12. Come Back?
Di tengah kegalauan ditolak oleh Kanaya. Vijendra menolak semua meeting penting perusahaan. Ia merasa bahwa perasaan tak baik-baik saja, takut membuat kesalahan fatal yang bisa merusak kerja sama dengan perusahaan lain. Untuk menghindari hal tersebut, ia lebih memilih mengurungkan diri di kamar sambil menghabiskan banyak es krim.
Panggilan telepon dari sang papa saja, sama sekali tak dijawab. Tidak hanya sang papa, mamanya pun ikut meneleponi berkali-kali. Mengkhwatirkan dirinya serta bertanya-tanya mengapa Vijendra mengabaikan rapat penting dari perusahaan. Namun yang diinginkan oleh Vijendra saat ini hanya kesendirian. Merenungi diri serta menangisi diri sendiri yang begitu pengecut tak bisa memperjuangkan cintanya.
Lampu temaram yang menemani selama dua hari, kini menyala. Membuat ia mengerjapkan mata dengan pelan merasakan intensitas cahaya memasuki celah mata.
"Astagfirullah, Vijendra! Kamu sudah gila?!"
Suara tegas nan penuh penuntut menggema dalam kamar Vijendra. Bukannya merasa takut dengan suara itu, justru Vijendra malah naik ke atas kasur seraya menarik selimut menutupi tubuh.
Sementara laki-laki paruh baya itu berjalan lebar sambil menyingkirkan bungkus es krim yang banyak berserakan. Kemudian menarik selimut Vijendra secara kasar. Tak hanya itu saja, Ariyanto menarik tubuh sang anak hingga tubuh atletis itu berdiri tegap dengan malas. Ariyanto menepuk pelan pipi sang anak, menarik tangan kekar Vijendra ke arah kamar mandi.
Sesampai di kamar mandi, Ariyanto mengguyur kepala serta wajah Vijendra dengan air dingin di balik shower. Mata Vijendra mengerjap beberapa kali. Teekejut mendapati guyurannair secara tiba-tiba. Membuat mulut menguap-nguap mencari celah oksigen.
"Bangun, Vijendra!"
Ariyanto mematikan aliran air dari shower itu. Menatap Vijendra dengan seulas senyum semringah. Hal tersebut membuat Vijendra menekuk wajah dengan penuh rasa kesal. Rasanya ingin mengumpat, tetapi saat wajah sang papa berubah menjadi masam nan tegas. Umpatan tersebut tertelan kembali, hanya embusan napas berat yang menguar.
"Cepat mandi. Mama kamu nunggu di bawah, jangan bikin mama kamu nangis lagi," ujar Ariyanto, memberikan alih shower tersebut ke tangan Vijendra dan berjalan keluar dari kamar mandi.
Mungkin saja hal itu karena ia sudah mengabaikan panggilan telepon dari sang mama. Dengan perasaan kalut, Vijendra menutup pintu kamar mandi. Menurut apa kata sang papa yang menyuruh untuk membersihkan tubuh.
Setelah hampir menunggu satu jam, akhirnya Vijendra memberanikan diri turun ke lantai satu untuk menemui sang mama. Telinga serta hatinya sudah siap menerima kemarahan dari kedua orang tuanya.
"Kamu ini kenapa?" Baru saja duduk di samping wanita paruh baya dengan dandanan modis serta rambut hitam sebahu, yang mengelus pelan pundaknya. Vijendra sudah ditembaki pertanyaan dari sang papa.
"Galau karena satu perempuan dari masa lalumu?" Ariyanto kembali menebak. Sebelum menyusul Vijendra, ia sudah lebih dulu mengetahui inti masalah Vijendra dari Adam.
Vijendra hanya diam. Ia sangat malas sekali membuka mulut ataupun menceritakan kegalauannya; tidak mood untuk membicarakan banyak hal. Cuma bisa diam sambil merasakan elusan lembut dari sang mama.
"Nak, Papamu bertanya. Apakah benar ada perempuan yang ingin kamu miliki untuk dijadikan pasangan hidup, sampai kamu jadi seperti ini?"
Suara lembut sang mama, membuat Vijendra langsung menoleh ke samping. Tatapan mata dari sang mama, membuat ia mengulas senyum tipis. Masih enggan menceritakan sosok Kanaya kepada mereka.
"Kalau memang, Jendra suka sama dia. Ayo ajak Mama sama Papa buat ketemu sama dia. Kita pinta ke orang tuanya untuk kamu jadikan istri," timpal Vina, berusaha membujuk Vijendra agar mau berbicara.
"Dia nolak Jendra, Ma," ucap Vijendra pelan, menunduk menatap jemari tangannya yang sedang digenggam oleh Vina.
"Artinya hati dia belum tersentuh sama Jendra. Jendra juga harus bisa berusaha lagi buat dapetin hati dia."
"Jendra udah berusaha, Ma. Tapi tetep aja dia nolak, karena dulu ...."
Ucapan itu menggantung, membuat Ariyanto langsung mengambil posisi duduk di sofa samping Vijendra. Menunggu apa yang akan diucapkan oleh Vijendra selanjutnya.
"Dulu apa?" Ariyanto merasa tak sabar, penasaran dengan ucapan menggantung dari Vijendra. "Kamu nolak dia?" lanjut Ariyanto, yang langsung mendapati tatapan sinis dari Vijendra.
"Udah ah. Kalian Jendra mau ke kantor!" putus Vijendra yang beranjak dari duduk, lari keluar dari rumah. Rasanya malu kalau menceritakan betapa gengsinya ia dulu.
Sok-sokan jual mahal kepada Kanaya. Sok-sokan nolak Kanaya, sekarang ia sendiri yang kerepotan karena jatuh cinta kepada Kanaya.
***
Langkah Vijendra terhenti di lobi kantor yang berhadapan dengan meja resepsionis. Mata mengerut mencari ingatan yang sedikit menghilang. Perlahan kerutan itu mengendur, menjadi membulatkan mata saat seseorang yang berdiri dari arah berlawanan berlari kecil ke arahnya sambil merentangkan tangan.
Lalu langsung memeluk Vijendra yang masih mematung di tempat. Baru saja ia lepas dari kedua orang tuanya. Sekarang, malah berhadapan dengan orang yang paling ia hindari dulu dan sekarang.
"Akhirnya kita ketemu juga. Aku kangen lho sama kamu," ucap perempuan itu setelah melepaskan pelukannya.
Apa yang terjadi di antara mereka, kini menjadi atensi banyak orang di kantor. Sungguh, hal itu membuat Vijendra merasa tak nyaman.
"Kenapa? Kok muka kamu kayak yang enggak senang kalo aku di sini," ujar perempuan itu lagi. Tangannya menggoyangkan pelan lengan Vijendra.
"Hei, Vijendra! Arawinda di sini," kata perempuan itu mengoyangkan kembali lengan Vijendra.
Vijendra mengerjapkan mata dua kali. Berusaha tersenyum menanggapi Arawinda yang entah muncul dari mana. Sampai tiba di kantornya. Vijendra ingin menepis tangan Arawinda yang bergelayut di lengannya. Namun, rasanya sulit sekali dilepaskan.
"Aku kembali, Vijen. Jangan sedih-sedih lagi, ya. Arawinda kan sering banget nepatin janji, enggak kayak orang itu," ucap Arawinda.
Sontak saja Vijendra langsung sadar kemana arah kalimat tersebut. Pasti menyindir seseorang yang pernah berjanji kepada Vijendra agar tetap bersama-sama. Namun, pada akhirnya berpisah juga.
"Lo ngapain di sini? Gue pikir lo bakalan netap di Palembang," ujar Vijendra.
"Aku kangen sama kamu, Vijendra. Aku pikir kamu udah nikah—"
"Udah!" Vijendra langsung melepaskan lilitan tangan Arawinda di lengannya. "Gue udah nikah. Jadi, lo enggak usah ganggu kehidupan gue lagi!"
Setelah mengatakan itu, Vijendra langsung berlari menghindari Arawinda. Ia pikir tidak akan bertemu dengan perempuan itu setelah mereka sama-sama berpisah kuliah. Nyatanya, Tuhan malah kembali mempertemukan di saat ia sama sekali belum bisa meluluhkan Kanaya.
"Bener-bener bikin rumit. Kanaya muncul, enggak lama Arawinda. Ini maunya apa sih? Semua tokoh yang ada di kenangan gue muncul barengan," gerutu Vijendra di dalam lift.
"Lagian tuh cewek ngapain ada di kantor gue. Enggak ada kerjaan banget," lanjutnya sembari hilir-mudik di dalam lift, lalu berhenti sambil bersedekap dada. "Jangan-jangan dua juga kerja lagi, secarakan kan dia sarjana manajemen. Wah bahaya, bahaya ini."
Apa yang digumamkan oleh Vijendra tak jauh dari perhatian dua orang karyawan yang kebetulan satu lift yang sama. Mereka menatap heran sekaligus aneh ke arah sang bos. Pakaian Vijendra bukan jas formal, melainkan kaos oblong berwarna putih dipadukan dengan celana chinos panjang.
"Apa liat-liat! Kerja yang bener!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top