7. Someone From The Past And Future

Pasien ke sekian, entah ke berapa yang jelas sudah banyak, baru saja keluar dari ruang praktiknya ketika interkom di ruang praktik tersebut berbunyi. Raka memberi isyarat kepada asistennya untuk tidak memanggil pasien berikutnya terlebih dahulu.

Setelah mengangkat interkom dan mendengarkan informasi dari orang di seberang, Raka memberi instruksi untuk melakukan cek lab segera dan menyiapkan ruang perinatologi untuk pasien tersebut.

"Berapa orang lagi?" tanya Raka menggerakkan bibirnya pada sang perawat yang menjadi asistennya.

"Dua lagi, Dok," jawab sang asisten dengan suara pelan.

Raka kembali pada interkomnya dan mengatakan akan segera ke ruang rawat perinatologi setelah selesai dengan kedua pasiennya.

Kedua pasien Raka yang terakhir tidak memiliki masalah kesehatan serius. Mereka hanya datang untuk vaksinasi rutin. Meski demikian, Raka tetap meluangkan waktu untuk mengobservasi asupan gizi dan tumbuh kembang kedua balita itu. Hal ini yang menjadi salah satu faktor yang membuat Raka menjadi salah satu pediatris favorit ibu-ibu di rumah sakit tersebut. Meski para ibu hanya datang untuk kontrol dan vaksinasi rutin, tapi dr. Raka tidak pernah pelit membagikan informasi tentang tumbuh kembang anak. Para orangtua jadi tidak merasa rugi membawa anaknya ke dokter spesialis anak hanya untuk vaksinasi dan menunggu dalam antrian yang panjang jika pada akhirnya mereka mendapat banyak informasi berharga untuk anak-anaknya. Pun ketika anaknya sakit, dr. Raka terkenal sebagai pediatris yang tidak mudah meresepkan antibiotik untuk anak-anak. Hal ini membuat para orangtua makin merasa nyaman berkonsultasi kepada dr. Raka, dan membuat nama dr. Raka makin terkenal.

"Dokter belakangan ini lagi sibuk ya?" tanya ibu dari pasien Raka yang terakhir hari itu, di akhir sesi konsultasi mereka, sambil memakaikan sweater lagi pada anaknya yang berusia 1 tahun.

"Gimana, Bu?" tanya Raka, tidak paham dengan maksud pertanyaan sang ibu.

"Saya kan follow akun instagram dan twitter Dokter, lho," kata sang ibu sambil tersenyum manis.

Diam-diam, perawat yang menjadi asisten Raka tersenyum mencibir. Bukan sekali dua kali dia menemukan ibu-ibu yang bersikap kelewat manis untuk menarik perhatian dr. Raka. Cincin kawin dan status dr. Raka sebagai pria beranak dua bukan halangan bagi para ibu muda itu untuk tetap tebar pesona.

"Tapi udah lama Dokter nggak update IG dan twitter ya Dok? Saya DM dokter juga belum dibalas," kata si ibu kemudian.

"Oh iya ya Bu? Aduh mohon maaf saya belum sempat cek medsos lagi, Bu," kata Raka sambil menampilkan senyum menawannya. Permohonan maaf yang disampaikan dengan senyum setampan itu, mana mungkin tidak diterima kan? "Tapi kalau ada hal urgent yang mau ditanyakan tentang Alika..." Raka melanjutkan sambil menyebutkan nama anak perempuan sang ibu, "... Ibu bisa langsung WhatsApp atau telepon saya."

Salah satu yang membuat para orangtua selalu kembali berkonsultasi pada dr. Raka adalah karena Raka selalu memberikan nomer ponselnya pada pasien. Raka memang sengaja menyiapkan 1 ponsel khusus yang didedikasikan untuk para pasiennya. Dan ia selalu merespon pertanyaan orangtua pasien melalui WhatsApp atau telepon. Hal ini membuat para orangtua merasa nyaman untuk selalu berkonsultasi pada Raka.

"Sebenarnya nggak ada hal urgent sih Dok. Saya cuma suka aja materi-materi tentang kesehatan anak yang Dokter share di IG atau twitter. Jadi merasa kehilangan juga karena Dokter udah lama nggak update. Makanya, saya pikir Dokter lagi sibuk," kata ibu tersebut sambil kembali tersenyum kenes.

Raka balas tersenyum ramah dan berkata, "Nanti kalau agak senggang, saya update lagi ya Bu. Makasih ya, Bu, selalu mantau IG dan Twitter saya."

Perawat yang menjadi asisten Raka hanya diam saja memantau percakapan sambil membereskan cold box vaksin untuk dikembalikan ke instalasi farmasi. Setelah ibu tersebut keluar ruangan, barulah ia berani meledek Raka. "Ibu-ibu muda jaman sekarang makin meresahkan ya Dok."

Raka sontak tertawa.

"Istrinya Dokter ga pernah jealous gitu Dok, kalau lihat Dokter digemari banyak ibu-ibu muda gitu?"

"Nggak lah. Istri saya mah orangnya santai, Mbak," jawab Raka enteng. "Lagian saya udah tua begini."

"Tua darimana sih Dok?" sang perawat mencebik. "Perawat disini aja banyak yang ngefans sama Dokter lho."

Beberapa kali Raka mendengar kabar serupa ini, sehingga ia tidak terlalu peduli lagi. Ia hanya tertawa saja. "Saya langsung ke Perina ya, Mbak. Nanti Poli dibuka lagi jam 14 kan?"

"Iya, Dokter. Nanti siang dibantu sama Ners Rina ya, Dok."

"Oh Mbak Rina ya? Okay, Mbak. Makasih ya."

* * *

Ketika Raka tiba di ruang rawat Perinatologi, ia langsung disodori hasil pemeriksaan lab pasien bayi yang tadi diceritakan sang perawat melalui interkom.

Hiperbilirubinemia.

Meski bukan hal normal, tapi ini terjadi pada banyak bayi yang baru lahir. Normalnya, 2 minggu setelah kelahiran, kadar bilirubin dalam darah bayi akan menurun kembali tanpa treatment medis. Namun pada beberapa kondisi, hiperbilirubinemia bisa mencapai kadar yang sangat tinggi dan mengkhawatirkan sehingga memerlukan perawatan medis.

Raka membuka catatan yang dibuat sang perawat pada rekam medis pasien, hasil wawancara dengan ibu pasien.

Pasien ini lahir pada usia kandungan 36 minggu secara sectio caesaria. ASI sang ibu hanya sedikit, tapi sang ibu berkeras mengusahakan ASI eksklusif sehingga belum memberikan tambahan susu formula kepada si bayi. Golongan darah ibu juga berbeda dengan golongan darah bayi. Frekuensi buang air kecil dan besar si bayi juga sangat jarang.

Raka mengangkat wajahnya dari catatan tersebut. "Bisa tolong dipanggil ibu pasien, Mbak? Saya mau bicara dulu," kata Raka kepada sang perawat.

Tidak berselang lama, Raka sudah mendengar sang perawat memanggil "Ibu bayi Fatih!" dan mempersilakan sang ibu memakai pakaian khusus sebelum masuk ke ruang rawat Perina untuk menemui Raka.

Raka masih mengamati hasil lab dan catatan rekam medis pasien bernama Fatih itu, ketika sang perawat mempersilakan ibu sang bayi untuk duduk di hadapan Raka.

Raka memperbaiki kacamatanya yang sempat turun, lalu mengangkat wajahnya dari rekam medis, dan menatap ibu pasiennya.

"Ibu dari Fa.... Hani?"

Bukan hanya mata Raka yang membola. Mata sang ibu bayi tersebut juga membesar ketika bertatapan dengan sang dokter.

"Mas Raka?"

* * *

"Ayah nggak doyan sayur atau lauknya?"

"Eh? Kenapa Bun?"

"Ayah nggak doyan sayur dan lauknya?" Runa mengulangi pertanyaannya sambil menyentuh punggung tangan suaminya, agar suaminya dapat fokus pada pertanyaannya. "Bunda siapin makanan lain?"

Raka tampak mengedarkan pandangan kepada kedua anaknya yang tampak lahap menyantap sayur bening bayam dan telur dadar bayam-jamur di hadapan mereka. Jadi ia kembali menatap istrinya dan menggeleng.

"Nggak usah, Bund. Ini enak kok," jawab Raka sambil tersenyum. Lelaki itu kemudian melanjutkan makan malamnya yang sempat terjeda pikirannya yang sibuk tadi.

Runapun hanya mengangguk.

Meski sudah beberapa kali meminta Raka untuk tidak lagi memikirkan pekerjaan dan pasiennya saat sudah tiba di rumah, agar bisa fokus berinteraksi dengan anak-anak, toh hal-hal seperti ini tidak terelakkan. Ada masanya suaminya menemui kondisi pasien yang sulit sehingga membuatnya masih memikirkan pasien tersebut meski sudah tiba di rumah.

"Ayah," panggil Risyad tiba-tiba. "Aku harus bikin pesawat terbang buat tugas sekolah. Nanti bantuin ya Yah."

"Lho? Biasanya sama Bunda?"

"Bunda kan nggak jago bikin prakarya, Yah. Nanti aku malu sama temen-temen."

Runa mencebik sambil mengacak rambut anak lelakinya. Tugas kerajinan tangan memang salah satu kelemahan Runa sejak kecil.

"Ayah bantuin Risyad, ya Yah?" bujuk Risyad sekali lagi.

"Sama Bunda dulu ya Nak. Ayah lagi banyak kerjaan."

Risyad manyun. Runa menoleh pada suaminya, berharap lelaki itu berubah pikiran. Tapi kelihatannya suaminya memang sedang banyak pikiran. Mungkin memang sedang banyak perkerjaan.

"Nanti Bunda lihat caranya di youtube ya Cad. Nanti Bunda yang bantuin Icad bikin pesawat," kata Runa membujuk anak lelakinya.

Risyad tampak tidak puas. Tapi melihat wajah ayahnya, Risyad tidak berani memaksa lebih jauh.

"Oiya, Bun," panggil Raka kemudian, "Udah lama nggak update IG dan twitter drrakapangestu ya?"

"Eh? Iya, Yah. Belum kepikiran lagi mau update tentang topik apa," jawab Runa sambil nyengir minta maaf.

Tidak ada yang tahu bahwa akun instagram dan twitter yang diikuti ratusan ribu ibu-ibu muda itu sebenarnya tidak dikelola pribadi oleh Raka. Kedua akun itu dikelola juga oleh Runa. Dan seiring bertambahnya kesibukan Raka, lama-lama Runa lah yang lebih banyak berkontribusi pada konten di kedua akun tersebut. Melalui kedua akun tersebut, Runa bisa terus mengupdate pengetahuannya tentang kesehatan anak dan balita dan menyalurkan hobi menulisnya. Biasanya ia akan menyodorkan rencana topik yang akan dibahas kepada Raka, membuat narasi dan konten yang menarik, lalu memberikannya kepada Raka untuk persetujuan sebelum dipost di kedua akun drrakapangestu.

Sejak Runa mengikuti kompetisi menulis novel itu, waktu luang Runa habis untuk riset dan menulis novel sehingga belum sempat riset tentang topik kesehatan anak terkini untuk dibahas di akun suaminya.

"Bahas tentang ASI ekslusif vs susu formula dong Bun."

"Udah banyak yang bahas tentang itu, Yah. Beberapa bulan lalu, dr. Emir Syafiq yang di RS Permata Medika juga bahas tentang itu. Ayah mau bahas tentang apa?"

"Tentang kondisi khusus yang membutuhkan susu formula, Bun," jawab Raka. "Bagus sih ibu-ibu jaman sekarang aware tentang pentingnya ASI ekslusif. Tapi pada beberapa kondisi medis khusus dimana bayi butuh susu formula, beberapa ibu justru jadi keukeuh nggak mau ngasih susu formula padahal ASInya sendiri nggak cukup untuk bayinya."

Runa mengangguk-angguk. Dirinya sendiri pernah beberapa kali ditanyai oleh ibu-ibu teman Risyad atau Rumaisha terkait susu formula dan ASI ini. Barangkali info ini memang dibutuhkan oleh para ibu agar terus semangat memberi ASI ekslusif namun juga mempertimbangkan perlunya bantuan susu formula pada kondisi bayi yang khusus.

"Kamu kan di rumah aja, Bun, nggak sibuk ngapa-ngapain... jadi bantuin bikin kontennya ya. Nanti aku approve sebelum kamu post."

* * *

Sudah 30 menit Runa duduk di depan laptopnya, tapi tidak ada satu katapun yang mampu ditulisnya. Baik di file novel, maupun di file draft konten untuk IG dan twitter suaminya. Otak Runa rasanya penuh sekaligus kosong. Banyak yang mendesak, tapi tidak ada yang bisa dikeluarkannya.

"Aaargghh!!!"

Kesal, Runa memukul meja dengan kasar. Lalu bangkit dari duduknya dan membanting diri di kasur.

Pagi itu, saat suami dan anak-anaknya sedang tidak di rumah, harusnya Runa bisa fokus menulis. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kamu kan di rumah aja, Bun, nggak sibuk ngapa-ngapain... jadi bantuin bikin kontennya ya.

Di rumah aja?

Nggak sibuk ngapa-ngapain?

Apa hal itu yang dipikirkan suaminya selama ini? Bahwa dirinya hanya santai-santai di rumah seharian?

Kalaupun iya, itu bukan alasan yang tepat sehingga suaminya berhak menyuruh-nyuruh dirinya membuat konten tulisan untuk akun Instagram dan Twitter yang bahkan tidak ada namanya di sana. Selama ini Runa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Tidak apa dia yang menulis dengan nama akun suaminya. Toh kalau Runa menulis di akunnya sendiri, dampaknya tidak seluas jika ia menulis di akun suaminya. Tapi entah kenapa kini ia merasa dimanfaatkan. Dia yang memikirkan topik, dia yang riset bahan, dia yang menulis, tapi kenapa suaminya yang mendapat nama baik dan digemari para ibu muda?

Dan setelah semua hal yang dilakukan untuk mendukung suaminya, setelah semua nama baik yang diperoleh suaminya tanpa ia mendapat kredit sedikitpun, setelah semua hal yang dilakukan untuk anak-anaknya, suaminya masih juga meremehkannya dengan menganggap Runa tidak sibuk sedikitpun dan hanya bersantai di rumah?

Saat itu tiba-tiba sebuah panggilan WA masuk ke ponsel Runa. Ia mengenali nama penelepon, tapi tidak menduga orang itu masih menghubunginya.

Sesuai rencananya, karena ia sudah mendapatkan semua info yang dibutuhkannya dari Madam Rose, Runa sudah meng-uninstall aplikasi tersebut. Ia kira setelahnya ia tidak akan berhubungan lagi dengan segala hal terkait aplikasi tersebut. Belakangan, ia baru ingat bahwa meski ia sudah meng-uninstall aplikasi tersebut, ada 1 orang yang dikenalnya di aplikasi tersebut yang sudah menyimpan nomer ponselnya.

Saat Runa mengatakan statusnya yang sebenarnya pada Ganes, ia menduga lelaki itu tidak akan lanjut menghubunginya. Tapi siapa sangka lelaki itu tetap menghubunginya. Intensitas obrolan mereka memang tidak menjadi lebih akrab. Tapi juga tidak berkurang. Karena mengetahui latar belakang pendidikan Runa, lelaki itu beberapa kali membuka percakapan terkait obat dan isu-isu kesehatan. Tapi tidak jarang juga lelaki itu membuka obrolan hanya dengan sapaan ramah di pagi hari. Awalnya Runa tidak ingin terlalu menanggapinya. Tapi entah kenapa ngobrol dengan Ganes selalu berhasil memperbaiki moodnya di pagi hari. Itu mengapa Runa terus membalas pesan-pesan lelaki itu.

"Pagi-pagi gini Runa pasti lagi sibuk nulis novel kan?" kata lelaki di seberang telepon ketika Runa mengangkat WA call nya.

Tanpa bisa dicegah, Runa tertawa.

"Kalo sambil nulis novel, sambil ngopi dan ngemil cinnamon roll enak kali ya?" tanya lelaki itu lagi.

"Enak banget tuh!" sambar Runa cepat. Ia terkekeh meledek.

"Saya lagi di Bandung nih. Saya kirimin kopi yang khas disini ya. Ada cinnamon roll enak juga disini. Saya kirimin juga ya, buat nemenin nulis. Anak-anak kamu juga suka kue manis gini kan? Atau mereka lebih suka pastry yang gurih?"

Kamu kan di rumah aja, nggak sibuk ngapa-ngapain.

Runa pasti lagi sibuk. Saya kirimin kue buat nemenin nulis ya.

Lalu sekonyong-konyong, tanpa bisa dicegah, sebutir air mata jatuh di pipi Runa. Akhirnya ada seseorang yang bisa menghargai hal kecil yang dilakukannya.

Tapi kenapa orang itu justru bukan suaminya sendiri, orang yang paling ia inginkan memahaminya?

Kenapa harus lelaki lain yang lebih menghargainya?

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top