1. Undangan
Awan kelabu menggumpal di langit. Senja yang sempat terlukis kini berganti menjadi mendung. Tetesan demi tetesan perlahan berjatuhan membasahi tanah. Udara dingin mulai naik, hingga menusuk relung tulang. Membuat seorang laki-laki berambut hitam dengan gaya undercut menatap lekat embun air hujan yang hinggap di permukaan jendela.
"Vijen!"
"Vijen!"
Suara seorang gadis yang sangat dikenali menyapa telinga. Ia menoleh ke arah pintu ruang kelas, menatap gadis berkuncir kuda yang memakai seragam berantakan itu memasuki kelas dengan langkah berlari kecil.
Senyuman manis dari gadis itu membuat bibir Vijendra saling mengatup. Mata menatap lekat bibir ranum yang tampak merah merona. Gadis itu tampak cantik nan manis, tetapi sayang ... Vijendra tidak suka dengan sikap bar-bar dari gadis itu.
"Vijen jangan cuek-cuek lagi, ya. Aku capek tahu ngejar-ngejar Vijen mulu. Tapi Vijen malah ngelirik cewek kelas sebelah daripada aku."
Suaranya begitu candu untuk didengar berulang kali. Bahkan suara rintik hujan yang memukul-mukul genteng atap ruang kelas, tak membuat Vijendra merasa terganggu sama sekali. Atensinya tetap terfokus ke arah wajah gadis itu.
"Lo enggak usah berbuat sejauh ini, Nay. Gue enggak akan mau—"
"Ssssttt ... aku enggak mau denger penolakan lagi. Sampai kapanpun aku tetap akan mengejar kamu."
Kalimatnya masih terekam dengan jelas dalam ingatan. Binar sendu nan penuh harap, serta sudut bibir yang bergetar kala mendengar penolakan kembali. Namun, tetap saja sudut bibir gadis itu melukiskan senyum.
Vijendra mengepalkan tangan kirinya. Tubuh tersentak kaget kala seseorang memukulnya dengan bola basket. Membuat ingatan yang tercipta buyar seketika. Tak lupa juga umpatan keluar dari mulut sekaligus berbalik ke belakang melihat siapa yang melemparkan bola ke arahnya.
"Melamun lagi? Lo keinget sesuatu?"
Sontak saja Vijendra mengerjapkan mata dua kali, menoleh ke sekeliling untuk memastikan sesuatu. Perasaan tadi ia berdiri di hadapan gadis itu serta telinganya menangkap suara rintik hujan yang begitu merdu. Namun, semua yang ia rasakan tadi hanya sebatas kenangan yang masih tersimpan rapi dalam ingatan.
"Lo nyesel?"
Vijendra menatap sinis, ia paling tidak suka kalau dituduh seperti itu.
"Jangan sinis gitu dong. Nih," lanjut laki-laki itu yang bernama Adam. Melemparkan secarik kertas berwarna cream yang terdapat renda-renda rating dipinggirannya.
"Apaan ini?" Vijendra membalikkan kertas tersebut sambil membaca satu persatu kata yang tertata dalam kertas itu.
"Undangan reuni sekolah. Jangan lupa dateng, siapa tahu cewek bar-bar itu juga hadir di sana," ujar Adam.
Vijendra tersenyum tipis. Membuang kertas undangan tersebut ke sembarang arah, lalu meraih bola basket yang terkena punggungnya tadi. Memantulkan bola tersebut ke tanah lapangan, men-dribble sambil berlari kecil ke arah ring. Lalu dengan gerakan sekilat, ia melompat memasukkan bola tersebut ke dalam ring.
Hal itu tak lepas dari perhatian Adam. Kasihan sekali sang sahabat, yang memendam rasa demi gengsi semata. Kini malah berakhir menjadi mati rasa.
"Dia enggak mungkin hadir di acara reuni itu, Dam. Gue udah pernah nunggu dia dan dia enggak pernah dateng," tutur Vijendra.
"Mungkin dia malu dan sakit hati ketemu sama gue," sambung Vijendra lagi.
Adam menghela napas pelan. Melangkah mendekat ke arah Vijendra. Andaikan saja dulu ia tak mencemooh laki-laki itu perihal rasa, mungkin sekarang ia bisa melihat sang sahabat berbahagia.
"Udahlah, Jend. Jangan diinget lagi, kalo emang lo enggak mau dateng ke acara reunian it's okay." Adam menatap penuh perhatian. Tak lupa menepuk bahu sang sahabat dengan pelan.
"Tapi, lo jangan telantarin karyawan lo juga, dong! Gue ke sini bukan cuma ngasih undangan reuni, gue ke sini mau ngasih tahu lo!" Adam menatap dengan tajam, bisa-bisanya Vijendra bersantai di rumah sambil mengenang masa lalu, sedangkan dirinya malah sibuk di kantor meng-handle penerimaan karyawan baru.
"Lo 'kan direkturnya, wajarlah gue ngebebanin tugas ke lo."
"Ya tapi yang lo bebanin, sangat-sangat membebankan!"
"Ngeluh mulu. Gue cabut posisi lo baru tahu rasa," kata Vijendra apatis, berlalu meninggalkan lapangan basket. Melangkah memasuki dalam rumahnya.
Bangunan berlantai dua dengan cat warna biru laut tampak sederhana. Setiap interior rumah Vijendra dibuat klasik bergaya khas Eropa dengan jendela kaca besar. Tak ada barang mewah yang terpajang dalam rumah itu. Bagi Adam kala memasuki rumah Vijendra akan terasa begitu monoton, tak menarik sama sekali untuk disebut sebagai rumah.
"Apa jadwal saya sekarang, Harris?"
Setelah berpakaian formal juga rapi. Vijendra berjalan begitu gagah keluar dari kamar sambil memasang jam tangannya sendiri. Membuat seseorang yang ditanya turut mengikuti dari belakang seraya menyerahkan ponsel milik sang bos.
"Sesuai apa yang dikatakan oleh Pak Adam. Anda memiliki jadwal wawancara seleksi untuk kandidat karyawan dalam posisi keahlian gizi," balas Harris.
"Nah, gini dong. Kelihatan ganteng," sahut Adam yang sedari tadi menunggu Vijendra di ruang tamu.
Vijendra tak menjawab, laki-laki itu malah terus melangkah keluar dari rumah dan bersiap pergi ke kantor meninggalkan Adam yang tampak mengumpati dirinya. Membuat Harris—selaku sekretarisnya terburu-buru mengekori langkah Vijendra di belakang.
***
Suara riuh yang terjadi dalam kantor OkNak, tiba-tiba saja meredup setelah kedatangan Vijendra. Laki-laki itu menyapa sekilas karyawan yang memiliki jabatan tinggi dan penting dalam perusahaannya. Lalu berjalan dengan penuh percaya diri melewati bagian produksi, pemasaran, bahkan bagian ahli gizi.
Namun, langkah terhenti saat merasakan sosok yang dikenali—melihat siluet tubuh dari seorang gadis yang sering dirindukan. Mata terus tertuju ke arah gadis berambut hitam legam terurai bergelombang di ruang ahli gizi. Membuat beberapa peristiwa di masa lalu memberontak dalam ingatan. Langkahnya malah mengajak masuk ke ruangan tersebut, menepuk pelan bahu gadis tersebut untuk memastikan rasa penasarannya. Benarkah Tuhan mengabulkan doanya agar dipertemukan kembali dengan gadis itu?
Tepukan di bahu membuat gadis itu berbalik dengan wajah bertanya-tanya menatap Vijendra, sedangkan Vijendra malah melamun sejenak sekaligus meminta maaf menyadari bahwa gadis itu bukan seseorang yang dirindukan selama lima tahun ini.
"Pak, Anda akan langsung menyeleksi para kandidat ahli gizi sekarang di sini?"
Suara dari Harris mengejutkan Vijendra. Ia melirik sekilas ke arah Harris, menghela napas pelan. Sial, ia malah teringat dengan gadis itu. Dari bentuk tubuh, rambut, serta siluetnya mampu mengingatkan Vijendra kembali ke masa lalu. Ia tak menjawab pertanyaan Harris, memilih meninggalkan ruang ahli gizi, menelusuri lorong untuk sampai di ruang pribadinya.
"Bawakan aku berkas para pelamar yang lolos seleksi pertama," ucap Vijendra pada saat sampai di ruangannya, lalu duduk di sofa yang berada beberapa langkah dari samping meja kerja.
"Baik, Pak. Saya izin pamit dan siap membawakan berkas yang Bapak minta."
Ruang kantor tertutup rapat saat Harris keluar. Vijendra menyenderkan punggung ke sofa empuk. Menatap langit-langit ruangannya, ingatan masa lalu semasa putih abu kembali terlintas. Sekuat apapun Vijendra berusaha untuk melupa, justru kenangan itu masih terus melekat di setiap langkah kehidupannya.
"Vijen kenapa enggak suka sama aku, sih?"
"Emang aku jelek, ya?"
"Gara-gara aku, Vijen jadi dibully ya sama temen sekelas?"
"Emangnya aku menjijikan, ya?"
"Vijen harus inget ini, bahwa Naya tetap suka sama Vijen dan akan tetap ngejar-ngejar Vijen. Ya ... meski Vijen enggak pernah ngelirik Naya."
Napas berembus secara kasar. Kalimat itu masih saja berputar-putar bagaikan kaset favorit. Andai ia dulu memberi sedikit perhatian pada gadis bar-bar itu, mungkin sekarang hatinya akan terasa lebih menenangkan. Bahkan tak membebani seperti sekarang.
"Ah, lagi-lagi aku mengenangnya," ucap pelan Vijendra.
Waktu telah banyak berlalu, membuat Vijendra bertanya-tanya bagaimana kabar dan rupa gadis itu sekarang. Rasa rindu yang tak pernah diinginkan, malah singgah kembali dalam hati.
"Nay, kalo kita ketemu lagi, gue pengen deh minta maaf ke lo secara langsung. Kalo bisa gue pengen lo tahu apa yang ada di hati gue."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top