map tersebut, memeriksa kalimat perkalimat yang tertulis dalam beberapa lembar kertas tersebut.
"Data dari uji organoleptik ada yang salah, Dam. Mulai dari warna dan rasanya beda." Vijendra menegaskan kesalahan dari data laporan yang diberi oleh Adam.
Tangan memencet tombol telepon di samping, meminta salah satu perwakilan tim ahli gizi untuk berhadapan langsung ke ruangannya. Sementara Adam, membantu mengecek kembali laporan yang berada dalam map tersebut.
"Desain yang kemarin diputuskan pun dipinta rubah lagi. Mereka kurang suka sama desain produknya," komentar Adam kala menemukan perubahan dari permintaan sang klien.
Pintu ruangan terketuk, Vijendra menyuruh orang di balik pintu tersebut untuk masuk. Mata sedikit terkejut saat mendapati Kanaya memasuki ruangan dengan pandangan menunduk sebentar. Adam segera menyisi ke arah sofa membawa map laporan itu.
"Bapak memanggil perwakilan ahli gizi? Ada apa ya, Pak?"
Vijendra bergeming menatap lekat ke arah Kanaya. Entah mengapa kejadian penolakan dirinya berputar di kepala.
"Kumpulkan tim kamu, kita uji organeleptik makanan berbau ikan sekarang!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top