11. Alasannya?

Suasana ruangan Vijendra terasa pengap. Padahal pendingin serta cahaya sinar matahari tampak memantul memalui celah pentilasi jendela kaca. Namun, rasanya benar-benar pengap sekaligus hening. Sejoli itu sama-sama saling terdiam memikirkan kalimat yang cocok untuk diucapkan tanpa ada kesalahpahaman.

"Kenapa cinta pertama selalu gagal terus-menerus?"

Sontak saja Kanaya mengangkat kepala menatap ke arah Vijendra. Kalimat itu keluar dari mulut Vijendra. Terdengar bukan seperti pertanyaan, melainkan pernyataan. Seolah-olah ada maksud yang tersirat dari kalimat itu.

"Soal lamaran yang kamu bahas tempo hari, aku anggap itu cuma bualan saja," ujar Kanaya mengalihkan topik pembicaraan.

Entah mengapa hati dan isi kepala gadis itu tak sinkron sekarang. Akan tetapi, keputusan telah bulat setelah menimang-nimang semalaman sampai tidak tidur. Kanaya harus bisa menjauh, ia tak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya lagi.

"Aku serius, Naya. Memangnya di umurmu yang udah matang ini, kamu enggak mau menikah?"

Vijendra masih belum menyerah. Berusaha meluluhkan hati serta meracuni pikiran Kanaya agar mau tetap bersama dirinya. Egois memang apa yang diinginkan oleh Vijendra.

"Aku mau menikah, tapi bukan sama kamu, Vijen." Kanaya berucap apatis, membuat Vijendra tertohok oleh ucapan itu.

"Percuma dong selama lima tahun ini aku melepaskanmu, berusaha buat keluar dari kubangan rasa tak terbalas itu. Sekarang kamu malah narik aku lagi ke dalam kubangan tersebut. Capek tahu, Vijen," timpal Kanaya dengan bahu naik-turun menahan emosi dalam diri.

Diam-diam Vijendra mengulas senyum tipis. Suara Kanaya sama persis seperti Kanaya sewaktu SMA dulu, menyelipkan namanya setiap kali berbicara.

"Kayaknya kita dipertemukan di waktu yang salah, deh. Coba aja kalo kita dipertemukan dua tahun yang lalu, mungkin sekarang kamu udah jadi istriku."

"Aku enggak mau masa lalu terulang lagi. Aku harap kamu mau mengerti, Vijen," putus Kanaya.

"Apa alasanmu menolak aku lagi, Nay?"

"Karena aku enggak bisa memaksakan perasaanku, Vijen. Aku enggak mau nikah atau sama-sama kamu lagi."

Vijendra mengatupkan mulut. Lidahnya terasa kelu kembali, sorot mata tertuju ke arah Kanaya yang masih terdiam sambil menunduk. Ada rasa kasihan di dirinya kala melihat gadis itu terdiam membisu sambil gelisah. Mau tidak mau, kali ini Vijendra harus menurunkan rasa egoisnya demi bisa menuruti keinginan Kanaya.

"Baiklah. Bukan berarti kita udah berakhir, Nay. Aku harap kita dipertemukan di waktu yang berbeda, maka kamu harus mengantongi jawaban dari ajakan nikah aku."

Kanaya tak menjawab. Ia mundur selangkah ke belakang, menunduk hormat, setelahnya berjalan meninggalkan ruangan Vinendra.

Kanaya seperti tidak ingin mengenal Vijendra lagi. Keduanya terasa seperti orang asing.

***

Pajanetra 2
Lima tahun yang lalu ....

Kanaya tertawa riang berlarian di lapangan voli sambil membawa kertas berisikan surat dari Vijendra. Tadi pagi, gadis itu sengaja menuliskan sebuah surat ajakan nonton film. Namun tak disangka surat tersebut terbalaskan. Sampai membuat anak-anak kelas MIPA 3 merasa heran sekaligus ikut senang melihat Kanaya seperti itu.

Pasalnya semua anak kelas tahu bahwa Kanaya mengejar sosok Vijendra yang dikenal sulit diluluhkan, bahkan digapai untuk dimiliki. Melihat kegigihan dari Kanaya, membuat mereka mendukung.

"Ya Tuhan! Akhirnya Naya bisa jalan bareng sama Vijendra," ujar Kanaya setelah puas berlarian sambil memamerkan kertas ke setiap anak kelas lain yang sedang berolahraga.

"Paling juga ntar di ghosting, enggak mungkin Vijendra ngajak cewek kampungan kayak lo," sahut seorang gadis berpakian olahraga yang sengaja menghampiri Kanaya di sudut lapang Voli.

"Sirik aja! Kampungan gini juga cantik, emangnya situ," balas Kanaya melirik sinis ke arah gadis itu—saingan Kanaya.

Kanaya tak memedulikan ucapan gadis itu. Ia terus saja menatapi kertas tersebut, sesekali tersenyum manis membayangkan seperti apa jadinya mereka di bioskop nanti.

Tepat saat ia membayangkan sosok Vijendra, laki-laki yang tengah dipikirkannya tiba-tiba saja berjalan menghampiri dari arah yang berlawanan. Bibir laki-laki itu terlukis senyum manis, tangan dimasukkan ke dalam saku, membuat siapa saja yang melewati Vijendra akan terkagum-kagum.

"Seneng banget dapet surat dari gue," ucap Vijendra, menduduki bokong ke tempat duduk bebatuan yang ada di pinggir lapang voli.

Kanaya semakin dibuat senang, mendapati surat ajakan nonton. Sekarang dihampiri oleh Vijendra. Benar-benar rezekinya sekali.

Semua pasang mata tertuju ke arah mereka. Menatap penuh tanya kepada sejoli yang tengah duduk di bawah terik matahari sambil tertawa pelan. Tampak seperti sepasang kekasih sungguhan.

"Oh ya, kita udah lama banget nih kenal. Tapi gue sama sekali enggak tahu cita-cita lo. Kira-kira cita-cita lo mau jadi apa?"

Kanaya tak langsung menjawab. Bibir mengerucut beberapa centi ke depan, merasa kurang pas kalau laki-laki itu memanggil dengan sebutan lo-gue. Rasanya tak enak didengar.

"Vijen enggak bisa ya ngomongnya pakai 'aku-kamu'? Kata bunda Naya, enggak baik ngomongnya pakai 'lo-gue'. Coba deh cobain panggil Naya kamu," kata Kanaya mencoba mengulang ucapannya sang bunda kepada dirinya.

Sontak saja Vijendra langsung mengacak-acak rambut Kanaya dengan pelan. Lalu diakhiri dengan cubitan di pipi dengan pelan.

"Apa cita-cita kamu, Kanaya?" Vijendra menurut, senyum manisnya kian tak hilang dari wajah.

"Jadi istrinya Vijen," kata Kanaya spontan. "Terus jadi ahli gizi. Biar Naya bisa memprioritaskan pola makan sehat dan makanan yang bagus buat Vijen. Kata Adam Vijen sering sakit kalo makan makanan sembarangan," lanjut Kanaya.

Gadis itu memang tahu bahwa Vijendra sempat dirawat di rumah sakit akibat keracunan makanan lima hari yang lalu. Maka dari itu ia berinisiatif mengajak laki-laki itu mencari udara segar.

"Yang pertama agak gimana ya cita-citanya," seloroh Vijendra.

"Eh, biarin. Siapa tahu beneran jadi kenyataan. Kata Bunda ucapin yang baik-baik biar jadi kenyaataan. Yaudah, Naya pengen jadi istri Vijen."

"Terserah, deh. Jangan lupa belajar, satu minggu lagi UAS. Katanya mau jadi istri aku, jadi harus pintar."

Dengan sigap Kanaya hormat sambil berucap siap. Membuat keduanya saling tertawa menertawakan tingkah absurd mereka. Sungguh, apa yang sedang diobrolkan oleh Kanaya dan Vijendra diawasi oleh anak-anak Pajanetra. Ada yang merasa iri melihat kedekatan itu, ada juga yang mendukung karena ini kali pertama Vijendra bisa seakrab itu dengan seorang gadis.

"Vijen kenapa sih bikin rasa cinta Naya semakin bertambah. Vijen pakai pelet apa?" Kanaya berucap spontan setelah puas menatapi wajah Vijendra dari dekat. Rezeki itu tidak boleh disia-siakan, maka dari itu Kanaya mempuaskan diri mengagumi wajah Vijendra dari dekat.

"Makanya kamu harus hati-hati, supaya enggak terjebak dalam pesona aku. Bahkan ntar kalo semakin jatuh cinta, susah lho move on-nya," kelakar Vijendra.

"Orang Naya udah terlanjur cinta, nih. Jadi, kapan ... Vijen balas cinta Naya? Masa Naya digantungin lagi. Naya dan Vijen udah kelas 12 masa Naya belum juga jadi pacar Vijen. Kan Naya ngejar Vijen dari kelas 11 kemarin, bahkan 10. Masa sekarang kita deket cuma jadi teman. Ntar Naya sakit hati, karena cintanya enggak terbalaskan," ungkap Kanaya diakhiri oleh dramatis berpura-pura menangis.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top