61. Dia
"Aku minta maaf. Kemarin harusnya aku nggak bentak kamu kayak gitu."
Runa tidak melarikan pandangannya ke arah lain. Ia balas menatap suaminya dengan tatapan mantap.
Suara keras Raka kemarin memang menyakiti hatinya. Tapi lebih dari itu, sebenarnya kata-kata suaminya itu yang lebih menyakitinya.
Istri yang baik harusnya bisa menjaga harga dirinya, nggak membiarkan laki-laki lain mendekatinya. Jangan keganjenan!
Di mata suaminya, dirinya hanya perempuan ganjen yang tidak bisa menjaga harga diri sebagai istri karena mau-maunya didekati lelaki lain. Begitu kan?
Iya, memang aku perempuan genit.
"Maaf, Run. Aku... cemburu banget."
Cemburu? Itu artinya cinta kan?
Tapi apa benar suaminya cemburu memang karena cinta? Atau hanya tidak suka dikalahkan lelaki lain? Atau hanya karena tidak ingin kehilangan rutinitas bersamanya?
"Kelihatan jelas banget Ganes itu suka sama kamu. Padahal dia juga tahu bahwa kamu perempuan bersuami. Dia nekat, Run. Makanya aku nggak suka kamu bermanis-manis sama dia. Kesannya kayak ngasih kesempatan."
Jadi memang begitu yang dipikirkan Raka tentang dirinya kan? Bahwa dirinya adalah seorang perempuan dan seorang istri yang genit dan bermanis-manis dan memberi kesempatan kepada lelaki lain?
"Maafin aku ya Run. Please?"
"Iya," Runa akhirnya menjawab singkat, sambil mengangguk. Supaya urusan cepat selesai. Supaya mereka tidak terus-terusan bertengkar. Supaya Risyad (dan Rumaisha) bahagia. Itu yang terpenting.
Senyum Raka terbit. Kemudian ia meraih tubuh Runa dan memeluknya.
"Makasih, Sayang," kata Raka lembut, sambil mempererat pelukannya.
Runa memejamkan mata kala tubuh besar itu membungkus tubuhnya. Ia tidak ingin menikmatinya, tapi nyatanya ia menikmati pelukan itu, setelah sekian lama tidak merasakannya.
Rasanya nyaman berada di dalam pelukan suaminya. Dadanya yang bidang dan bahunya yang lebar, tempat yang selalu membuatnya ketagihan untuk ndusel-ndusel.
Setelah beberapa detik, Raka melepaskan pelukannya. Ia meraih kedua tangan Runa, menggenggamnya. Setelahnya mereka saling bertatapan selama beberapa lama.
Perlahan Raka mendekatkan wajahnya pada Runa. Runa sudah tahu apa yang akan terjadi, jadi dia diam saja. Perlahan bibir Raka menyentuh bibirnya. Awalnya kedua bibir itu hanya saling menempel, sebelum akhirnya Raka mulai menggerakkan bibirnya perlahan, dan Runa membiarkan Raka melakukan yang diinginkannya. Karena meski tidak ingin mengakuinya, Runa sebenarnya juga mendambakan ciuman itu.
Beberapa saat kemudian Raka melepaskan ciuman mereka. Kemudian mereka kembali saling bertatapan.
Raka masih menggenggam kedua tangan istrinya. Tapi kemudian ia melepaskan genggaman tangan kanannya, kemudian beralih membelai pipi Runa.
"Aku mau kamu..." kata Raka pelan, dengan suara rendah dan dalam. "... sekarang," lanjutnya.
Suaminya yang datar dan lempeng ini bersikap manis ternyata memang hanya karena membutuhkan dirinya.
"Boleh?" tanya Raka sopan.
Runa agak kaget juga dengan pertanyaan itu. Karena biasanya Raka tidak pernah meminta ijin seperti itu. Karena toh tanpa minta ijinpun, selama ini Runa selalu mengijinkan. Bahkan biasanya dirinya yang mulai menggoda suaminya. Apa sekarang suaminya minta ijin karena kejadian terakhir diantara mereka?
Tangan kiri Raka sudah melepas tangannya, dan beralih menyentuh lututnya.
"Boleh," jawab Runa, diiringi sebuah anggukan kepala.
Memang seharusnya seperti ini. Dengan begini, rumah tangganya akan bertahan. Risyad dan Rumaisha akan bahagia.
Begitu kan caranya menjadi istri yang baik? Jadi istri yang penurut. Dan tidak nakal.
* * *
Hari Sabtu pagi itu tidak seperti biasa, ruang makan terasa lebih ramai. Risyad dan Rumaisha dengan antusias bergantian menceritakan rencana-rencana mereka hari ini kepada sang Ayah selagi mereka sarapan bersama. Biasanya mereka tidak pernah sarapan bersama di Sabtu pagi karena sang ayah pasti sudah berangkat pagi-pagi ke rumah sakit karena ada jadwal praktik pagi. Tapi hari itu Raka sudah mengosongkan jadwalnya di hari Sabtu supaya bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya di akhir pekan itu.
Pada hari Jumat, sehari sebelumnya, Raka tidak dapat libur dan harus datang ke rumah sakit karena ada rapat departemen yang harus dihadirinya. Itu mengapa Raka menggeser waktu liburnya ke hari Sabtu. Ia berencana mengajak keluarganya menghabiskan akhir pekan singkat di sebuah vila di Bandung Selatan. Itu mengapa anak-anak sangat bersemangat hari itu.
Raka tersenyum dan menanggapi rencana-rencana Risyad dan Rumaisha dengan sabar. Ia melirik ke arah dapur dan mendapati istrinya dan Siti sedang mengemas bekal yang akan mereka bawa. Koper berisi pakaian untuk mereka berempat, juga tas ransel Siti, sudah siap di ruang tamu. Siap untuk dimasukkan ke bagasi mobil.
Saat itulah sebuah telepon masuk ke ponsel Raka.
Raka mengernyit karena membaca nama yang tertera di layar ponsel tersebut dan ia segera punya firasat buruk.
"Assalamualaikum, Prof. Novi," sapa Raka dengan sopan, ketika mengangkat panggilan telepon tersebut.
Raka melirik kepada kedua anaknya dan menempelkan telunjuknya di bibir, isyarat supaya kedua anak itu tidak berisik dulu. Mereka berduapun diam sambil saling melirik ketika melihat raut wajah ayahnya yang serius.
Raka masih mendengarkan suara di ponselnya sambil mengalihkan tatapannya pada istrinya di dapur. Ternyata perempuan itu juga sedang menatapnya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang sedang dan akan terjadi.
Setelah selesai menerima panggilan telepon itu, Raka bangkit dari duduknya dan melangkah lebar mendekati istrinya.
"Bun, Ayah harus ke Rumah Sakit sekarang. Pasiennya Prof. Novi akan melahirkan prematur. SC. Anemia gravidarum. Bayinya risiko BBLR dan asfiksia neonatus. Beliau minta Ayah ikut memantau di OK."
Ini risiko yang sudah diketahui dan diantisipasi oleh Runa saat akan menikahi seorang dokter seperti Raka. Jadi dia tidak kaget lagi. Apalagi mendengar nama Prof. Novi. Beliau adalah seorang ginekolog sub-spesialis fetomaternal. Seringnya beliau menangani pasien yang memiliki masalah atau risiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan. Dan sejak lama Prof. Novi ini merasa cocok bekerja sama dengan suaminya, sehingga jika ada kasus bayi lahir dengan risiko tinggi, Prof. Novi akan selalu minta Raka untuk turut di VK/OK bersamanya.
Prof. Novi terkenal cukup pemilih dan perfeksionis. Beliau memilih alat kesehatan untuk operasi dan regimen terapinya sendiri, yang kadang tidak tercover asuransi biasa, sehingga pasien perlu menambah bayar. Namun setiap pasien SC yang ditanganinya tidak pernah mengalami keluhan post-operation, hasil jahitnya rapi dan meninggalkan bekas minimum. Bukan hanya pemilih terhadap alat kesehatan dan obat-obatan, beliau juga pemilih dalam hal tim operasi. Beliau memiliki anesthesiologists dan pediatrician favorite untuk timnya. Dan pediatrician favorite itu adalah Raka Pangestu. Itu merupakan kebanggan bagi Raka, dan Runa memahami itu. Tapi risikonya ya begini. Saat pasien Prof Novi melahirkan pada waktu yang tidak terjadwal, Raka harus siap sewaktu-waktu dipanggil ke Rumah Sakit.
"Jadi kita cancel ke Bandung?" tanya Runa hati-hati, dengan suara pelan. Meski sudah memahami risiko pekerjaan suaminya, Runa tetap merasa khawatir mengecewakan anak-anak yang sudah terlanjur berharap berlibur bersama.
"Nggak cancel kok. Palingan cuma 2-3 jam," jawab Raka berusaha menenangkan. "Aku ke RS naik ojek aja, Bun. Nanti jemput aku di RS ya. Trus kita langsung ke Bandung."
Runa tersenyum lega karena tidak harus mengecewakan anak-anak. Ia kemudian mengangguk, mengikuti instruksi suaminya.
"Semoga lancar operasinya, Yah, dan bayinya baik-baik aja," kata Runa.
"Makasih, Bun. Aku pergi sekarang ya."
"Aku cariin ojek ya," kata Runa, yang langsung membuka aplikasi ojek online di ponselnya dan memesankannya untuk Raka.
"Makasih, Bun."
Kemudian Raka beralih pada anak-anaknya.
"Ayah harus operasi dulu, Kiddos! Kalian nanti jemput Ayah di RS sama Bunda dan Mbak Siti ya. Trus kita ke Bandung," kata Raka pada anak-anak.
Anak-anak yang tadinya hampir kecewa karena khawatir tidak jadi berlibur, kembali senang karena sang ayah minta dijemput ke RS untuk kemudian pergi berlibur seperti rencana semula.
Ojek online yang dipesan Runa datang tidak lama kemudian. Rakapun pamit kepada istri dan anak-anaknya. Runa meraih tangan Raka dan menciumnya, sebelum lelaki itu melangkah cepat keluar rumah menemui driver ojek online tersebut.
* * *
Sesuai instruksi Raka tadi pagi, dua jam kemudian Runa membawa Siti dan anak-anak ke Prima Hospital untuk menjemput Raka. Runa menunggu di depan ruang praktik Raka, sementara Siti menemani anak-anak bermain di playground mini yang tersedia di dekat Poli Anak. Playground mini tersebut memang disediakan agar anak-anak yang sedang menunggu dokter bisa sambil bermain disana.
Runa sudah duduk di ruang tunggu selama 10 menit, dan sudah mengirim pesan singkat pada Raka bahwa dirinya dan anak-anak sudah menunggu di depan ruang praktiknya. Tapi pesan itu belum terbaca. Mungkin Raka masih berada di ruang operasi.
Di sekitar Runa ada banyak pasien yang sedang menunggu dipanggil. Di Poli Anak Sabtu pagi itu memang ada 5 orang dokter yang sedang praktik.
Runa masih menunggu, sambil sesekali melirik Siti dan anak-anak di playground mini, ketika tiba-tiba tanpa diduga, sebelum sempat mengantisipasi, Runa melihat seorang perempuan yang sedang menggendong seorang anak yang kira-kira berusia kurang dari 1 tahun melangkah ke arahnya. Perempuan bersama anaknya itu kemudian duduk tepat di sebelah tempat Runa duduk.
Jantung Runa berdentam dan nyeri di saat yang sama. Karena dia mengenali perempuan itu. Itu adalah perempuan yang dilihatnya bersama suaminya di depan IGD beberapa bulan lalu.
Hani.
Mantan pacar suaminya.
* * *
Perang nggak nih? Jangan jambak-jambakan ya Tante.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top